JAKARTA - Pemerintah mulai menata ulang pendekatan pembangunan transmigrasi dengan menempatkan investasi sebagai penggerak utama.
Arah kebijakan ini ditegaskan Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara, yang menyatakan bahwa mandat Tim Ekspedisi Patriot kini diperluas agar tidak hanya menghasilkan pra-studi kelayakan, tetapi mampu memproduksi dokumen kelayakan lengkap yang siap langsung ditawarkan kepada investor.
Ia menegaskan bahwa dokumen tersebut harus benar-benar memenuhi standar “feasibility study ready to offer”, sehingga bisa langsung masuk ke tahap pemetaan mitra usaha potensial.
“Oleh karena itu tahun depan, produk dari Ekspedisi Patriot adalah feasibility study ready to offer. To offer kepada siapa? Ditawarkan kepada siapa? Kepada para investor,” kata Mentrans di sela penyerahan 402 Sertifikat Hak Milik kepada transmigran.
Langkah ini bertujuan mempercepat masuknya investasi ke kawasan transmigrasi, terutama untuk sektor yang sudah memiliki skala ekonomi kuat seperti pertanian, perikanan, dan pengelolaan sumber daya lokal.
Mentrans menjelaskan bahwa sejumlah wilayah transmigrasi, termasuk Muna, memiliki potensi menjadi pusat industri baru yang berdampak luas terhadap peningkatan produktivitas masyarakat.
Penguatan Skema Lahan dan Teknologi Modern
Mentrans menekankan bahwa skala ekonomi suatu kawasan tidak dapat tercapai jika kepemilikan lahan masih terfragmentasi. Karena itu pemerintah mulai menata ulang skema lahan agar lebih efisien untuk mendukung mekanisasi dan penerapan teknologi modern.
Menurutnya, pola pengelolaan lahan bersama akan memberikan hasil jauh lebih besar dibandingkan praktik manual yang selama ini membatasi kapasitas produksi.
Ia mencontohkan hasil mekanisasi di beberapa wilayah transmigrasi yang terbukti meningkatkan produktivitas secara signifikan. Penggunaan traktor industri dan alat modern lainnya membuat proses produksi lebih cepat, efisien, dan kompetitif. “Hari ini kekuatan transmigrasi itu dua. Satu lahan, dua manusianya,” ujar Mentrans.
Dalam kerangka tersebut, pemerintah juga mendorong sinergi antara dunia kampus dan investor. Keterlibatan perguruan tinggi difokuskan pada riset, teknologi, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia, sementara investor menyediakan dukungan modal dan akses rantai pasok.
Kombinasi ini diharapkan menciptakan ekosistem pembangunan transmigrasi yang lebih kokoh dan berkelanjutan.
Tantangan Transmigran dan Kebutuhan Kolaborasi Besar
Meski potensi kawasan transmigrasi besar, Mentrans mengingatkan bahwa kebutuhan dasar transmigran masih menghadapi sejumlah tantangan.
Ia menguraikan tiga hambatan utama yang harus segera diatasi, yaitu keterbatasan modal, minimnya akses teknologi, dan belum tersedianya off-taker yang stabil untuk menampung hasil produksi. Ketiga tantangan ini membuat transmigran sulit bergerak ke level produksi yang berorientasi pasar.
Ia menekankan bahwa untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan kolaborasi kuat dengan pelaku usaha berskala besar yang memiliki kapasitas modal, jaringan usaha, dan kemampuan manajemen modern.
Integrasi antara masyarakat transmigran dan dunia usaha besar menjadi jalan untuk memastikan keberlanjutan pembangunan ekonomi di kawasan transmigrasi.
Selain itu, pemerintah memperkuat lima pilar transmigrasi yang meliputi pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, infrastruktur dasar, dan keamanan. Penguatan ini ditujukan agar transmigrasi tidak hanya memindahkan penduduk, tetapi membangun komunitas modern yang mampu tumbuh mandiri dan menarik investor.
Kewajiban Serap Tenaga Kerja Lokal dan Dampak Sosial
Dalam model pembangunan transmigrasi yang baru, pemerintah memberikan syarat khusus bagi investor yang ingin masuk ke kawasan transmigrasi. Mereka diwajibkan menyerap 70–80 persen tenaga kerja lokal. Kebijakan ini ditetapkan untuk memastikan manfaat pembangunan langsung dirasakan masyarakat di kawasan tersebut.
Mentrans menegaskan bahwa peningkatan kerja sama produktif dengan investor hanya akan memberikan nilai tambah jika mampu membuka kesempatan kerja luas bagi masyarakat.
Ia menyampaikan bahwa penyerapan tenaga kerja menjadi indikator keberhasilan paling penting dalam pembangunan transmigrasi. “Supaya mereka betul-betul terserap oleh lapangan kerja. Jika masyarakat semua bekerja, Insya Allah, tidak ada lagi kemiskinan di muka bumi ini,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa strategi ini menjadi bagian dari model pembangunan transmigrasi yang lebih inklusif, di mana masyarakat tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga pelaku utama dalam proses pembangunan.
Dengan masuknya investor, transmigran diharapkan memiliki akses lebih besar pada pasar, teknologi, fasilitas produksi, serta pelatihan peningkatan keterampilan.
Dalam praktiknya, kebijakan penyerapan tenaga kerja lokal juga memberikan kepastian bagi masyarakat transmigran bahwa pertumbuhan kawasan transmigrasi akan selaras dengan kesejahteraan mereka.
Pemerintah optimistis bahwa pendekatan ini dapat mempersempit angka kemiskinan dan membuka peluang usaha baru melalui rantai nilai yang tercipta dari kegiatan investasi.
Upaya pemerintah membangun model transmigrasi modern tersebut menjadi langkah strategis dalam menciptakan kawasan pertumbuhan baru yang berdaya saing tinggi.
Dengan memperkuat riset, mempermudah investasi, menata ulang lahan, dan meningkatkan kemampuan masyarakat, transmigrasi diharapkan mampu berkembang menjadi sentra ekonomi yang tidak kalah dengan kawasan industri mapan.
Keseluruhan kebijakan ini dirancang untuk memastikan bahwa transmigrasi tidak hanya memindahkan penduduk, tetapi juga membentuk pusat kehidupan baru yang produktif dan berkelanjutan.