JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menekankan pentingnya respons hukum terhadap perubahan teknologi.
Konstitusi kini tidak hanya dibaca dalam konteks analog, melainkan juga harus menjamin hak-hak warga di ruang digital.
“Hak-hak warga di ruang digital harus dilindungi dengan standar konstitusional yang sama,” ujar Yusril. Hal ini menegaskan bahwa regulasi hukum perlu menyesuaikan dengan kecepatan perkembangan teknologi, sehingga hak sipil dan kebebasan individu tetap terlindungi.
Upaya ini menjadi bagian dari penguatan konstitusionalisme digital, di mana perlindungan hukum terhadap data, privasi, dan interaksi digital harus setara dengan hak-hak warga dalam dunia nyata. Transformasi digital menuntut standar baru yang adaptif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Reformasi Pemilu di Era Digital
Selain konstitusionalisme digital, Yusril menyoroti reformasi sistem pemilihan umum (pemilu) yang harus lebih sederhana dan berintegritas. Transformasi kampanye politik berbasis data digital menimbulkan tantangan baru, sehingga pemilu modern perlu dirancang aman dan dapat diaudit.
“Digitalisasi pemilu tidak boleh menjadi celah manipulasi, sehingga sistemnya harus jelas, aman, dan dapat diaudit,” kata Yusril. Hal ini mencakup pengelolaan data pemilih, mekanisme kampanye daring, serta transparansi penghitungan suara untuk memastikan kepercayaan publik tetap tinggi.
Agenda reformasi pemilu ini menjadi salah satu pilar penting dalam menjaga stabilitas demokrasi di tengah percepatan transformasi digital. Sistem pemilu yang adaptif namun aman akan meningkatkan partisipasi dan mencegah potensi konflik politik.
Tata Kelola BPI Danantara yang Transparan
Dalam konteks ekonomi ketatanegaraan, Yusril menekankan pentingnya pengelolaan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang akuntabel. Pengawasan publik dan lembaga negara harus diperkuat untuk mencegah penyalahgunaan aset negara.
“Sovereign wealth fund harus dikelola secara terang benderang. Kita belajar dari banyak negara bahwa dana besar tanpa pengawasan hanya menunggu waktu untuk bermasalah,” ujar Menko.
Hal ini menjadi bagian dari agenda ketiga, yakni tata kelola Danantara yang lebih transparan, untuk memastikan investasi negara dapat memberikan manfaat optimal bagi rakyat.
Konferensi Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) ke-4 di Labuan Bajo menjadi ruang diskusi bagi akademisi dan pembuat kebijakan membahas strategi penguatan konstitusionalisme digital, reformasi pemilu, dan pengelolaan BPI Danantara.
Yusril berharap hasil konferensi diterjemahkan menjadi kebijakan konkret, bukan hanya wacana akademis.
Kecerdasan Buatan dan Tanggung Jawab Hukum
Yusril juga menyoroti tantangan kecerdasan buatan (AI) terhadap sistem hukum. AI menghadirkan peluang besar sekaligus ancaman baru, karena keputusan berbasis kode buatan manusia tetap membutuhkan pertanggungjawaban hukum manusia.
“Kecerdasan buatan boleh canggih, tetapi AI tetap lahir dari rangkaian kode buatan manusia. Pertanggungjawaban hukum tetap pada manusia, bukan mesin,” tegas Yusril. Ia menekankan dilema antara kebutuhan hukum yang adaptif dan progresif dengan kepastian hukum.
Untuk menghadapi era AI, regulasi baru, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, dan etika penggunaan teknologi menjadi sangat penting. AI tidak boleh menggantikan penilaian hukum yang menjadi domain manusia, tetapi justru harus menjadi alat bantu dalam proses pengambilan keputusan yang transparan dan adil.
Pendekatan ini menekankan bahwa transformasi digital harus disertai kesiapan hukum yang adaptif, sehingga perubahan teknologi tidak menimbulkan kekosongan regulasi atau pelanggaran hak warga. Hukum yang responsif terhadap teknologi akan memperkuat ketahanan ketatanegaraan Indonesia di era global.