Minyak

Harga Minyak Dunia Melemah Usai Peringatan Surplus dari IEA

Harga Minyak Dunia Melemah Usai Peringatan Surplus dari IEA
Harga Minyak Dunia Melemah Usai Peringatan Surplus dari IEA

JAKARTA - Harga minyak mentah dunia kembali melemah pada perdagangan Selasa 14 Oktober 2025, dipicu kekhawatiran pasar terhadap potensi kelebihan pasokan besar yang diperingatkan oleh Badan Energi Internasional (IEA).

Laporan lembaga tersebut memunculkan kekhawatiran baru di tengah ketidakpastian global yang sudah menekan harga energi selama beberapa pekan terakhir.

Menurut data Reuters, harga minyak mentah Brent turun 93 sen atau sekitar 1,5 persen menjadi 62,39 dolar AS per barel. 

Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS terkoreksi 79 sen atau 1,3 persen ke posisi 58,70 dolar AS per barel. Penurunan ini terjadi sehari setelah kedua acuan harga minyak tersebut sempat naik hampir satu persen di awal pekan.

Kekhawatiran Surplus Pasokan Picu Tekanan

Pelemahan harga terjadi setelah IEA merilis proyeksi terbarunya yang memperingatkan potensi kelebihan pasokan minyak dunia hingga mencapai 4 juta barel per hari pada 2026. 

Prediksi tersebut didasarkan pada meningkatnya produksi dari negara-negara anggota OPEC+ dan para produsen besar lain di luar kartel, sementara permintaan energi global diperkirakan tetap lemah akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia.

Dalam laporan tersebut, IEA menyoroti bahwa ekspansi produksi tidak diimbangi dengan kenaikan konsumsi, sehingga pasar berisiko mengalami tekanan harga jangka panjang.

 Sejumlah negara produsen diketahui terus menambah kapasitas produksi untuk mempertahankan pangsa pasar, meski kondisi permintaan belum pulih sepenuhnya pascapandemi dan perlambatan ekonomi di beberapa kawasan utama.

Kondisi ini membuat para pelaku pasar waspada terhadap potensi penurunan harga lanjutan jika suplai global terus bertambah tanpa dukungan kenaikan konsumsi yang signifikan.

OPEC Nilai Situasi Tidak Seburuk Prediksi IEA

Di sisi lain, Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama sekutunya, termasuk Rusia, dalam laporan bulanan terbarunya memberikan pandangan yang lebih optimistis. 

Mereka memperkirakan situasi pasar tidak akan separah yang disampaikan oleh IEA, dan justru melihat kemungkinan berkurangnya ketidakseimbangan pasokan pada 2026.

OPEC menilai bahwa peningkatan produksi yang direncanakan akan dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan tren permintaan global. Dengan demikian, mereka memperkirakan risiko kelebihan pasokan besar dapat diminimalkan melalui kebijakan produksi yang lebih fleksibel.

Namun, pandangan tersebut belum cukup untuk meredam kekhawatiran pasar. Investor masih memantau apakah negara-negara OPEC+ akan benar-benar menahan produksi dalam upaya menjaga stabilitas harga minyak dunia.

Ekspektasi Jangka Panjang Masih Positif

Meski pasar minyak saat ini tengah menghadapi tekanan, sejumlah eksekutif perusahaan energi besar tetap menunjukkan optimisme terhadap prospek jangka menengah hingga panjang. 

Mereka meyakini bahwa permintaan energi global akan kembali menguat setelah fase pelemahan sementara, seiring dengan pulihnya aktivitas industri dan transportasi global.

Sektor energi juga tengah bergerak menuju transisi yang lebih hijau, namun bahan bakar fosil seperti minyak diperkirakan masih akan memegang peran penting dalam beberapa dekade ke depan, terutama bagi negara berkembang yang masih bergantung pada energi konvensional.

Keyakinan ini memberikan harapan bahwa pasar minyak akan kembali menemukan keseimbangan baru setelah melewati masa koreksi.

Ketegangan AS-China Tambah Beban Sentimen

Selain faktor pasokan, tekanan harga minyak juga diperparah oleh meningkatnya ketegangan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. 

Ketegangan kedua negara tersebut dikhawatirkan dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi global, terutama jika kebijakan tarif dan pembatasan perdagangan kembali diperketat.

Dennis Kissler, Wakil Presiden Senior Perdagangan di BOK Financial, menilai konflik antara AS dan Tiongkok berpotensi menjadi faktor tambahan yang menekan harga minyak. 

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang melambat akibat ketegangan dagang dapat menurunkan konsumsi energi secara signifikan, mengingat negara tersebut merupakan importir minyak terbesar di dunia.

“Ketegangan antara AS dan Tiongkok juga bisa menekan harga minyak karena pertumbuhan ekonomi Tiongkok mungkin melambat jika situasi memburuk,” ujar Kissler.

Kondisi geopolitik yang tidak menentu membuat investor semakin berhati-hati, terutama terhadap aset berisiko seperti komoditas energi. Sentimen negatif tersebut memperkuat tekanan jual di pasar minyak dunia.

Prospek Pasar Masih Bergantung pada Kebijakan Produksi

Dalam jangka pendek, arah pergerakan harga minyak masih akan sangat bergantung pada kebijakan produksi OPEC+ dan pergerakan permintaan global. Jika negara-negara produsen sepakat untuk memangkas produksi lebih jauh, maka harga berpotensi stabil kembali pada kisaran yang lebih tinggi.

Sebaliknya, apabila kebijakan produksi tetap longgar sementara permintaan tidak menunjukkan perbaikan berarti, maka harga minyak kemungkinan akan tetap berada pada tren lemah hingga akhir tahun.

Para analis memperkirakan pasar akan menunggu hasil pertemuan OPEC+ berikutnya untuk mendapatkan kepastian arah kebijakan produksi. Selain itu, laporan ekonomi dari Amerika Serikat dan China dalam beberapa pekan ke depan juga akan menjadi faktor penentu bagi pergerakan harga minyak dunia.

Kombinasi antara risiko geopolitik, prediksi surplus pasokan, dan ketidakpastian ekonomi global membuat harga minyak masih sulit menemukan titik keseimbangan. 

Namun, pelaku industri berharap tekanan harga yang terjadi saat ini hanya bersifat sementara sebelum pasar kembali menyesuaikan diri dengan kondisi ekonomi yang lebih stabil.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index