Wall Street

Wall Street Merosot Tajam Usai Ancaman Tarif Trump ke China

Wall Street Merosot Tajam Usai Ancaman Tarif Trump ke China
Wall Street Merosot Tajam Usai Ancaman Tarif Trump ke China

JAKARTA - Ketegangan hubungan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memicu gejolak di pasar keuangan global. 

Bursa saham AS atau Wall Street mencatat penurunan tajam pada perdagangan Jumat 10 Oktober 2025, setelah Presiden AS Donald Trump mengancam akan memberlakukan tarif baru terhadap produk-produk asal China.

 Pernyataan keras Trump tersebut sontak mengguncang sentimen investor, yang khawatir konflik dagang akan kembali memanas seperti beberapa tahun lalu.

Mengutip CNBC, Sabtu 11 Oktober 2025, indeks Dow Jones ditutup anjlok 878,82 poin atau 1,9% ke posisi 45.479,60. Sementara S&P 500 melemah 2,71% ke level 6.552,51, dan Nasdaq jatuh paling dalam sebesar 3,56% menjadi 22.204,43. 

Koreksi tajam ini sekaligus menghapus seluruh kenaikan yang sempat tercatat di awal pekan, menjadikan penurunan indeks acuan terbesar sejak 10 April 2025.

Secara mingguan, S&P 500 tercatat melemah 2,4%, Nasdaq turun 2,5%, dan Dow Jones merosot 2,7%. Padahal, sebelum komentar Trump muncul, pasar saham sempat bergerak menguat dengan indeks Nasdaq bahkan menembus rekor tertinggi intraday baru.

Ancaman Tarif Baru Trump Picu Aksi Jual

Dalam unggahan di platform Truth Social, Presiden Donald Trump menuding China bersikap “sangat bermusuhan” terkait kebijakan pembatasan ekspor logam tanah jarang — bahan baku penting dalam industri teknologi dan pertahanan modern.

“Saya seharusnya bertemu Presiden Xi dalam dua minggu di APEC di Korea Selatan, tetapi sekarang tampaknya tidak ada alasan untuk melakukannya,” ujar Trump.
Ia menambahkan, “Salah satu kebijakan yang sedang kami perhitungkan saat ini adalah kenaikan tarif besar-besaran terhadap produk-produk China yang masuk ke Amerika Serikat.”

Pernyataan ini sontak menimbulkan kepanikan di kalangan investor. Pasar menilai ancaman tersebut dapat memicu gelombang ketegangan dagang baru yang berpotensi mengganggu rantai pasok global dan pertumbuhan ekonomi dunia.

China Dituduh “Menawan Dunia” Lewat Logam Tanah Jarang

Trump juga menuduh China “menawan dunia” dengan mengendalikan pasokan logam tanah jarang, yang menjadi komponen penting untuk pembuatan chip, baterai kendaraan listrik, dan peralatan militer canggih.

Pernyataan itu muncul setelah Beijing memperketat aturan ekspor, dengan mewajibkan semua entitas asing untuk mengajukan izin khusus bila mengekspor barang yang mengandung lebih dari 0,1% unsur logam tanah jarang.

“Ekspektasi akan kesepakatan perdagangan China baru saja sirna,” kata Pendiri KKM Financial, Jeff Kilburg, menanggapi perkembangan ini.

Dampak dari kekhawatiran tersebut terlihat jelas di pasar keuangan. Indeks Volatilitas CBOE (VIX) — yang dikenal sebagai “pengukur rasa takut” Wall Street — melonjak di atas level 22, mencerminkan meningkatnya kekhawatiran investor terhadap risiko penurunan lebih lanjut di pasar saham.

Saham Teknologi Paling Tertekan

Sektor teknologi menjadi kelompok saham yang paling menderita akibat memanasnya kembali hubungan dagang AS–China. Saham Nvidia turun sekitar 5%, AMD jatuh hampir 8%, sementara Tesla juga melemah sekitar 5%.

Penurunan ini wajar, mengingat perusahaan-perusahaan teknologi besar memiliki ketergantungan tinggi terhadap pasar China, baik dalam hal rantai pasok maupun sebagai pasar utama.

“Tentu tidak mengejutkan jika saham-saham teknologi mengalami penurunan paling tajam hari ini. Mereka memiliki eksposur besar terhadap Tiongkok, baik sebagai basis produksi maupun konsumen utama,” ujar Kepala Strategi Pasar di B. Riley Wealth, Art Hogan, kepada CNBC.

Ia menambahkan, “Jelas bahwa hubungan kita dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini semakin sulit.”

Selain saham teknologi, harga minyak mentah AS juga ikut turun. Investor khawatir bahwa tarif baru dapat memperlambat aktivitas industri dan menekan permintaan energi global.

Tekanan Tambahan dari Penutupan Pemerintah AS

Di sisi lain, sentimen negatif juga diperparah oleh situasi politik dalam negeri. Penutupan sebagian aktivitas pemerintahan federal AS telah memasuki hari ke-10 pada Jumat 10 Oktober 2025.

Senat AS kembali gagal untuk ketujuh kalinya dalam mengesahkan proposal pendanaan sementara yang bertujuan mengakhiri kebuntuan anggaran. Hingga kini, belum ada tanda-tanda bahwa Partai Republik dan Demokrat mendekati titik kompromi.

Kepala anggaran pemerintahan Trump, Russell Vought, menyebut bahwa pemutusan hubungan kerja terhadap sejumlah pegawai federal “telah dimulai” sebagai dampak langsung dari kebuntuan anggaran tersebut.

Situasi ini semakin menekan pasar saham yang sebelumnya sudah rapuh akibat ketegangan geopolitik. Investor kini menghadapi ketidakpastian ganda: konflik dagang eksternal dan risiko politik internal.

Ketegangan Dagang Kembali Bayangi Pasar Global

Analis menilai, ancaman tarif baru dari Trump berpotensi mengguncang stabilitas perdagangan dunia, mengingat posisi China sebagai mitra dagang terbesar AS. 

Eskalasi konflik ini bisa menghambat ekspor, memperlambat pertumbuhan global, dan menekan laba korporasi AS, terutama sektor teknologi dan industri.

Meningkatnya kekhawatiran investor terlihat dari tingginya minat terhadap aset-aset aman seperti emas dan obligasi pemerintah AS, sementara saham berisiko tinggi justru ditinggalkan.

Dengan perkembangan terakhir ini, pelaku pasar menilai kemungkinan pertemuan bilateral antara Trump dan Presiden Xi Jinping pada forum APEC menjadi semakin kecil. 

Ketidakpastian inilah yang membuat Wall Street tertekan, dengan para analis memperkirakan volatilitas tinggi masih akan berlanjut dalam waktu dekat.

Kesimpulan:
Kejatuhan Wall Street pada akhir pekan ini menjadi cerminan betapa sensitifnya pasar terhadap dinamika politik dan kebijakan perdagangan global.

Ancaman tarif baru terhadap China bukan hanya menimbulkan tekanan bagi saham teknologi, tetapi juga menandai kembalinya ketegangan lama yang sempat reda. 

Dengan penutupan pemerintah AS yang masih berlanjut, investor kini dihadapkan pada situasi yang kompleks dan penuh ketidakpastian di penghujung tahun 2025.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index