JAKARTA - Kehidupan finansial masyarakat urban semakin cepat dan serba digital.
Layanan fintech kini tidak hanya berfungsi sebagai alat transaksi, tetapi sudah menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari, terutama di kota-kota besar. Masyarakat perkotaan menikmati berbagai kemudahan, mulai dari transfer uang instan, pembayaran tagihan, hingga investasi mikro melalui aplikasi digital.
Namun, kenyamanan ini belum tentu dirasakan merata di seluruh wilayah Indonesia. Di luar kota besar, akses terhadap layanan keuangan digital masih terbatas, sehingga kesenjangan ekonomi dan sosial dapat semakin melebar.
Fenomena ini menunjukkan bahwa transformasi digital tidak hanya soal teknologi, tetapi juga menyangkut pemerataan dan dampak sosial yang luas.
Kesenjangan Akses dan Literasi
Survei tahunan Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) menunjukkan penetrasi fintech yang timpang secara geografis. Sekitar 73,77 persen pengguna fintech terkonsentrasi di wilayah Jabodetabek, sementara wilayah non-metropolitan masih tertinggal jauh.
Mayoritas pengguna juga berasal dari kelas menengah dengan penghasilan Rp5–10 juta, bukan kelompok berpenghasilan rendah yang justru membutuhkan inklusi keuangan lebih besar.
Ketua AFTECH menegaskan bahwa data ini menjadi peta jalan untuk memperkuat ekosistem fintech. Fokus saat ini tidak hanya pada inovasi, tetapi juga memastikan manfaatnya dirasakan masyarakat luas.
Tantangan terbesar masih soal literasi keuangan digital, karena banyak konsumen belum memahami risiko keamanan, pengelolaan utang digital, atau cara berinvestasi secara bijak.
Sekitar 59,02 persen pelaku industri menyebut rendahnya literasi sebagai hambatan utama, sementara phishing dan penipuan digital tetap menjadi perhatian meski sedikit menurun dari tahun sebelumnya.
Strategi Perusahaan Fintech dan Tren Bisnis
Industri fintech pun mulai menggeser strategi. Alih-alih mengandalkan pendanaan eksternal, banyak perusahaan kini fokus pada profitabilitas dan efisiensi internal. Sekitar 43,4 persen perusahaan fintech pada 2025 memilih tidak lagi aktif mencari pendanaan eksternal, menandakan pergeseran ke model bisnis berkelanjutan.
Selain itu, adopsi standar keamanan internasional, seperti ISO/IEC 27001, meningkat untuk menjaga kepercayaan konsumen. Tren bisnis juga berubah signifikan, dengan pertumbuhan pengguna sektor B2B melonjak dari 27,48 persen menjadi 50 persen dalam setahun.
Ekspansi global perusahaan fintech juga meningkat, dari 56 persen pada 2024 menjadi 64 persen pada 2025, menunjukkan peran fintech sebagai infrastruktur digital yang semakin matang untuk mendukung sektor riil.
Inklusi Finansial Jadi Kunci Dampak Sosial
Transformasi digital telah mengubah cara masyarakat mengelola uang, bertransaksi, hingga membentuk kebiasaan finansial baru. Meski begitu, agar perubahan ini berdampak sosial nyata, inklusi harus menjadi prioritas utama.
Tanpa inklusi, kemajuan fintech hanya memberi kenyamanan bagi masyarakat urban, sementara masyarakat di daerah tertinggal tetap menghadapi kesulitan dalam mengakses layanan keuangan.
Langkah-langkah ke depan perlu memastikan akses fintech merata dan literasi digital meningkat di semua lapisan masyarakat. Dengan kombinasi teknologi, edukasi, dan regulasi yang tepat, fintech dapat menjadi alat pemberdayaan ekonomi nasional, bukan sekadar kemudahan perkotaan.
Transformasi digital yang sukses akan menciptakan ekosistem inklusif yang memberi manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat, sekaligus memperkuat fondasi ekonomi Indonesia di era digital.