JAKARTA- Menyimpan dendam kerap dianggap sebagai bentuk pertahanan diri, bahkan dianggap sebagai balasan setimpal atas perlakuan buruk dari orang lain. Namun, cara pandang ini sering kali menyesatkan. Beban emosional yang terus dipelihara justru menimbulkan tekanan psikologis yang tidak terlihat, namun berdampak nyata pada tubuh.
Dalam banyak kasus, perasaan marah yang tidak tersalurkan perlahan berubah menjadi stres berkepanjangan yang memengaruhi kesehatan fisik. Dari sinilah muncul risiko serius yang sering tak disadari, termasuk meningkatnya peluang terserang penyakit kronis seperti diabetes dan kanker, sebagaimana dijelaskan psikolog Tika Bisono.
Dendam dan Mekanisme Psikologis yang Melemahkan
Dorongan membalas perlakuan orang lain muncul ketika seseorang merasa tersakiti oleh pasangan, teman, keluarga, atau rekan kerja. Banyak yang mengira bahwa mempertahankan dendam adalah tanda kekuatan mental. Padahal, menurut Psychologist, Lecturer, dan Counselor Tika Bisono, hal itu justru menunjukkan lemahnya kemampuan seseorang dalam mengelola emosi.
Balas dendam dianggap sebagai mekanisme bertahan hidup oleh mereka yang merasa tidak memiliki cara lain untuk mengatasi luka emosional. Namun, mekanisme tersebut bekerja dengan cara yang merugikan tubuh. Tika menegaskan bahwa menyimpan dendam memicu produksi hormon stres, yakni kortisol, secara berlebihan.
"Kalau balas dendam yang negatif, kortisol yang jalan. Keseringan kortisol dipakai, akhirnya bisa jadi kanker, diabetes. Itu hormon yang merusak kalau terlalu banyak," ujar Tika Bisono saat berbincang dengan Health Liputan6.com.
Kortisol memang diperlukan tubuh dalam kondisi tertentu, tetapi ketika produksinya berlangsung terus-menerus, hormon ini menjadi racun bagi tubuh. Kondisi stres kronis yang muncul dari dendam membuat tubuh terus berada pada mode siaga, sehingga energi dan kekebalan tubuh terkuras.
Tubuh yang Merekam Luka Emosional
Tidak semua orang memahami bahwa pikiran dan tubuh memiliki keterhubungan yang kuat. Emosi tidak hanya berhenti pada pikiran, tetapi direkam oleh tubuh dalam bentuk respons fisik. Saat seseorang menahan dendam, tubuh mengenali emosi tersebut sebagai ancaman yang harus diwaspadai.
Tika menjelaskan bahwa setiap orang memiliki titik lemah fisik masing-masing. Ketika kortisol terus bekerja akibat emosi negatif yang dipelihara, titik lemah itulah yang pertama kali terdampak. Pada beberapa orang, stres memicu gangguan metabolik, sementara pada yang lain bisa berkembang menjadi penyakit kronis.
"Setiap manusia punya titik lemah fisik. Kalau kortisol kebanyakan dipakai, yang kena itu terus. Yang tadinya psikis akhirnya jadi penyakit fisik," jelas Tika.
Dalam jangka panjang, kondisi ini menurunkan sistem imun dan menyebabkan peradangan berkepanjangan. Kedua faktor ini merupakan pemicu utama munculnya berbagai penyakit serius, termasuk kanker dan diabetes. Tanpa disadari, emosi yang seharusnya bisa dilepas justru berubah menjadi beban yang merusak kesehatan.
Dendam sebagai Beban Psikologis yang Memicu Penyakit
Bagi sebagian orang, menyimpan dendam memberikan sensasi seolah mereka kembali berkuasa setelah tersakiti. Namun, menurut Tika, sensasi itu hanyalah ilusi. Pada akhirnya, tubuhlah yang harus menanggung akibat dari emosi negatif yang dibiarkan tumbuh.
Sifat dendam mirip racun yang perlahan-lahan menyebar tanpa disadari. Ketika emosi tersebut terus dipelihara, sistem saraf bekerja lebih keras, organ tubuh tertekan, dan pikiran menjadi lelah. Kondisi ini bukan hanya melemahkan kesehatan psikologis, tetapi juga memperburuk kondisi fisik.
Tika menekankan pentingnya kemampuan seseorang dalam menghadapi tekanan. Mengelola emosi dengan cara yang sehat dapat memicu keluarnya hormon positif seperti serotonin dan dopamin. Kedua hormon ini membantu tubuh tetap seimbang dan lebih tangguh dalam menghadapi tekanan.
"Ketika lo jatuh, membalnya tuh lo cerdas nggak? Itu adversity quotient, atau kecerdasan tahan banting," kata Tika.
Dengan kata lain, memilih untuk tidak membalas dendam bukan tanda kelemahan. Justru itu menunjukkan seseorang memiliki kecerdasan emosional yang matang dan kemampuan mengendalikan diri yang baik. Melepaskan dendam berarti menyelamatkan diri sendiri dari efek jangka panjang yang merusak.
Langkah Melepaskan Emosi Negatif secara Sehat
Tika menyoroti bahwa setiap orang memiliki pilihan dalam merespons rasa sakit. Ketika seseorang mampu memahami nilai kesehatan dibanding sekadar memuaskan ego, maka pelepasan dendam menjadi lebih mudah dilakukan.
Beberapa pendekatan yang dapat membantu antara lain:
1.Belajar melepaskan emosi secara sehat, misalnya melalui menulis jurnal, berbicara dengan orang terpercaya, atau teknik pernapasan.
2. Menghindari reaksi impulsif terhadap luka emosional agar tidak terjebak pada siklus dendam.
3. Mencari bantuan profesional ketika perasaan dendam terasa mengganggu aktivitas sehari-hari.
4. Menyadari bahwa menjaga kesehatan jauh lebih penting daripada mempertahankan ego.
Pada akhirnya, menyimpan dendam mungkin terasa memuaskan pada awalnya, tetapi risikonya jauh lebih besar. Tubuh akan membayar mahal atas emosi yang disimpan terlalu lama. Dengan memahami bahaya ini, setiap orang dapat belajar merawat diri bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional.