Banyak orang masih mempertanyakan apakah asuransi halal atau haram. Sebagian kalangan muslim merasa bahwa asuransi berhubungan dengan unsur riba yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
Hal ini menjadi perdebatan mengenai status hukum asuransi dalam Islam. Asuransi pada dasarnya adalah produk yang dirancang untuk memberikan perlindungan terhadap potensi kerugian finansial yang dapat terjadi di masa depan.
Sebagai imbalannya, nasabah diwajibkan untuk membayar premi dalam jangka waktu tertentu, yang kemudian dikelola oleh perusahaan asuransi untuk memperoleh keuntungan dan menutupi risiko yang dihadapi nasabah.
Namun, saat ini sudah ada produk asuransi syariah yang diatur dengan prinsip-prinsip Islam, yang berusaha menjalankan sistem asuransi tanpa melanggar hukum syariah.
Meski begitu, pertanyaan tentang apakah asuransi halal atau haram tetap menjadi topik yang menarik untuk dipahami lebih lanjut.
Tinjauan Hukum Asuransi Halal atau Haram
Dalam pandangan hukum Islam, asuransi pada dasarnya tidak termasuk dalam kategori jual beli yang dihalalkan, karena perlindungan yang diberikan tidak berbentuk fisik dan sering kali dianggap sebagai bentuk riba yang diharamkan dalam agama.
Namun, ada pendapat dari beberapa ulama yang menganggap bahwa asuransi dapat bermanfaat untuk melindungi diri dan juga mengandung unsur tolong-menolong antar sesama.
Pendapat ini menjadi dasar dari diterimanya asuransi syariah, yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Tinjauan hukum Islam mengenai status asuransi ini menjadi bahan pertimbangan, apakah asuransi halal atau haram.
1. Asuransi dan Maqashid Syariah
Hukum asuransi dalam Islam memang menjadi topik yang sering diperdebatkan. Namun, beberapa ulama mengizinkan praktik asuransi selama sesuai dengan prinsip syariah.
Asuransi syariah, khususnya, dianggap sebagai bentuk saling tolong menolong antar sesama. Dalam konteks syariah, asuransi termasuk dalam maqashid syariah, yang merupakan tujuan diterapkannya syariat Islam di sektor ekonomi.
Tujuan ini bertujuan untuk membentuk tatanan sosial yang adil dan makmur secara ekonomi bagi umat. Pendekatan maqashid syariah ini memberikan gambaran yang lebih rasional dan substansial tentang aktivitas serta produk asuransi yang berbasis syariah.
Keberadaan asuransi syariah menjadi solusi bagi umat Islam untuk memperoleh perlindungan tanpa melanggar prinsip syariah.
Dengan konsep yang sesuai ajaran Islam, asuransi syariah hadir sebagai alternatif agar umat tidak terjebak dalam praktik riba, sekaligus dapat memberikan kemaslahatan dan kesejahteraan ekonomi umat.
2. Hukum Asuransi dalam Islam Berdasarkan Al-Quran
Meski tidak ada ayat dalam Al-Quran yang secara eksplisit membahas hukum asuransi, terdapat tiga dasar hukum yang mendasari diperbolehkannya asuransi dalam Islam, yang dapat ditemukan dalam Al-Quran dan Al-Hadits, yaitu:
Surat Al-Maidah ayat 2: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Surat An-Nisaa ayat 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap mereka.”
HR Muslim dari Abu Hurairah: “Barang siapa melepaskan dari seorang Muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat.”
Berdasarkan ketiga dasar hukum tersebut, beberapa ulama menetapkan bahwa asuransi dalam Islam diperbolehkan, asalkan dijalankan sesuai dengan prinsip syariah, bertujuan untuk tolong menolong, dan bebas dari unsur riba yang diharamkan.
