KURS RUPIAH

Rupiah Melemah, Optimisme Kebijakan Terus Menopang Ekonomi

Rupiah Melemah, Optimisme Kebijakan Terus Menopang Ekonomi
Rupiah Melemah, Optimisme Kebijakan Terus Menopang Ekonomi

JAKARTA - Pelemahan nilai tukar rupiah kembali menjadi topik penting dalam dinamika ekonomi nasional. Di tengah fluktuasi dolar Amerika Serikat (AS), kalangan perbankan menilai depresiasi rupiah bukan sekadar soal menguat atau melemah, tetapi bagaimana kondisi tersebut dapat dikelola dengan baik. 

Sudut pandang ini disampaikan PT Bank Central Asia Tbk (BCA), yang menekankan bahwa pelemahan mata uang tidak selalu mencerminkan risiko besar selama tetap berada dalam rentang yang dapat dikendalikan oleh otoritas moneter. Persepsi tersebut memperkuat keyakinan bahwa stabilitas makroekonomi Indonesia masih terjaga, meskipun tekanan eksternal datang silih berganti.

Dalam forum Indonesia Economic Outlook 2026 yang digelar di Universitas Indonesia, BCA memberi gambaran mengenai potensi pergerakan rupiah pada tahun-tahun mendatang. Nilai tukar diperkirakan berpeluang melemah, namun pergerakannya dipandang wajar selama fundamental ekonomi nasional tetap kuat dan Bank Indonesia (BI) konsisten menjalankan fungsi stabilisasi. 

Di tengah dinamika tersebut, sejumlah faktor seperti suku bunga global, neraca perdagangan, hingga kebijakan domestik menjadi elemen penting yang memengaruhi arah rupiah ke depan.

Dinamika Depresiasi Rupiah dan Faktor Pemicu

Kepala Biro Banking Research & Analytics BCA, Victor George Petrus Matindas, menegaskan bahwa depresiasi rupiah merupakan fenomena yang lazim terjadi, bahkan tanpa adanya tekanan tambahan dari luar negeri. 

Menurutnya, yang paling penting bukan soal apakah rupiah menguat atau melemah, tetapi sejauh mana depresiasi tersebut dapat dikendalikan oleh otoritas moneter.

“Sebenarnya yang terpenting itu memang bukan sekadar arahnya naik atau turun, bukan sekadar menguat atau melemah, oke dia agak depresiasi, tapi yang penting dia itu managable, jadi manage depreciation,” ujar Victor.

Ia menuturkan, pelemahan nilai tukar tidak selamanya berdampak negatif. Dalam konteks ekspor, misalnya, depresiasi memberikan keuntungan bagi eksportir karena nilai penerimaan mata uang asing meningkat dalam rupiah. Meski demikian, Victor meyakini BI tetap akan menjaga stabilitas nilai tukar agar berada pada level fundamental yang kuat.

“Kita yakin Bank Indonesia itu pasti akan menjaga nilai rupiah kita itu di level yang sehat di level fundamental yang kuat,” tegasnya.

Victor juga menjelaskan bahwa pergerakan rupiah akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan suku bunga acuan Amerika Serikat atau Fed Fund Rate. Jika tren suku bunga global membaik sesuai proyeksi, tekanan terhadap rupiah dapat berkurang dan nilai tukar berpeluang menguat.

Namun, ia juga mengingatkan adanya risiko dari kebijakan perdagangan Amerika Serikat, termasuk tarif resiprokal yang bisa mengganggu kinerja neraca perdagangan Indonesia. 

“Kalau seandainya makin surplus, itu kan rupiah itu menguat tapi seandainya neraca dagangnya ini melemah tentu saja rupiahnya cenderungnya juga akan ikut melemah,” jelas Victor.

Belanja Pemerintah sebagai Penopang Pertumbuhan Ekonomi

Selain membahas nilai tukar, Victor menyoroti pentingnya belanja pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi pada 2026. Hal ini termasuk pelaksanaan program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP). Ia menilai belanja negara menjadi salah satu komponen paling berpengaruh dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

“Jadi kita harapkan sebenarnya untuk tahun depan pertama dari sisi belanja pemerintah ya itu kita harapkan jauh lebih baik,” kata Victor.

Ia menjelaskan bahwa 2025 menjadi tahun transisi bagi sejumlah program baru. Program MBG, misalnya, baru menjangkau sekitar 30 jutaan penerima dari target 82,9 juta orang. Sementara itu, Kopdes Merah Putih belum berjalan sepenuhnya dan masih membutuhkan percepatan implementasi.

Victor berharap kedua program ini dapat berjalan lebih optimal pada 2026 sehingga memberikan kontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi.

“Harusnya nanti tahun 2026 program-program ini bisa lebih cepat dan lebih efektif lagi. Akselerasinya itu semakin bagus. Jadi belanja pemerintah ini kita harapkan sebagai driver (pendorong pertumbuhan ekonomi),” ujarnya.

Tahun Transisi Program Strategis dan Dampaknya bagi Ekonomi

Dengan banyaknya program yang mulai bergulir di 2025, tahun tersebut dianggap sebagai masa adaptasi dalam sistem kebijakan fiskal pemerintah. Victor memastikan bahwa perbaikan pelaksanaan program-program strategis akan menjadi kunci untuk memperkuat momentum ekonomi di tahun berikutnya. 

Program MBG, yang menjadi salah satu unggulan pemerintah, bahkan ditopang oleh jaringan dapur penyedia besar seperti Dapur Kebayunan yang mampu memproduksi lebih dari 16 ribu paket makanan setiap hari.

Kapasitas produksi besar tersebut menunjukkan bahwa program MBG telah memiliki struktur operasional yang solid dan siap diperluas. Jika realisasi program meningkat, multiplier effect terhadap sektor pangan, logistik, hingga UMKM diharapkan semakin kuat. Begitu pula KDMP yang ditujukan untuk memperkuat ekonomi desa, yang pada tahap penuh dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dengan percepatan program ini, pemerintah diharapkan mampu menjaga pertumbuhan ekonomi tetap stabil di tengah tantangan global, khususnya ketidakpastian sektor perdagangan dan pelemahan ekspor.

Harapan Kenaikan Investasi dan Tantangan Ekspor Indonesia

Dalam pandangan perbankan, pertumbuhan ekonomi yang kuat pada 2026 tidak hanya bergantung pada belanja pemerintah, tetapi juga pada investasi, baik dari sektor swasta maupun BUMN. 

Victor menyebutkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) sebagai salah satu motor penting dalam mendorong investasi strategis di dalam negeri. Ia berharap aliran investasi dapat meningkat signifikan pada tahun depan sejalan dengan perbaikan iklim ekonomi nasional.

“Kita harapkan juga konsumsi ini membaik, dan dari sisi investasi tadi sempat disebutkan juga Danantara dan investasi swasta itu diharapkan juga membaik,” ujarnya.

Meski demikian, Victor tidak menutup mata terhadap tantangan ekspor Indonesia yang dipicu oleh kondisi perdagangan global dan kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat. Melemahnya ekspor menjadi salah satu risiko yang dapat menekan neraca perdagangan dan memberi dampak tambahan pada pelemahan rupiah. Karena itu, ia kembali menekankan pentingnya belanja pemerintah sebagai penyangga ketika ekspor melemah.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index