Nikel

Pelaku Tambang Nikel Harapkan Pemerintah Longgarkan Aturan DHE

Pelaku Tambang Nikel Harapkan Pemerintah Longgarkan Aturan DHE
Pelaku Tambang Nikel Harapkan Pemerintah Longgarkan Aturan DHE

JAKARTA - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyampaikan apresiasi terhadap langkah pemerintah yang berencana meninjau ulang kebijakan penempatan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE-SDA). 

Evaluasi ini dinilai menjadi angin segar bagi industri tambang nikel yang selama ini menghadapi tekanan dari sisi arus kas (cash flow) akibat penerapan aturan tersebut.

Dewan Penasihat Pertambangan APNI, Djoko Widajatno, mengatakan bahwa peninjauan kembali aturan DHE menjadi langkah penting agar kebijakan devisa ekspor dapat menyesuaikan dengan dinamika industri di lapangan. “Meninjau ulang DHE mungkin ada dua sisi,” ujarnya.

Menurutnya, dari satu sisi pemerintah ingin menjaga stabilitas nilai tukar dan memperkuat cadangan devisa nasional, namun di sisi lain pelaku usaha perlu kelonggaran untuk mengelola keuangan agar kegiatan produksi dan ekspor tetap berjalan lancar. 

“Kami memahami tujuan pemerintah, tapi pelaku usaha juga perlu ruang agar tidak tertekan secara finansial,” imbuhnya.

Djoko menekankan, kebijakan DHE yang mengharuskan eksportir menempatkan sebagian hasil devisanya di perbankan nasional dalam jangka waktu tertentu telah menimbulkan kendala bagi perusahaan, terutama dalam hal fleksibilitas penggunaan dana. 

Bagi industri nikel, yang karakter bisnisnya padat modal dan sangat bergantung pada arus kas untuk pembelian bahan baku serta biaya operasional, kebijakan ini menjadi tantangan tersendiri.

Karena itu, APNI berharap revisi yang tengah disiapkan pemerintah dapat mengakomodasi kepentingan nasional sekaligus menjaga keberlangsungan industri hilir nikel yang kini berkembang pesat di Tanah Air.

Aturan DHE dan Dampaknya pada Sektor Hilir Nikel

Kebijakan DHE-SDA diterapkan untuk memastikan hasil ekspor sumber daya alam kembali memberi manfaat langsung bagi perekonomian domestik. Dalam praktiknya, eksportir wajib menempatkan sebagian devisa hasil ekspor di sistem perbankan Indonesia untuk jangka waktu tertentu sebelum dapat digunakan atau dialihkan.

Namun, dalam implementasinya, kebijakan tersebut dinilai belum sepenuhnya sejalan dengan kebutuhan operasional sektor pertambangan. 

Terutama bagi industri nikel olahan seperti ferronickel, nickel matte, dan stainless steel yang memiliki siklus produksi panjang dan memerlukan likuiditas tinggi untuk menjaga kesinambungan pasokan.

Menurut Djoko, pengaturan DHE yang terlalu ketat berpotensi menahan laju investasi dan memperlambat ekspansi industri hilirisasi nikel yang tengah digalakkan pemerintah. 

“Kami sangat mendukung penguatan ekonomi nasional, tetapi fleksibilitas dalam pengelolaan devisa juga perlu agar industri bisa tumbuh lebih cepat,” katanya.

Dalam beberapa kasus, lanjutnya, perusahaan tambang yang mengekspor produk olahan kerap kesulitan memenuhi kewajiban pembayaran kepada pemasok atau mitra luar negeri akibat keterikatan dana DHE di perbankan. Situasi ini menimbulkan tekanan tambahan, terutama bagi perusahaan yang baru beroperasi dan masih membutuhkan modal kerja besar.

Djoko menilai bahwa dengan memberi kelonggaran tertentu, misalnya dalam bentuk penyesuaian waktu penyimpanan devisa atau proporsi yang wajib ditahan, pemerintah tetap bisa menjaga stabilitas makro tanpa menghambat kegiatan ekspor.

Keseimbangan antara Kepentingan Nasional dan Dunia Usaha

Pemerintah sendiri tengah mencari formulasi terbaik agar kebijakan DHE-SDA tetap efektif menjaga cadangan devisa, namun tidak memberatkan sektor strategis seperti pertambangan nikel. 

Sektor ini kini menjadi salah satu tumpuan utama dalam agenda hilirisasi industri nasional, terutama karena kontribusinya yang besar terhadap ekspor nonmigas dan penyerapan tenaga kerja.

APNI menegaskan bahwa dukungan kebijakan fiskal dan moneter yang adaptif sangat penting agar industri nikel Indonesia mampu bersaing di pasar global. Djoko menilai, jika aturan DHE bisa diatur dengan lebih proporsional, maka industri nikel akan semakin produktif dalam menopang kinerja ekspor dan menarik investasi asing.

“Intinya, pelaku usaha tidak menolak kebijakan pemerintah. Kami hanya berharap ada keseimbangan agar program hilirisasi tidak tersendat karena hambatan likuiditas,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa industri nikel kini tengah berada dalam masa transisi penting, di mana banyak perusahaan beralih dari ekspor bahan mentah ke produk olahan bernilai tambah. Proses ini membutuhkan dukungan finansial yang kuat, terutama dalam menjaga arus kas dan modal kerja yang sehat.

Djoko menilai, jika pemerintah memberikan kelonggaran dalam kebijakan DHE tanpa mengurangi komitmen menjaga stabilitas ekonomi nasional, maka ekosistem industri nikel akan semakin berkembang dan berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah penghasil tambang.

Mendorong Kolaborasi dan Solusi Jangka Panjang

Selain meminta pelonggaran aturan DHE, APNI juga mendorong peningkatan dialog antara pemerintah dan pelaku usaha dalam merumuskan kebijakan strategis di sektor pertambangan. 

Djoko menilai komunikasi dua arah yang intensif akan membantu pemerintah memahami tantangan operasional yang dihadapi perusahaan, sekaligus menemukan solusi yang saling menguntungkan.

“Setiap kebijakan ekonomi perlu melihat konteks lapangan. Tidak semua perusahaan memiliki kapasitas likuiditas yang sama, sehingga penerapan kebijakan sebaiknya disesuaikan dengan skala dan kemampuan usaha,” katanya.

Ia juga mengapresiasi langkah pemerintah yang semakin terbuka terhadap masukan dari pelaku industri. Menurutnya, ini menjadi sinyal positif bagi keberlanjutan investasi di sektor nikel yang menjadi tulang punggung transformasi ekonomi Indonesia menuju industri ramah lingkungan dan bernilai tambah tinggi.

Ke depan, APNI berharap kebijakan devisa hasil ekspor dapat menjadi instrumen yang tidak hanya menjaga stabilitas ekonomi makro, tetapi juga memperkuat daya saing sektor strategis. “Kami yakin, dengan dialog yang konstruktif dan kebijakan yang fleksibel, industri nikel Indonesia bisa menjadi pemain utama di pasar global,” tutup Djoko.

Dengan arah kebijakan yang semakin adaptif dan komunikasi yang terbuka, pelaku tambang optimistis bahwa sinergi antara dunia usaha dan pemerintah akan menghasilkan solusi yang memperkuat ketahanan ekonomi nasional, sekaligus menjaga momentum hilirisasi nikel sebagai prioritas strategis pembangunan nasional.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index