JAKARTA - Indonesia tengah menyiapkan langkah strategis dalam upaya mempercepat pembangunan energi bersih, khususnya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 100 gigawatt (GW) yang menjadi target Presiden Prabowo Subianto.
Langkah ini menuntut mobilisasi pendanaan iklim global senilai 1,3 triliun dolar AS per tahun, sebagaimana dibahas dalam forum COP30.
Para pengamat menilai bahwa keberhasilan mobilisasi dana ini sangat menentukan percepatan transisi energi nasional. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih menghadapi tantangan pembiayaan karena biaya modal proyek energi bersih yang mencapai 8–12 persen, dua kali lipat negara maju.
Kondisi ini menimbulkan risiko proyek energi bersih kurang menarik bagi investor global, padahal potensi energi surya di Indonesia sangat besar.
Pembangunan PLTS 100 GW dalam satu dekade memerlukan reformasi mendasar, baik dari sisi pendanaan maupun kebijakan.
Instrumen penjaminan, insentif fiskal, hingga kepastian regulasi menjadi faktor utama agar investor yakin berpartisipasi dalam proyek energi terbarukan yang berkelanjutan. Tanpa strategi ini, ambisi Indonesia bisa tertinggal di tengah arus investasi energi bersih global.
Target 100 GW PLTS sebagai Motor Transisi Energi
Menurut analisis International Energy Agency (IEA), kapasitas energi terbarukan di negara berkembang dapat mencapai 600 GW per tahun pada 2035 jika skema kebijakan dijalankan dengan konsisten.
Realisasi kapasitas ini diharapkan menekan ketergantungan energi fosil, terutama batu bara, yang saat ini masih mendominasi pembangkitan listrik di negara berkembang.
Sekitar 55 persen dari permintaan batu bara global digunakan oleh negara-negara berkembang untuk pembangkitan listrik. Dengan pertumbuhan energi terbarukan, penggunaan batu bara dapat menurun secara signifikan.
Namun, tantangan muncul karena biaya modal yang tinggi membuat proyek energi bersih lebih sulit dijalankan. Oleh karena itu, strategi mobilisasi pendanaan menjadi krusial agar proyek PLTS dapat merealisasikan target kapasitas 100 GW sesuai visi nasional.
Pengamat menekankan pentingnya integrasi program energi bersih di pedesaan dan wilayah perbatasan. Pembangunan PLTS harus dilengkapi dengan insentif yang tepat dan mekanisme pendanaan yang efisien agar manfaat listrik bersih dapat dirasakan secara merata, sekaligus menciptakan ekosistem ekonomi hijau yang berkelanjutan.
Langkah Pemerintah Perkuat Kepastian Investasi
COP30 menjadi momentum penting bagi Pemerintah Indonesia untuk menunjukkan komitmen terhadap investasi energi terbarukan. Pemerintah perlu meyakinkan investor global bahwa proyek PLTS memiliki kepastian jangka panjang, sehingga aliran dana internasional dapat diarahkan ke proyek-proyek lokal.
Skema alternatif pembiayaan, seperti pungutan produksi batu bara yang dialokasikan untuk energi bersih, menjadi salah satu opsi untuk mendukung pembangunan PLTS.
Selain itu, insentif fiskal dan pengembangan industri panel surya dalam negeri diharapkan dapat menarik investasi domestik maupun asing.
Strategi ini tidak hanya memperluas kapasitas energi terbarukan, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru dan mengurangi beban subsidi energi di APBN. Keseimbangan antara inovasi pembiayaan dan kebijakan konsisten menjadi kunci keberhasilan transisi energi hijau di Indonesia.
Para pakar menekankan bahwa tanpa langkah-langkah konkrit, target PLTS 100 GW hanya akan menjadi slogan.
Restrukturisasi aliran pendanaan, pengalihan insentif dari energi fosil ke energi bersih, dan pengurangan risiko investasi menjadi aspek penting agar proyek energi terbarukan benar-benar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan kedaulatan energi nasional.
Manfaat Ekonomi dan Lingkungan dari Energi Surya
Transisi ke energi hijau dipandang memiliki dampak positif jangka panjang terhadap ekonomi, lingkungan, dan kesehatan.
Studi terkait dampak ekonomi dari ekspansi pembangkit gas menunjukkan bahwa mempertahankan energi fosil akan menimbulkan kerugian signifikan, termasuk biaya kesehatan dan degradasi lingkungan, yang dapat mencapai triliunan rupiah. Dengan memprioritaskan PLTS dan energi terbarukan, Indonesia dapat meminimalkan risiko tersebut.
Selain itu, pengembangan PLTS juga membuka peluang listrik lebih murah bagi rumah tangga, industri, dan sektor komersial. Program ini memungkinkan penghematan energi, pengurangan subsidi APBN, serta terciptanya pekerjaan hijau yang menyebar luas.
Kombinasi antara mobilisasi pendanaan global, inovasi industri surya, dan kebijakan fiskal yang tepat diyakini menjadi strategi ampuh untuk memastikan target 100 GW PLTS bukan sekadar angka, melainkan langkah nyata dalam memperkuat ketahanan energi nasional dan pembangunan ekonomi berkelanjutan.