JAKARTA - Kondisi industri tekstil nasional kembali menjadi sorotan setelah isu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal mencuat di Bandung.
Menyikapi hal itu, Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Afriansyah Noor menegaskan bahwa pemerintah tidak akan tinggal diam dan siap memfasilitasi pekerja yang terdampak agar tetap mendapatkan hak pesangon sesuai aturan, termasuk jaminan hari tua dari perusahaan.
“Nanti kita dari kementerian akan memfasilitasi dengan pekerja dan pelaku usaha. Mereka kan harus punya jaminan hari tua, mungkin dapat pesangon sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan oleh perusahaan-perusahaan tadi,” ujar Afriansyah di Jakarta, Senin.
Pernyataan tersebut menjadi penegasan sikap pemerintah di tengah kekhawatiran ribuan pekerja yang terancam kehilangan mata pencaharian akibat problematika yang menghantam salah satu perusahaan tekstil besar, PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk (SBA Textile).
Menunggu Laporan Resmi, Fasilitasi Disiapkan
Meski sudah ramai diberitakan, Afriansyah mengaku hingga kini Kementerian Ketenagakerjaan belum menerima laporan resmi terkait jumlah pekerja yang terkena PHK dari SBA Textile.
Ia menjelaskan bahwa pendataan yang akurat sangat diperlukan agar fasilitasi pemerintah dapat berjalan tepat sasaran. “Belum ada, ini belum ada laporan-laporan,” jelasnya.
Kemnaker masih menunggu data dari berbagai pihak, mulai dari manajemen perusahaan, Dinas Ketenagakerjaan setempat, hingga serikat buruh. Menurutnya, sinergi dari semua elemen ini penting agar langkah perlindungan pekerja bisa dilakukan secara efektif.
Dampak Ekonomi Global pada Industri Tekstil
Fenomena yang dialami SBA Textile tidak lepas dari faktor eksternal. Afriansyah menduga turunnya pesanan ekspor akibat perlambatan ekonomi global menjadi pemicu utama kesulitan perusahaan mempertahankan kegiatan produksi.
Ketika order menurun drastis, perusahaan padat karya seperti SBA Textile kesulitan menjaga arus kas dan keberlangsungan tenaga kerja, sehingga pilihan terakhir yang diambil adalah melakukan pengurangan karyawan.
Situasi ini, kata Afriansyah, sangat berbeda dengan kasus yang menimpa PT Sritex. Meskipun sama-sama menghadapi tekanan usaha, Sritex dinilai lebih dipengaruhi persoalan internal, termasuk aspek hukum dan manajerial.“Kalau Sritex ini beda karena ada kasus hukum di Sritex. Kalau di Sritex ini kan dia kerugian yang disebabkan oleh pelaku usaha sendiri. Kalau ini (SBA Textile) memang ordernya yang berkurang, pasarnya,” jelasnya.
Perbedaan Faktor Eksternal dan Internal
Pernyataan Afriansyah sekaligus meluruskan persepsi publik bahwa semua persoalan di industri tekstil disebabkan oleh lemahnya manajemen perusahaan.
Dalam kasus SBA Textile, faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan perusahaan memiliki kontribusi signifikan, terutama karena pasar ekspor tekstil Indonesia masih bergantung pada negara tujuan tertentu.
Hal ini menunjukkan bahwa tantangan industri padat karya di Indonesia bukan hanya pada aspek internal, tetapi juga sangat rentan terhadap dinamika perekonomian global.
Pemerintah Pastikan Hak Pekerja Tidak Terabaikan
Terlepas dari penyebabnya, Afriansyah menegaskan kembali bahwa yang paling penting adalah memastikan pekerja yang terdampak tetap mendapatkan hak mereka.
Fasilitasi pemerintah bukan sekadar menjadi perantara, melainkan menjamin agar setiap pekerja memperoleh pesangon, jaminan hari tua, dan perlindungan yang sesuai regulasi ketenagakerjaan.
Pemerintah juga mengimbau agar perusahaan bersikap transparan dalam memberikan data resmi terkait jumlah pekerja yang terdampak, sehingga langkah-langkah perlindungan bisa segera dieksekusi.
Refleksi atas Rentannya Industri Padat Karya
Kasus SBA Textile menjadi cermin betapa rentannya sektor padat karya terhadap guncangan ekonomi global. Penurunan permintaan ekspor dengan cepat berimbas pada produksi, arus kas perusahaan, hingga berujung pada PHK.
Di sisi lain, kasus Sritex memperlihatkan dimensi lain dari kerentanan industri, yakni persoalan internal perusahaan yang berdampak langsung pada ribuan pekerja.
Kedua contoh ini menunjukkan bahwa sistem perlindungan ketenagakerjaan harus mampu menjawab tantangan baik yang bersumber dari faktor eksternal maupun internal.
Harapan Buruh dan Komitmen Pemerintah
Serikat buruh sebelumnya juga menyoroti isu PHK hingga upah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Aspirasi tersebut mencerminkan kekhawatiran pekerja terhadap kepastian hak di tengah ketidakpastian industri.
Pemerintah, melalui Kementerian Ketenagakerjaan, berkomitmen hadir untuk menjawab kekhawatiran tersebut. Fasilitasi bagi pekerja terdampak PHK menjadi bukti nyata bahwa perlindungan buruh tetap menjadi prioritas di tengah dinamika ekonomi yang tidak menentu.
Kesimpulan: Kepastian Hak sebagai Prioritas
Tragedi PHK massal di sektor tekstil mengingatkan kembali pentingnya keseimbangan antara kepentingan usaha dan perlindungan pekerja. Di tengah kondisi global yang sulit diprediksi, peran pemerintah menjadi krusial untuk menjamin bahwa hak pekerja tidak terabaikan.
Afriansyah Noor menegaskan komitmen itu dengan memastikan setiap pekerja terdampak PHK akan difasilitasi untuk memperoleh hak pesangon dan jaminan hari tua sebagaimana mestinya.
Kasus SBA Textile maupun Sritex menjadi momentum refleksi bagi semua pihak, bahwa keberlanjutan industri harus dibangun tidak hanya dengan daya tahan perusahaan, tetapi juga dengan perlindungan pekerja sebagai elemen utama roda perekonomian nasional.