JAKARTA – Permintaan terhadap Surat Berharga Negara (SBN) berdenominasi rupiah diproyeksikan mengalami peningkatan dalam waktu dekat. Proyeksi tersebut disampaikan oleh Head of Fixed Income Research BNI Sekuritas, Amir Dalimunthe, yang melihat tren penurunan imbal hasil (yield) Obligasi Pemerintah Amerika Serikat (US Treasury/UST) sebagai faktor pendorong utama.
Menurut Amir, kondisi global yang memperlihatkan pelemahan pada imbal hasil US Treasury, khususnya untuk tenor lima dan sepuluh tahun, memberikan ruang yang lebih menarik bagi investor untuk mengalihkan minat ke instrumen domestik, seperti SBN berdenominasi rupiah.
“Berdasarkan valuasi yield curve, kami memperkirakan bahwa obligasi berikut akan menarik bagi para investor, yaitu seri FR0094, FR0052, FR0068, FR0103, FR0079,” ujar Amir di Jakarta.
Penurunan Yield Treasury AS Dorong Daya Tarik SBN Domestik
Amir menjelaskan bahwa yield US Treasury (UST) 5 tahun tercatat mengalami penurunan sebesar 4 basis poin (bps) menjadi 4,04 persen, sementara yield UST 10 tahun turun lebih signifikan, yakni sebesar 8 bps menjadi 4,43 persen. Kondisi ini menciptakan potensi pergeseran investasi dari pasar luar negeri ke dalam negeri.
Di sisi lain, penurunan risiko investasi terhadap Indonesia juga turut memperkuat minat terhadap SBN. Hal ini tercermin dari Credit Default Swap (CDS) 5 tahun Indonesia yang terus menunjukkan penurunan tren. CDS turun 2 bps dari hari sebelumnya, mencapai level 80 basis poin.
CDS sendiri merupakan indikator risiko kredit suatu negara, dan penurunan nilai CDS menandakan persepsi risiko yang lebih rendah, sehingga investor cenderung lebih percaya diri untuk masuk ke pasar surat utang nasional.
Kinerja Pasar SUN dan SBSN Meningkat
Sementara itu, data dari PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) menunjukkan adanya pergerakan pada Surat Utang Negara (SUN) benchmark. Yield SUN Benchmark 5 tahun (FR0104) tercatat naik sebesar 5 bps menjadi 6,42 persen, sedangkan yield SUN 10 tahun (FR0103) naik 2 bps menjadi 6,81 persen.
Volume transaksi SBN secara outright mencapai Rp28,5 triliun, mengalami peningkatan signifikan dibandingkan hari sebelumnya yang tercatat sebesar Rp22,3 triliun.
Di pasar sekunder, dua seri yang mencatatkan volume transaksi tertinggi adalah FR0086 dan PBS003, masing-masing dengan volume Rp4,4 triliun dan Rp3,9 triliun. Ini menunjukkan bahwa pasar obligasi negara tetap aktif dan menarik minat investor, khususnya di tengah fluktuasi pasar global.
Selain SBN, obligasi korporasi juga mencatatkan volume transaksi outright yang cukup tinggi, yakni sebesar Rp3,8 triliun.
Lelang SBSN Masih Diincar Investor, Meski Nilai Penawaran Sedikit Turun
Dari sisi penerbitan, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) mencatat bahwa lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) menerima total incoming bid sebesar Rp24,8 triliun. Angka ini sedikit menurun dibandingkan lelang SBSN sebelumnya pada 14 Mei yang mencapai Rp27,3 triliun.
Meski demikian, pemerintah tetap menetapkan total amount awarded sebesar Rp8 triliun, sesuai dengan target indikatif yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini mencerminkan sikap kehati-hatian pemerintah dalam menjaga stabilitas pembiayaan, meskipun permintaan pasar tetap tinggi.
Prospek SBN di Tengah Ketidakpastian Global
Melihat tren yang ada, analis memperkirakan SBN akan tetap menjadi instrumen investasi yang diminati, terutama oleh investor institusi dan asing yang mencari imbal hasil kompetitif dengan risiko relatif rendah. Penurunan yield US Treasury memberikan ruang lebih luas bagi pasar surat utang domestik untuk tumbuh.
“Kami melihat adanya peluang pemulihan di pasar SBN domestik seiring meningkatnya minat investor terhadap instrumen berdenominasi rupiah. Dukungan dari faktor global seperti penurunan yield US Treasury dan membaiknya persepsi risiko Indonesia turut memperkuat outlook positif ini,” tegas Amir.
Dengan prospek ini, para pelaku pasar diharapkan terus mencermati dinamika global dan domestik, terutama terkait arah kebijakan moneter dari bank sentral utama dunia serta strategi pembiayaan pemerintah Indonesia ke depan.