Pemerintah Diminta Antisipasi Impor Etanol di Tengah Rencana BBM E10

Sabtu, 11 Oktober 2025 | 10:44:40 WIB
Pemerintah Diminta Antisipasi Impor Etanol di Tengah Rencana BBM E10

JAKARTA - Rencana pemerintah menerapkan kebijakan bahan bakar minyak (BBM) dengan campuran 10 persen etanol atau E10 menuai perhatian dari sejumlah pihak. 

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Eddy Soeparno mengingatkan agar kebijakan tersebut tidak justru membuka peluang baru bagi Indonesia untuk kembali bergantung pada impor, kali ini bukan pada minyak mentah, melainkan etanol.

Menurut Eddy, pemerintah perlu memastikan kesiapan produksi etanol di dalam negeri sebelum kebijakan itu diberlakukan secara wajib. Ia menilai, apabila pasokan domestik belum mampu memenuhi kebutuhan, Indonesia justru berisiko menjadi importir etanol.

“Jangan sampai etanol tersebut, karena belum diproduksi dengan volume yang dibutuhkan di dalam negeri, terpaksa kita harus impor,” ujar Eddy saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Perlu Kajian Menyeluruh

Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu menegaskan bahwa pemerintah perlu melakukan kajian lebih komprehensif terkait dampak kebijakan mandatori etanol 10 persen tersebut. Kajian itu, kata dia, tidak hanya sebatas aspek teknis, tetapi juga harus mencakup faktor ekonomi dan sosial.

Menurut Eddy, kebijakan ini perlu dihitung matang dari sisi harga BBM hasil campuran etanol, ketersediaan bahan baku dalam negeri, dan kemampuan daya beli masyarakat. Ia khawatir tanpa perhitungan yang cermat, kebijakan tersebut justru akan menimbulkan beban baru bagi konsumen.

“Apakah itu nanti akan menjadi mahal sehingga masyarakat berat untuk mengonsumsinya, sehingga akhirnya disubsidi lagi. Ini hal-hal yang perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut,” tuturnya.

Ia menambahkan, MPR siap berdialog dengan pemerintah untuk membahas kajian tersebut secara lebih mendalam. Eddy menilai, sinergi antara eksekutif dan legislatif penting agar kebijakan energi tidak hanya ambisius di atas kertas, tetapi juga realistis dan berkelanjutan di lapangan.

“Sehingga diputuskan lebih lanjut apa yang menjadi pilihan terbaik untuk kualitas BBM kita ke depannya,” ujarnya menambahkan.

Pemerintah Siapkan Mandatori E10

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan bahwa pemerintah sedang menyiapkan kebijakan mandatori penggunaan etanol 10 persen (E10) dalam campuran BBM.

Saat ini, penerapan campuran etanol baru mencapai 5 persen (E5), seperti pada produk Pertamax Green 95 yang mulai dipasarkan oleh Pertamina. Namun, Presiden Prabowo Subianto disebut telah memberikan persetujuan untuk meningkatkan komposisi etanol menjadi 10 persen.

“Ke depan, kita mendorong untuk ada E10. Kemarin juga kami rapat dengan Bapak Presiden, dan beliau sudah menyetujui untuk direncanakan mandatori 10 persen etanol,” ujar Bahlil dalam acara bertema Indonesia Langgas Energi di Sarinah, Jakarta.

Dorongan Mengurangi Ketergantungan Impor Fosil

Bahlil menjelaskan, kebijakan peningkatan kadar etanol dalam BBM ini merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil impor.

Menurutnya, penggunaan etanol yang bersumber dari tanaman seperti tebu, jagung, dan singkong dapat membantu menekan impor minyak mentah, sekaligus mendukung transisi energi menuju bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.

“Kita akan campur bensin kita dengan etanol, tujuannya agar kita tidak impor banyak, dan juga untuk membuat minyak yang bersih, yang ramah lingkungan,” ucap Bahlil.

Ia menambahkan, kebijakan ini juga diharapkan memberikan nilai tambah bagi sektor pertanian, karena bahan baku etanol dapat dipasok oleh petani dalam negeri. Dengan begitu, program E10 tak hanya berdampak pada sektor energi, tetapi juga dapat memperkuat perekonomian daerah.

Tantangan Produksi Etanol Nasional

Meski dinilai positif secara konsep, rencana penerapan BBM E10 menghadapi sejumlah tantangan teknis dan logistik. Kapasitas produksi etanol nasional saat ini masih terbatas, sebagian besar dipasok dari industri berbasis tebu dan singkong di Jawa Timur, Lampung, dan Sulawesi Selatan.

Data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa produksi etanol berbasis bahan baku lokal masih di bawah kebutuhan untuk mendukung implementasi E10 secara nasional. 

Beberapa pelaku industri juga menilai, diperlukan investasi baru di sektor bioetanol, termasuk pembangunan pabrik pengolahan dan sistem distribusi yang efisien.

Jika produksi belum memadai, potensi impor etanol dari negara lain seperti Thailand atau Brasil tidak bisa dihindari. Padahal, tujuan utama kebijakan E10 justru untuk menekan impor energi fosil, bukan menggantinya dengan ketergantungan baru.

Dampak terhadap Harga dan Subsidi

Selain soal pasokan, kebijakan peningkatan kadar etanol juga berpotensi mempengaruhi struktur harga BBM. Campuran dengan etanol, meskipun lebih ramah lingkungan, umumnya memerlukan proses produksi tambahan yang bisa berdampak pada biaya jual.

Eddy Soeparno mengingatkan agar kebijakan ini tidak menimbulkan efek domino terhadap subsidi energi. Jika harga BBM hasil campuran etanol naik signifikan, pemerintah bisa kembali terbebani oleh subsidi besar untuk menjaga daya beli masyarakat.

“Kita harus memastikan kebijakan ini tidak membuat BBM semakin mahal atau membebani anggaran negara. Semua harus dikaji matang sebelum diterapkan,” tegas Eddy.

Kolaborasi Lintas Sektor Diperlukan

Pemerintah diharapkan melibatkan berbagai pihak dalam merumuskan kebijakan transisi energi berbasis etanol. Selain Kementerian ESDM, kementerian lain seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, dan BUMN energi juga memiliki peran penting dalam memastikan rantai pasok bioetanol berjalan efisien.

Keterlibatan petani dan industri pengolahan di daerah juga harus diperkuat agar kebijakan ini memberi manfaat ekonomi nyata, bukan hanya perubahan angka di kebijakan energi nasional.

Langkah menuju penggunaan BBM berbasis etanol memang sejalan dengan agenda energi hijau dan pengurangan emisi karbon. Namun, sebagaimana diingatkan Eddy Soeparno, keberhasilan program ini tidak hanya diukur dari niat, tetapi dari kesiapan infrastruktur dan kemandirian produksi di dalam negeri.

Jika pemerintah mampu memastikan pasokan etanol cukup, harga tetap terjangkau, dan petani ikut menikmati manfaatnya, maka kebijakan E10 bisa menjadi tonggak penting dalam transisi energi Indonesia. 

Namun, jika terburu-buru tanpa kesiapan, risiko ketergantungan impor justru bisa kembali menghantui.

Terkini