ENERGI

Pembiayaan Energi Fosil Tetap Dominan di Masa Transisi

Pembiayaan Energi Fosil Tetap Dominan di Masa Transisi
Pembiayaan Energi Fosil Tetap Dominan di Masa Transisi

JAKARTA - Dalam dinamika transisi energi yang terus menguat di Indonesia, aliran pembiayaan ke sektor energi fosil ternyata masih memegang porsi terbesar. Realitas ini menggambarkan bahwa perubahan menuju energi bersih bukan hanya dipengaruhi oleh kesiapan teknologi, tetapi juga oleh arah pendanaan dan keberanian mengambil risiko di sektor keuangan. 

Temuan laporan CERAH berjudul Does Indonesian Banking Still Support Coal? menjadi salah satu gambaran terkini bahwa bauran energi listrik Indonesia masih didominasi bahan bakar fosil, dan kondisi tersebut diproyeksikan bertahan hingga 2043. Baru pada 2044 energi terbarukan diperkirakan meningkat pesat hingga mencapai porsi sekitar 51,6%.

Untuk mencapai target tersebut, kebutuhan investasi energi hijau sangat besar, tetapi masih dihadapkan pada ketidakpastian regulasi yang dinilai belum stabil. Padahal, tuntutan global akan penggunaan energi bersih terus meningkat. Akademisi Universitas Indonesia Toto Pranoto bahkan mengingatkan pentingnya kinerja ESG bagi negara berkembang yang masih bergantung pada pasar negara maju. 

Dalam Bisnis Indonesia Forum bertajuk Mendorong Transformasi Pembiayaan Hijau: Arah Baru Keuangan Berkelanjutan di Era Transisi Energi, ia menyebutkan adanya kesenjangan nyata. “Namun, masih terdapat kesenjangan antara tuntutan pasar global dengan kinerja ESG di negara berkembang,” ujar Toto.

Tantangan Transisi dari Perspektif Pasar dan Industri

Menurut Toto, transisi energi seharusnya tidak hanya dilihat sebagai kewajiban, tetapi juga peluang ekspansi pasar yang dapat dioptimalkan oleh pelaku usaha. Perusahaan yang menerapkan standar keberlanjutan terbukti mendapatkan respons pasar yang lebih positif. 

Data menunjukkan perusahaan pionir iklim mencatat pertumbuhan pendapatan tahunan gabungan yang lebih tinggi dibandingkan ribuan perusahaan lain di pasar berkembang. “Data ini menunjukkan apresiasi pasar terhadap perusahaan-perusahaan yang telah menerapkan bisnis berbasis transisi energi,” paparnya.

Contohnya, perusahaan pionir iklim di sektor konsumen mengalami pertumbuhan hingga 14% dalam periode 2016–2021. Sementara perusahaan energi “hijau” mencatat pertumbuhan lebih tinggi, yaitu 20%, unggul dari perusahaan lainnya di pasar berkembang yang hanya 14%. 

Tren ini mengindikasikan bahwa pergeseran menuju energi bersih memiliki nilai ekonomi yang kuat dan bukan lagi semata dorongan moral atau regulasi.

Namun di sisi lain, laporan Climate Policy Initiative (CPI) menunjukkan bahwa aliran investasi energi belum sepenuhnya mendukung target iklim nasional. Analis Senior CPI Berliana Yusuf mengungkapkan bahwa dalam investasi sektor ketenagalistrikan periode 2019–2023, sekitar 62% dana masih mengalir ke bahan bakar fosil, sementara energi terbarukan hanya 23%. Bahkan menurutnya, transparansi data investasi fosil masih menjadi persoalan. 

“Jadi kalau dilihat komposisinya di grafik itu, 34% itu bahan bakar fosil yang tercatat, 24% itu yang tidak tercatat, 23% itu yang renewable energy,” ujar Berliana. Keterbatasan transparansi tersebut menjadi hambatan penting dalam memahami arah kebijakan energi nasional.

