ank Indonesia Waspadai Dampak Inflasi Global Akibat Kebijakan Trump 2.0 yang Tidak Diprediksi

Minggu, 09 Februari 2025 | 11:17:05 WIB
ank Indonesia Waspadai Dampak Inflasi Global Akibat Kebijakan Trump 2.0 yang Tidak Diprediksi

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) telah menyampaikan kekhawatirannya terhadap potensi kenaikan inflasi global yang bisa terjadi akibat kebijakan ekonomi terbaru dari pemerintahan Donald Trump di Amerika Serikat. Kebijakan yang sering dijuluki "Trump 2.0" ini dinilai memiliki dampak langsung yang bisa mengerek tingkat inflasi di AS. Lalu bagaimana efeknya terhadap perekonomian global?

Menurut Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) BI, Juli Budi Winantya, setidaknya ada tiga kebijakan utama dalam pemerintahan Trump kali ini yang patut diwaspadai. Ia menjelaskan dalam sesi pelatihan wartawan yang diadakan Bank Indonesia di Banda Aceh, bahwa "Kebijakan tarif impor Trump, misalnya, memiliki potensi besar dalam meningkatkan harga barang dan jasa di Amerika Serikat. Langkah ini, lanjutnya, akan mempengaruhi inflasi AS dari sisi harga, ditambah lagi dengan meningkatnya permintaan."

Dampak Kebijakan Tarif Impor Terhadap Inflasi

Kebijakan tarif impor diterapkan oleh Trump bukanlah hal baru, namun efeknya yang bertubi-tubi pada harga produk dalam negeri Amerika bisa memicu meningkatnya inflasi. Para ekonom di Bank Indonesia memperkirakan bahwa naiknya tarif akan mendorong inflasi dari sisi harga, sekaligus menaikkan tekanan permintaan dalam negeri, yang pada akhirnya memunculkan gejolak inflasi dari dua sisi sekaligus.

Pemotongan Pajak Korporasi Tingkatkan Permintaan Domestik

Juli Budi Winantya juga menggarisbawahi bahwa kebijakan terbaru mengenai pemotongan pajak korporasi di AS memiliki dampak signifikan. Menurutnya, pemotongan pajak ini akan mendorong peningkatan permintaan domestik, dan di sisi lain akan memperbesar defisit fiskal AS. "Dengan meningkatnya defisit fiskal, pemerintah AS perlu melakukan pembiayaan yang lebih besar, yang tentunya akan berdampak pada naiknya imbal hasil obligasi AS," jelasnya lagi. Kenaikan yield obligasi AS ini bisa mengubah pola aliran modal internasional, mempengaruhi terutama pasar negara berkembang seperti Indonesia.

Ketatnya Kebijakan Tenaga Kerja dan Pengaruhnya pada Inflasi

Tak hanya itu, pemerintahan Trump juga mengintensifkan kebijakan terkait pengetatan tenaga kerja ilegal. Pengusiran atau deportasi terhadap pekerja ilegal diprediksi akan memperketat pasar tenaga kerja AS. Kebijakan ini dipandang dapat mendorong inflasi lebih tinggi lagi, karena ketersediaan tenaga kerja yang terbatas bisa meningkatkan tekanan naik pada upah.

Dampak Terhadap Negara Berkembang dan Indonesia

Aliran modal dari negara berkembang, termasuk Indonesia, diperkirakan akan menghadapi tantangan besar dalam kondisi seperti ini. "Ekspektasi penurunan suku bunga acuan atau Federal Funds Rate (FFR) menjadi lebih tidak pasti akibat kebijakan ini," kata Juli.

Dengan imbal hasil obligasi AS yang semakin menarik, pergeseran modal ke Amerika Serikat bisa terjadi. Hal ini tentunya akan mengakibatkan berkurangnya capital inflows ke negara berkembang dan berpotensi mengakibatkan keluarnya modal (outflows) dari pasar negara berkembang tersebut.

Mengantisipasi Dampak ke Perekonomian Indonesia

Bagi Indonesia sendiri, situasi ini menuntut langkah antisipasi yang lebih cermat dari pemerintah maupun Bank Indonesia. Sinyal dari BI ini menjadi alarm penting bagi pengambil kebijakan ekonomi di tanah air untuk strategis dalam menyikapi fluktuasi aliran modal akibat kebijakan Trump 2.0.

Menguatkan Fundamental Ekonomi

Bank Indonesia diharapkan dapat memainkan perannya lebih aktif dalam menjaga stabilitas ekonomi makro dan memitigasi efek negatif dari kebijakan eksternal tersebut. Meningkatkan daya tarik pasar domestik dan memperkuat fundamental ekonomi menjadi langkah yang tak dapat dielakkan agar dampak aliran modal yang berpotensi keluar tidak menggoncang perekonomian nasional.

Melalui sinyal waspada ini, BI berharap dapat memperlengkapi para pelaku ekonomi di Tanah Air dengan informasi yang cukup untuk bersiap menghadapi dinamika yang mungkin terjadi akibat kebijakan ekonomi Donald Trump yang terbaru ini.

Terkini