Puasa Intermiten

Manfaat dan Pengaruh Puasa Intermiten terhadap Fungsi Kognitif serta Kondisi Fisik

Manfaat dan Pengaruh Puasa Intermiten terhadap Fungsi Kognitif serta Kondisi Fisik
Manfaat dan Pengaruh Puasa Intermiten terhadap Fungsi Kognitif serta Kondisi Fisik

JAKARTA - Pembahasan mengenai puasa intermiten semakin berkembang seiring meningkatnya minat masyarakat terhadap pola makan yang dianggap mampu membantu menjaga berat badan. 

Meski demikian, masih banyak kekhawatiran bahwa rasa lapar dapat memengaruhi kemampuan berpikir, terutama ketika seseorang harus tetap fokus pada aktivitas harian.

Psikolog Profesor David Moreau menjelaskan bahwa anggapan tersebut muncul karena banyak orang menghubungkan lapar dengan energi rendah, kondisi emosional yang tidak stabil, serta kecenderungan mudah terdistraksi. 

Menurutnya, hal itu membuat sebagian besar orang merasa logis jika kemampuan kognitif juga ikut terganggu ketika seseorang sedang berpuasa.

Melalui tinjauan terhadap lebih dari puluhan penelitian, Moreau menemukan bahwa puasa jangka pendek sekitar dua belas jam ternyata tidak memberikan dampak negatif pada kemampuan kognitif orang dewasa. Dalam berbagai studi eksperimental, performa mental orang yang berpuasa tetap setara dengan mereka yang makan secara teratur.

Ia juga menjelaskan bahwa studi lain yang melibatkan ribuan orang dewasa menunjukkan hasil serupa. Peserta yang sedang atau baru menjalani puasa tetap mampu mempertahankan kemampuan kognitif ketika menjalani serangkaian tugas mental.

Moreau menegaskan bahwa para peneliti awalnya memperkirakan akan ada sedikit penurunan performa otak saat tubuh merasa lapar, namun hasil penelitian justru menunjukkan bahwa kinerja otak tetap stabil. 

Meski begitu, analisis tetap mencatat adanya sedikit penurunan kemampuan pada mereka yang berpuasa lebih dari dua belas jam, meskipun penurunan tersebut tidak terlalu signifikan.

Dampak Puasa terhadap Suasana Hati dan Keseimbangan Emosi

Selain kemampuan berpikir, kondisi emosional juga menjadi faktor yang tak luput dari perhatian para peneliti ketika membahas puasa intermiten. Perubahan suasana hati dianggap dapat berpengaruh pada kinerja kognitif seseorang, terutama saat tubuh mulai bereaksi terhadap kurangnya asupan makanan.

Terapis sekaligus psikolog klinis Sera Lavelle menjelaskan bahwa puasa intermiten dapat memicu perubahan suasana hati pada sebagian orang. Ia menyebutkan bahwa penurunan glukosa darah atau meningkatnya rasa lapar dapat menimbulkan iritabilitas, perubahan emosi, serta meningkatnya pikiran mengenai makanan.

Di sisi lain, psikolog Charlotte Markey menilai bahwa masih diperlukan penelitian lebih mendalam untuk memahami hubungan antara perubahan suasana hati dan kemampuan berpikir. 

Ia menuturkan bahwa sulit bagi seseorang merasa bahagia ketika lapar, sehingga muncul istilah hangry yang menggambarkan kondisi emosi yang berubah akibat rasa lapar.

Markey yang meneliti perilaku makan dan manajemen berat badan menjelaskan bahwa setiap orang memiliki respons berbeda terhadap rasa lapar. 

Faktor seperti ritme aktivitas, kondisi fisik, dan tekanan psikologis dapat memengaruhi bagaimana seseorang menjalani puasa intermiten dan bagaimana hal tersebut berdampak pada suasana hati.

Karena itu, peneliti menilai bahwa perubahan emosi selama berpuasa perlu dipahami secara lebih komprehensif, terutama ketika seseorang sedang menjalani rutinitas harian yang membutuhkan fokus dan stabilitas emosi.

Pertimbangan Kesehatan dan Mekanisme Energi saat Berpuasa

Pembahasan mengenai puasa intermiten tidak hanya berkaitan dengan kondisi mental, tetapi juga bagaimana tubuh memproses energi saat tidak menerima asupan makanan. Peneliti menjelaskan bahwa puasa dapat memberikan dampak positif maupun negatif tergantung pada kondisi masing-masing individu.

Pada sebagian orang, puasa dapat membantu tubuh menggunakan energi secara lebih efisien. Ketika glikogen sebagai cadangan energi utama mulai berkurang, tubuh beralih menggunakan lemak sebagai sumber energi alternatif. Proses ini disebut ketosis, yaitu ketika tubuh menghasilkan keton yang dijadikan bahan bakar.

Moreau menyampaikan bahwa bukti ilmiah yang terus berkembang menunjukkan bahwa keton dapat memberikan manfaat kesehatan yang lebih luas. Keton disebut dapat memodulasi sistem hormonal serta mengaktifkan proses perbaikan sel yang berkaitan dengan umur panjang.

Namun demikian, ia mengingatkan bahwa puasa intermiten tidak cocok bagi semua orang. Mereka yang memiliki kondisi medis tertentu, kekurangan berat badan, atau rentan mengalami gangguan makan sebaiknya berhati-hati sebelum mencoba pola ini.

Lavelle menambahkan bahwa sebelum memulai puasa, seseorang perlu memastikan apakah metode tersebut selaras dengan kondisi tubuh, kesehatan mental, serta tuntutan aktivitas harian. Setiap orang memiliki respons berbeda terhadap rasa lapar, sehingga kenyamanan menjalani puasa juga sangat subjektif.

Menurutnya, puasa dapat menimbulkan beban psikologis seperti kecenderungan memikirkan makanan, munculnya perubahan suasana hati, dan ketidaknyamanan lain yang harus dipertimbangkan sebelum seseorang menerapkan pola ini dalam keseharian.

Pentingnya Memahami Respons Tubuh sebelum Menerapkan Pola Puasa

Peneliti dan praktisi kesehatan menilai bahwa memahami kebutuhan tubuh merupakan langkah dasar sebelum seseorang mencoba pola puasa intermiten. Manfaat yang mungkin muncul maupun risiko yang dapat terjadi perlu dipertimbangkan sesuai kondisi pribadi masing-masing.

Mereka menekankan bahwa setiap individu memiliki ritme biologis dan respons emosional yang berbeda terhadap perubahan pola makan. Oleh karena itu, pemantauan kondisi fisik dan mental sangat penting untuk memastikan puasa dilakukan dengan benar.

Pemahaman yang lebih menyeluruh mengenai mekanisme tubuh serta efek psikologis selama berpuasa diharapkan dapat membantu seseorang menjalani metode ini dengan lebih aman dan nyaman. 

Dengan pendekatan yang tepat, puasa intermiten dapat menjadi metode yang bermanfaat tanpa mengganggu kinerja kognitif maupun keseimbangan emosi.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index