Mandatori B50 Jadi Angin Segar bagi Petani, Harga Sawit Diprediksi Melejit

Selasa, 14 Oktober 2025 | 11:00:23 WIB
Mandatori B50 Jadi Angin Segar bagi Petani, Harga Sawit Diprediksi Melejit

JAKARTA - Rencana penerapan mandatori biodiesel 50% (B50) pada semester kedua tahun 2026 dinilai akan membawa dampak positif bagi industri kelapa sawit nasional.

Program ini diyakini menjadi pendorong utama naiknya harga Crude Palm Oil (CPO) dan Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani.

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung, menilai peningkatan bauran biodiesel berbasis minyak sawit tersebut akan menciptakan permintaan baru di sektor energi, sekaligus memperkuat harga CPO di pasar global.

“Tentu hal ini akan mendongkrak harga CPO dan dengan naiknya harga CPO dengan sendirinya akan terdongkrak lah harga TBS petani. Karena rujukan harga TBS ini adalah harga CPO,” ujar Gulat.

Kenaikan Harga Sawit Terjadi Seiring Mandatori Biodiesel

Menurut data Apkasindo, setiap kenaikan campuran biodiesel dalam bahan bakar solar selalu berbanding lurus dengan kenaikan harga sawit. Sejak Indonesia menerapkan B30, kemudian naik ke B35 dan B40, harga CPO terus menunjukkan tren positif.

“Secara rata-rata harga CPO naik rerata Rp1.000–1.500 per kilogram dan harga TBS naik rerata dari tiap kenaikan campuran biodiesel tersebut Rp300–500 per kilogram TBS. Jadi sejak B30 sampai B40 secara rata-rata harga TBS sudah naik Rp1.200–1.500 per kilogram,” jelas Gulat.

Pada masa penerapan B30, harga TBS petani berkisar Rp1.800–Rp2.200 per kilogram. Kini, setelah mandatori B40 berjalan, harga TBS telah meningkat menjadi sekitar Rp2.600–Rp3.800 per kilogram. 

Gulat menyebut, kebijakan peningkatan campuran solar dengan minyak sawit yang dicanangkan pemerintah hingga ke level B50 di tahun 2026 akan semakin meningkatkan kesejahteraan petani.

“Artinya sangat terasa bagi kami petani sawit kenaikan bauran solar dengan minyak sawit yang sudah dicanangkan oleh Bapak Presiden Prabowo pada tahun 2026 di level B50 ini,” tambahnya.

Produksi CPO Terancam Turun, Ada Beberapa Penyebab

Meski prospek harga sawit diperkirakan cerah, Gulat mengingatkan bahwa Indonesia tengah menghadapi tantangan serius berupa penurunan produksi CPO dalam beberapa tahun terakhir. Ia memperkirakan, produksi CPO nasional bisa turun 3–5 juta ton akibat berbagai faktor struktural di sektor perkebunan.

Salah satunya adalah kondisi kebun sawit yang mengalami kerusakan dan telah diserahkan kepada PT Agrinas Palma Nusantara (Persero) oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH). 

Berdasarkan laporan dalam rapat dengan DPR RI, terdapat lahan sawit seluas 833 ribu hektar yang diserahkan, terdiri atas 509 ribu hektar dalam kondisi rusak dan 323 ribu hektar tidak tertanam sawit atau belum menghasilkan.

“Jadi potensi penurunan produksi CPO Indonesia dari kebun yang rusak yang saat ini dikelola oleh Agrinas diperkirakan 1 juta ton. Tentu Agrinas butuh waktu paling tidak 3–5 tahun untuk pemulihan kebun rusak tersebut,” jelasnya.

Selain itu, rendahnya capaian Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sejak 2017 juga turut menjadi faktor utama penurunan produktivitas. “Untuk tahun ini saja PSR baru 21 ribu hektar atau hanya 17,5% dari target 120 ribu hektar di tahun 2025,” ujarnya.

Jika program PSR berjalan sesuai target, kata Gulat, maka produksi CPO per hektar per tahun berpotensi meningkat signifikan menjadi 6–9 ton. “Kalau saat ini hanya pada kisaran 1,7–2,5 ton CPO per hektar per tahun,” ungkapnya.

B50 Siap Serap 39% Produksi CPO Nasional

Dalam perhitungan Apkasindo, kebutuhan CPO untuk program B50 mencapai 18 juta ton atau sekitar 39% dari total produksi CPO nasional tahun 2024 yang mencapai 46 juta ton. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dari total tersebut, sekitar 20 juta ton atau 44% digunakan untuk kebutuhan domestik, sementara 26 juta ton sisanya diekspor dalam bentuk produk turunan.

Dengan implementasi B50, konsumsi domestik diprediksi naik menjadi 25 juta ton, di mana sebagian besar diserap untuk kebutuhan energi. 

“Maka jika B50 jalan, konsumsi dalam negeri akan naik menjadi 25 juta ton. Dimana konsumsi dalam negeri ini didominasi oleh kebutuhan energi (B50) sebesar 18 juta ton CPO sisanya untuk food dan oleokimia,” tutup Gulat.

Kebijakan mandatori B50 ini diharapkan tidak hanya menguatkan industri biodiesel nasional, tetapi juga memberikan efek berantai positif terhadap perekonomian daerah dan kesejahteraan petani sawit. 

Dengan meningkatnya permintaan domestik, harga sawit yang stabil, dan dorongan bagi program peremajaan kebun, Indonesia berpotensi mempertahankan posisinya sebagai produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia.

Terkini