JAKARTA - Perubahan iklim kini semakin nyata dirasakan dampaknya di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan hentikan pemanasan global mendorong transisi menuju penggunaan energi bersih yang lebih ramah lingkungan. Energi fosil yang selama ini menjadi andalan banyak negara termasuk Indonesia, telah menyebabkan emisi karbon yang memperburuk keadaan lingkungan. Kini, dunia sedang bergerak menuju adopsi energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan biomassa sebagai solusi yang lebih berkelanjutan.
Dalam Siaran Pers Komite Energi Nasional Nomor: 55.Pers/04/SJI/2024 (18 Januari 2024), disebutkan bahwa penggunaan energi terbarukan di Indonesia meningkat di 2023, meski masih jauh dari target. Bauran energi nasional masih didominasi oleh Batubara (40,46%), diikuti Minyak Bumi (30,18%), Gas Bumi (16,28%), dan Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 13,09%. Walau angka ini menunjukkan peningkatan 0,79%, tapi realisasinya masih berada di bawah target yang ditetapkan sebesar 17,87%.
Di tengah tantangan dan perlambatan adopsi energi terbarukan, peluang besar muncul untuk menciptakan lapangan pekerjaan di sektor energi baru ini. Namun, transisi ini bukan tanpa hambatan. Banyak negara, termasuk Indonesia, masih sangat bergantung pada energi fosil. Dampaknya, masyarakat yang beralih ke sektor energi baru ini dapat menghadapi risiko kehilangan mata pencaharian.
“Transisi energi bersih harus dilakukan secara adil dan inklusif, memastikan tidak ada yang tertinggal atau dirugikan,” kata Syafri Maulana Akbar, penulis dan pengamat energi terbarukan di Kompasiana. Mengatasi tantangan ini memerlukan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat luas.
Tantangan dalam Infrastruktur dan Pendanaan
Salah satu tantangan utama dalam adopsi energi terbarukan adalah biaya awal yang tinggi untuk membangun infrastruktur dan pengembangan teknologi. Biaya yang besar ini sering menjadi faktor penghalang, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Sebagai contoh, simulasi pemasangan Panel Listrik Tenaga Surya (PLTS) di sebuah rumah tangga menunjukkan potensi penghematan energi yang cukup besar. Namun, biaya instalasi yang tinggi menjadi kendala utama. Untuk itu, peningkatan investasi serta dukungan finansial menjadi strategi utama dalam mengakselerasi transisi ini.
Dalam RUU APBN 2024, disebutkan bahwa pajak menjadi sumber pendanaan terbesar, namun terdapat kesenjangan antara pengumpulan pajak dan dukungannya dalam proyek energi terbarukan. Pemanfaatan instrumen seperti insentif pajak bisa menjadi solusi jitu untuk menggerakkan roda investasi di sektor ini. Pemerintah dapat memberikan potongan atau pembebasan pajak bagi perusahaan yang menjalankan proyek energi terbarukan.
Diversifikasi Sumber Energi Terbarukan
Selain investasi, diversifikasi sumber energi terbarukan menjadi langkah penting mengatasi ketergantungan pada energi fosil. Sifat intermiten dari tenaga surya dan angin—yang bergantung pada cuaca dan waktu—menjadi tantangan tersendiri. Diversifikasi bisa diwujudkan dengan cara mengkombinasikan beberapa jenis energi terbarukan dan memanfaatkan limbah organik sebagai sumber energi.
Keberagaman sumber energi ini dapat membantu mengurangi ketidakstabilan pasokan energi, terutama di wilayah-wilayah yang memiliki akses terbatas terhadap cahaya matahari dan angin. Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alamnya, memiliki potensi besar untuk mengembangkan berbagai jenis energi terbarukan ini.
Kesimpulan
Transisi energi bersih merupakan langkah penting demi masa depan berkelanjutan. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada kebijakan pemerintah yang proaktif, dukungan investasi, serta kerjasama antara berbagai pihak. Pendekatan yang humanis dan adil dalam transisi ini juga sangat penting, agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan dan semua bisa menikmati manfaat dari energi bersih.
Dengan strategi yang tepat, Indonesia bisa menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam mengadopsi teknologi energi terbarukan dan mendorong pembangunan berkelanjutan secara lebih luas.