JAKARTA - Langkah Kepolisian Daerah Metro Jaya menjadikan pedagang kopi keliling sebagai mata dan telinga polisi menuai perhatian publik. Di permukaan, kebijakan ini tampak sederhana dan humanis—polisi ingin lebih dekat dengan rakyat, mendengar langsung kehidupan masyarakat kecil, serta menciptakan rasa aman bersama. Namun, di balik narasi tersebut tersimpan dinamika baru dalam relasi antara negara dan rakyat, yang perlu dibaca dengan lebih kritis.
Di satu sisi, kebijakan ini mencerminkan semangat partisipasi publik dalam menjaga keamanan. Tetapi di sisi lain, ia memperlihatkan bagaimana negara secara halus mengalihkan fungsi pengawasan dari aparat kepada warga sipil.
Dalam konteks demokrasi, langkah ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah keterlibatan masyarakat benar-benar memperkuat kedaulatan rakyat, atau justru menggeser posisi mereka menjadi perpanjangan tangan kekuasaan?
Perubahan Relasi Negara dan Warga
Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah pemilik kedaulatan dan aparat negara bertugas melindungi kepentingan publik.
Namun, kebijakan yang mendorong warga menjadi pengawas bagi sesamanya justru berpotensi membalik relasi tersebut. Rakyat bukan lagi pengendali kekuasaan, melainkan bagian dari mekanisme kontrol negara.
Sebagaimana diingatkan dalam artikel Kompas.id, hubungan ideal antara rakyat dan aparat bersifat vertikal dan jelas mandatnya. Ketika warga didorong menjadi pelapor atau pengawas terhadap sesamanya, relasi itu bergeser menjadi horizontal dan kabur batasnya.
Negara seolah memperluas jangkauan kekuasaan melalui warga yang percaya sedang berbuat baik, tanpa sadar menjadi bagian dari sistem pengawasan sosial.
Kekuasaan yang Bekerja Melalui Moral dan Persuasi
Pemikiran Michel Foucault dalam Discipline and Punish menjelaskan bagaimana kekuasaan modern tidak lagi menindas secara fisik, tetapi menanamkan pengawasan melalui kesadaran individu. Setiap orang diajari untuk mengontrol dirinya dan mengawasi lingkungan sosialnya.
Kebijakan “mata dan telinga polisi” adalah wujud nyata dari konsep panoptikon modern: negara tidak perlu mengawasi secara langsung karena warga melakukannya sendiri.
Ketika pengawasan dikemas dalam bahasa kepedulian dan gotong royong, warga menerima peran itu tanpa merasa kehilangan kebebasan. Mereka percaya sedang berkontribusi menjaga ketertiban, padahal sebenarnya sedang menjalankan fungsi pengawasan negara.
Model ini berbeda dari sistem otoriter klasik yang mengandalkan paksaan atau ancaman. Dalam konteks saat ini, kontrol hadir dengan wajah lembut—melalui persuasi moral dan ajakan partisipatif. Kekuasaan tidak lagi menakut-nakuti, tetapi membujuk.
Pengalaman Global dan Refleksi Lokal
Fenomena serupa bukan hal baru di dunia. Di Amerika Serikat, program neighborhood watch yang bertujuan menjaga keamanan lingkungan justru memunculkan stereotip terhadap kelompok minoritas. Di China, sistem grid management menjadikan warga sebagai relawan pengawas sosial di tiap blok perumahan.
Sementara di Uni Soviet pada masa Stalin, jaringan informan sipil menjadi alat pengawasan yang meluas.
Bedanya, pengawasan di masa itu berbasis ketakutan dan ideologi, sedangkan di era modern dijalankan atas dasar rasa peduli dan tanggung jawab sosial. Dalam kedua model tersebut, logika kekuasaan tetap sama: negara memperluas kendali melalui partisipasi warga.