Hambatan Efisiensi dan Ketimpangan Investasi Energi Bersih

Selain persoalan pendanaan, tantangan transisi energi juga muncul dari aspek efisiensi operasional. Berliana menyoroti rendahnya faktor kapasitas PLTS PLN yang hanya sebesar 4%, jauh di bawah benchmark internasional sebesar 16%. Padahal, dengan kapasitas terpasang saat ini, PLTS PLN dapat menghasilkan listrik lebih besar jika efisiensinya meningkat. Rendahnya efisiensi tersebut turut berdampak pada tingginya biaya produksi listrik.

Pada saat yang sama, pembangkit listrik tenaga batu bara dan air PLN dinilai memiliki kinerja cukup baik dibandingkan tolok ukur regional. Namun tantangan baru muncul dari meningkatnya pembangunan PLTU captive yang mengikuti kebijakan hilirisasi nikel. 

Sekitar 45% investasi pembangkit baru diketahui masih berbasis bahan bakar fosil, tetapi tidak tercatat sebagai investasi fosil karena konsep captive yang digunakan. Situasi ini membuat arah transisi energi semakin kompleks dan rawan menimbulkan perdebatan.

Praktik penyaluran kredit energi hijau di perbankan juga belum berjalan optimal. Senior Vice President ESG Group Bank Mandiri, Monica Yoanita, menuturkan bahwa ketidaksiapan debitur menjadi hambatan. Menurutnya, pelaku usaha besar relatif lebih siap karena tekanan dari investor dan pasar global, sementara UMKM masih tertinggal. 

“Awareness di debitur-debitur kami itu memang belum rata. Untuk korporasi besar relatif lebih mudah karena mereka sudah mendapatkan tuntutan dari investor dan punya rencana transisi. Namun SME dan UMKM kapasitasnya masih terbatas, baik dari sisi teknis maupun akses dukungan finansial,” jelasnya.

Peran Regulasi dan Kebutuhan Sinyal Kebijakan yang Tegas

Dari sisi regulasi, Otoritas Jasa Keuangan melalui Direktur Keuangan Berkelanjutan OJK, Joko Siswanto, menjelaskan bahwa Taksonomi Hijau Indonesia telah disempurnakan menjadi Taksonomi Keuangan Berkelanjutan. Penyempurnaan tersebut bertujuan memasukkan aspek sosial agar konsep keberlanjutan benar-benar mencerminkan prinsip ESG secara utuh. 

“Taksonomi hijau sebelumnya lebih memprioritaskan aspek lingkungan. Sekarang kami ingin membingkai konsep keberlanjutan yang mencakup environment dan social,” ujar Joko.

OJK juga tengah mengembangkan proyek percontohan untuk mengukur besaran kredit yang benar-benar dialokasikan ke kegiatan berkelanjutan. Secara statistik, pembiayaan hijau memang meningkat dari sekitar Rp705 triliun pada 2019 menjadi Rp2.047 triliun pada 2024. Namun Joko menegaskan bahwa peningkatan tersebut belum berarti seluruh hambatan teratasi. Dunia industri masih menghadapi berbagai kendala di fase transisi.

Managing Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, menilai bahwa akar permasalahan lain terletak pada masih minimnya proyek hijau yang siap dibiayai. “Penyerapan keuangan hijau tergantung sektor riil-nya menyerap atau tidak,” ujarnya. 

Selain itu, investor membutuhkan sinyal kebijakan yang tegas terkait taksonomi hijau dan mekanisme harga karbon. “Taksonomi akan menjadi sinyal utama bagi investor. Definisinya harus tegas dan berbasis sains agar tidak menimbulkan keraguan,” jelasnya.

Putra juga mengungkapkan bahwa lembaga keuangan internasional mulai menggunakan rasio investasi clean-to-fossil sebagai indikator keseriusan transisi, tetapi praktik pengungkapan rasio tersebut belum banyak dilakukan oleh bank nasional. 

Minimnya transparansi membuat investor sulit menilai arah pembiayaan nasional. Selama rasio tersebut tidak jelas, tingkat kepercayaan investor pun terbatas.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index