JAKARTA - Polemik sertifikat hak milik (SHM) ganda kembali mencuat, kali ini melibatkan perumahan Cluster Setia Mekar Residence 2 di Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Menteri ATR/BPN), Nusron Wahid, angkat bicara untuk menjelaskan duduk perkara sengketa yang merugikan banyak pihak ini.
Konflik SHM di lokasi ini ternyata sudah berakar panjang, dimulai sejak tahun 1982. Berasal dari masalah penjualan tanah oleh pemilik asli, Djuju, yang menjual lahan miliknya dua kali kepada pembeli berbeda. Transaksi pertama dilakukan pada tahun 1976 kepada Abdul Hamid, dan secara kontroversial, tanah yang sama kembali dijual Djuju pada tahun 1982 kepada Kayat.
“Pada tahun 1982 Djuju nakal, tanah sudah dijual sama Abdul Hamid, dijual lagi kepada orang namanya Kayat. Nah, Kayat karena sudah merasa ada AJB kemudian langsung membalik nama,” ungkap Nusron Wahid saat meninjau lokasi pada Jumat 7 Februari 2025. Kayat kemudian memecah tanah menjadi beberapa bidang yang berubah menjadi sertifikat 704, 705, 706, 707, yang kini ada di tangan beberapa pemilik, termasuk area perumahan tersebut.
Namun, ahli waris Abdul Hamid, Mimi Jamilah, tidak tinggal diam. Mimi membawa kasus ini ke pengadilan dan memenangkan gugatan lantaran diakui sebagai pemegang sertifikat asli. “Pengadilan sampai MA dimenangkan oleh Mimi Jamilah sebagai ahli warisnya Abdul Hamid. Nah kemudian ada eksekusi pengadilan seperti sekarang ini,” tambah Nusron.
Dampak konflik ini mengemuka kembali ketika beberapa minggu terakhir ini penghuni Cluster Setia Mekar Residence 2 menggelar aksi protes. Mereka keberatan akan eksekusi pengadilan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan Nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS yang dikeluarkan pada 25 Maret 1997, yang mengharuskan pengosongan lahan mereka.
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, memberikan penegasan mengenai status hukum sertifikat yang dimiliki oleh penduduk. “Sertifikat hak milik yang digenggam oleh para korban tergusur merupakan sertifikat yang sah. Mereka adalah korban dalam skenario ini," jelas Nusron.
Ia juga menyoroti kelalaian dalam proses penggusuran dari pihak pengadilan yang dinilainya kurang berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). “Yang menang itu harusnya datang ke pengadilan, minta ada penetapan perintah pengadilan, lalu memerintahkan kepada BPN untuk membatalkan sertifikat ini. Setelah ada perintah pengadilan baru dibatalkan [sertifikat warganya]. Dan kalau mau ada eksekusi, pengadilan harusnya berkirim surat terlebih dahulu kepada BPN untuk minta diukur mana sih letak lokasi yang harus dieksekusi,” tegas Nusron.
Nusron juga meminta agar dilakukan ganti rugi kepada para korban yang kehilangan tempat tinggal. Dia mendesak agar pihak Djuju yang sebenarnya bertanggung jawab atas penjualan tanah ganda tersebut ikut berperan dalam mengganti kerugian yang diderita masyarakat.
Kasus ini ramai diperbincangkan di media sosial, memperlihatkan betapa mendesaknya solusi yang adil dan bijaksana untuk menangani masalah dual SHM ini. Pemerintah bersama seluruh pihak terkait diimbau untuk segera mencari jalan tengah guna memastikan masyarakat yang telah lama menempati rumahnya tidak kehilangan hak mereka begitu saja.
Dengan bertambahnya kasus SHM ganda ini, Nusron mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam transaksi tanah dan perlunya pembaruan sistem tingkat nasional untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang. Pemerintah juga diharapkan dapat bertindak cepat untuk menangani masalah ini sehingga tidak menciptakan keresahan yang lebih besar di masyarakat.
Melihat peliknya kasus ini, para ahli juga menyarankan penggunaan teknologi canggih dan database digital dalam mencatat setiap transaksi tanah untuk memastikan tidak ada tumpang tindih sertifikat di masa mendatang.
Kisah ini menjadi peringatan keras bagi semua pihak terkait akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam manajemen nasional pertanahan. Selain itu, perlindungan hukum bagi masyarakat pemilik tanah yang sah harus ditegakkan tanpa pandang bulu.