Apindo Soroti Tantangan Pemulihan Ekonomi dan Perlunya Reformasi Struktural

Selasa, 21 Oktober 2025 | 11:01:01 WIB
Apindo Soroti Tantangan Pemulihan Ekonomi dan Perlunya Reformasi Struktural

JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai pemulihan ekonomi nasional belum sepenuhnya kuat maupun inklusif. 

Meski indikator makro menunjukkan perbaikan, sejumlah tantangan mendasar masih membayangi, mulai dari lemahnya permintaan konsumen hingga tekanan nilai tukar. Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, menjelaskan bahwa kondisi ekonomi saat ini masih berada dalam fase shaky recovery, atau pemulihan yang belum stabil.

Deflasi 0,09% yang terjadi pada Februari lalu dan inflasi yang hanya bertahan di kisaran 1%–2% selama empat bulan berikutnya menjadi sinyal lemahnya konsumsi rumah tangga. Situasi ini memberi dampak besar bagi sektor ritel dan industri padat karya yang sangat bergantung pada daya beli masyarakat.

Selain itu, nilai tukar rupiah sempat menembus Rp16.900 per dolar AS pada April dan September, mendekati batas atas target pemerintah. 

Kondisi ini membuat biaya impor bahan baku dan energi meningkat, sementara cadangan devisa turun menjadi US$148 miliar, di bawah target US$162 miliar. Shinta menilai penurunan tersebut mempersempit ruang intervensi moneter yang dimiliki pemerintah.

Kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDB juga masih di bawah ekspektasi. Pada triwulan II/2025, kontribusinya baru mencapai 18,67%, sekitar 1,5 hingga 2 poin di bawah target Rencana Kerja Pemerintah (RKP). 

“Kondisi ini menunjukkan masih adanya structural bottlenecks yang perlu segera diatasi untuk mempercepat industrialisasi dan penciptaan lapangan kerja,” ujar Shinta.

Pertumbuhan Ekonomi Perlu Terobosan Struktural dan Investasi Besar

Menurut Apindo, pertumbuhan ekonomi di atas 5% masih tergolong realistis. Namun, untuk mencapai target 7%–8% seperti yang dicanangkan pemerintah, diperlukan terobosan besar di tingkat struktural. 

Berdasarkan perhitungan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Indonesia membutuhkan investasi sekitar Rp13.528 triliun agar mampu mencapai pertumbuhan 8%, hampir dua kali lipat dari target investasi periode 2019–2024 sebesar Rp5.823 triliun.

Shinta menggambarkan satu tahun terakhir sebagai fase strong policy ignition but gradual transmission. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan besar seperti fiskal ekspansif, pembentukan Danantara, serta deregulasi perizinan dan perdagangan. 

Namun, efek ganda dari kebijakan tersebut belum sepenuhnya dirasakan sektor riil, terutama bagi usaha padat karya dan masyarakat kelas menengah.

Evaluasi Apindo menunjukkan dinamika ekonomi yang berlapis. Di satu sisi, indikator makro menunjukkan capaian positif seperti pertumbuhan ekonomi 5,12% pada kuartal II/2025, surplus perdagangan selama 64 bulan berturut-turut, serta kenaikan investasi sebesar 11% secara tahunan. 

Namun di sisi lain, kondisi ekonomi mikro belum menunjukkan pemulihan yang seimbang. 

Tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat 32% pada paruh pertama tahun ini, sementara Indeks Keyakinan Konsumen turun dari 121,1 pada Maret menjadi 115 pada September.

“Ke depan, strategi akselerasi ekonomi perlu diarahkan pada penguatan policy coherence, pendalaman industri, percepatan pengembangan SDM, dan peningkatan efisiensi struktural,” papar Shinta. 

Ia menambahkan bahwa pemerintah perlu memastikan kesinambungan antar kebijakan agar tidak berhenti di level program, serta mempercepat reindustrialisasi untuk memperkuat sektor padat karya dan membuka lapangan kerja baru.

Konsumsi dan Investasi Jadi Penopang Utama Pertumbuhan

Dalam proyeksinya, Apindo menilai konsumsi rumah tangga masih menjadi pilar utama pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan kontribusi lebih dari 50% terhadap PDB. Namun, daya dorong konsumsi tersebut kini menghadapi tantangan serius akibat tekanan terhadap kelas menengah.

Data menunjukkan jumlah penduduk kelas menengah menurun dari 57,3 juta orang pada 2019 menjadi 47,8 juta pada 2024. Penurunan Indeks Keyakinan Konsumen dari 121 pada Maret menjadi 115 pada September mempertegas bahwa daya beli belum sepenuhnya pulih. 

“Middle-class squeeze ini perlu mendapat perhatian khusus, karena kelas menengah berperan penting dalam menjaga stabilitas permintaan domestik,” jelas Shinta.

Sementara itu, investasi tetap menjadi tumpuan pemulihan ekonomi. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menunjukkan potensi pertumbuhan yang kuat di sektor riil seperti transportasi, perdagangan, dan perumahan. 

Sedangkan Penanaman Modal Asing (PMA) masih didominasi oleh industri berbasis sumber daya alam seperti logam dasar, pertambangan, dan kimia.

Dari sisi perdagangan, surplus ekspor pada Agustus menjadi sinyal positif. Namun, kinerja ekspor manufaktur padat karya masih fluktuatif, sementara ekspor migas mengalami penurunan 14,14%. 

Dunia usaha berharap momentum kerja sama perdagangan seperti IEU-CEPA dapat dimanfaatkan untuk memperluas pasar produk lokal seperti furnitur, kopi, hasil perikanan, dan alas kaki.

Reformasi Fiskal dan SDM Jadi Kunci Ketahanan Ekonomi

Apindo menilai strategi fiskal pemerintah juga perlu diarahkan pada penguatan basis penerimaan negara tanpa membebani sektor yang sudah patuh pajak. Berdasarkan catatan pelaku usaha, rasio pajak Indonesia turun menjadi 8,42% pada semester I/2025 dari 9,49% tahun sebelumnya. 

Penurunan ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk memperluas basis pajak, bukan meningkatkan tarif.

“Kebijakan pajak tidak boleh berburu di kebun binatang, tetapi harus menjangkau sektor potensial yang belum tergarap,” tegas Shinta. Ia menambahkan, penerimaan negara yang berkelanjutan tidak akan tercapai melalui pemungutan agresif, melainkan lewat peningkatan produktivitas ekonomi.

Dalam konteks tenaga kerja, Apindo mendorong pemerintah menggeser fokus dari penciptaan lapangan kerja semata menjadi peningkatan kompetensi tenaga kerja melalui upskilling dan reskilling. Langkah ini diyakini dapat memperkuat daya saing tenaga kerja Indonesia di tengah perubahan struktur industri global.

Dengan memperkuat sinergi antara kebijakan fiskal, investasi, dan pengembangan sumber daya manusia, Apindo meyakini perekonomian Indonesia dapat keluar dari fase pemulihan yang rapuh menuju pertumbuhan yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan. 

Reformasi struktural yang konsisten akan menjadi kunci utama agar ekonomi nasional tidak hanya tumbuh secara angka, tetapi juga dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat.

Terkini