Semakin banyak warga yang merasa terlibat, semakin efisien sistem kontrol itu bekerja. Sebab, pengawasan sukarela tidak memerlukan sumber daya besar—cukup legitimasi moral yang membuatnya tampak sebagai tindakan terpuji.
Dampak Sosial dan Pergeseran Nilai
Kebijakan semacam ini membawa implikasi yang jauh melampaui urusan keamanan. Ketika warga diminta melaporkan hal-hal mencurigakan, masyarakat mulai beroperasi dengan logika kecurigaan. Rasa saling percaya yang menjadi fondasi sosial perlahan tergantikan oleh kewaspadaan.
Masyarakat yang terbiasa saling mengawasi lama-kelamaan kehilangan solidaritas. Mereka tak lagi melihat sesama warga sebagai mitra sosial, melainkan potensi ancaman.
Aparat tak perlu menekan masyarakat secara terbuka, karena masyarakat telah diajari untuk menjaga—yang dalam praktiknya berarti mengawasi.
Bahaya dari kebijakan ini terletak pada cara halusnya bekerja. Ia menanamkan rasa curiga di antara warga tanpa menimbulkan konflik terbuka. Negara menciptakan harmoni semu di mana warga merasa bersatu menjaga keamanan, padahal mereka diarahkan untuk mengawasi satu sama lain.
Demokrasi yang Tergantikan oleh Ketaatan
Dalam demokrasi yang sehat, partisipasi publik seharusnya bersifat dua arah: warga berhak ikut menentukan arah kebijakan, bukan sekadar menjadi pelaksana moral atas kebijakan negara.
Ketika keterlibatan warga hanya terbatas pada peran operasional, demokrasi kehilangan esensinya sebagai ruang kontrol terhadap kekuasaan.
Kritik terhadap kebijakan ini bukan berarti menolak gagasan keamanan publik. Keamanan tetap menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Namun, keamanan yang berkelanjutan hanya bisa tumbuh dari kepercayaan, bukan dari rasa curiga. Negara yang kuat adalah negara yang membangun legitimasi, bukan ketakutan.
Polisi tetap bisa dekat dengan rakyat tanpa harus menempatkan mereka sebagai alat pengawasan. Kedekatan semestinya dibangun dalam bentuk dialog, bukan subordinasi. Aparat bisa mendengar keluhan masyarakat tanpa harus menjadikan mereka “mata dan telinga” bagi institusi.
Refleksi bagi Demokrasi Indonesia
Dalam konteks Indonesia, kebijakan semacam ini berpotensi memperkuat pola relasi paternalistik antara negara dan rakyat. Negara masih sering dipandang sebagai pelindung, bukan pelayan publik.
Ketika aparat mengemas kebijakan dalam bahasa empati dan gotong royong, rakyat mudah menerimanya tanpa kecurigaan—padahal di sanalah awal pergeseran kedaulatan dimulai.
Rakyat perlahan kehilangan posisi sebagai subjek politik dan berubah menjadi bagian dari mesin keamanan. Demokrasi tidak runtuh karena represi, tetapi karena rasa percaya yang disalahartikan.
Ketika rakyat meyakini bahwa tugas mereka adalah membantu negara menjaga ketertiban, bukan menuntut negara menegakkan keadilan, maka demokrasi mulai kehilangan jiwanya.
Keamanan sejati tidak lahir dari pengawasan yang meluas, tetapi dari keadilan yang ditegakkan. Kota yang aman bukanlah kota dengan seribu mata yang mengintai, melainkan kota di mana setiap orang merasa dihormati dan dilindungi tanpa harus menjadi alat kekuasaan.
Pada akhirnya, kebijakan “mata dan telinga polisi” mencerminkan cara baru negara melihat rakyatnya—bukan sebagai pemegang kedaulatan, tetapi sebagai operator dari sistem keamanan sosial.
Demokrasi sejati hanya bisa bertahan jika rakyat tetap menjadi pengawas terhadap negara, bukan pengawas terhadap sesamanya.