Landasan Hukum Asuransi Syariah di Indonesia
Asuransi dalam Islam dianggap diperbolehkan karena dilihat sebagai sarana untuk tolong menolong antar sesama. Namun, asuransi yang diperbolehkan harus dijalankan sesuai dengan prinsip syariat Islam, tanpa mengandung unsur riba atau gharar.
Untuk dasar hukum mengenai syarat dan larangan asuransi syariah di Indonesia, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:
1. Dasar hukum dalam Al-Quran dan Hadist
Al-Maidah ayat 2, An-Nisaa ayat 9, dan riwayat HR Muslim dari Abu Hurairah.
2. Dasar hukum menurut Fatwa MUI
Fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
Fatwa No.51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah
Fatwa No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah
Fatwa No.53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru pada Asuransi Syariah
3. Dasar hukum menurut Peraturan Menteri Keuangan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 tentang Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi Reasuransi dengan Prinsip Syariah.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Pedoman Asuransi Syariah
Kepastian hukum terkait apakah asuransi itu halal atau haram bisa ditemukan dalam Fatwa MUI tentang Pedoman Asuransi Syariah.
Menurut fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, Islam tidak melarang seseorang untuk memiliki asuransi selama dana yang terkumpul di perusahaan dikelola sesuai dengan prinsip atau syariat Islam.
Fatwa MUI Nomor: 21/DSN-MUI/X/2001 menyatakan, "Dalam menyongsong masa depan dan upaya mengantisipasi kemungkinan terjadinya risiko dalam kehidupan ekonomi yang akan terjadi di masa depan, maka perlu mempersiapkan sejumlah dana tertentu sejak dini."
Dari fatwa ini, dapat disimpulkan bahwa asuransi syariah penting untuk memberikan perlindungan terhadap harta dan nyawa secara finansial dari risiko yang tidak bisa diprediksi.
Fatwa MUI tentang asuransi berbasis syariah menjelaskan beberapa hal berikut:
Bentuk Perlindungan: Asuransi syariah memberikan perlindungan terhadap harta dan nyawa nasabah untuk menghadapi risiko yang mungkin terjadi di masa depan.
Unsur Tolong Menolong: Dalam asuransi syariah terdapat unsur tolong menolong antar sesama melalui dana tabarru’ yang sesuai dengan kaidah dan hukum Islam.
Unsur Kebaikan: Semua produk syariah mengandung unsur kebaikan atau tabarru’, di mana kontribusi yang dibayarkan oleh nasabah digunakan untuk kebaikan dan membantu peserta yang mengalami risiko.
Berbagi Risiko dan Keuntungan: Dalam asuransi syariah, keuntungan dan risiko ditanggung bersama-sama oleh seluruh nasabah, dan tidak boleh dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan semata.
Bagian dari Bermuamalah: MUI menggolongkan asuransi dalam bagian bermuamalah karena melibatkan orang lain dalam aktivitas finansial.
Musyawarah Asuransi: Jika terjadi perselisihan, permasalahan akan diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah jika tidak ada mufakat antara kedua belah pihak.
Kriteria Asuransi yang Dihalalkan dalam Islam sesuai Fatwa MUI dan Al-Quran
1. Berdasarkan Prinsip Syariah
Asuransi yang diperbolehkan dalam Islam harus dijalankan dengan prinsip syariah dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Jika asuransi menggunakan akad jual beli, maka hukumnya menjadi haram.
2. Tidak Mengandung Perjudian (Maysir)
Asuransi yang halal harus bebas dari unsur perjudian atau maysir. Misalnya, saat nasabah tidak mengalami risiko namun tetap harus membayar premi, yang akan menguntungkan perusahaan, atau saat nasabah memperoleh uang asuransi dalam jumlah besar meski baru beberapa kali membayar premi.
3. Tidak Mengandung Ketidakpastian (Gharar)
Hukum asuransi syariah diperbolehkan jika tidak mengandung ketidakpastian atau gharar, dan tidak ada unsur riba yang terkandung di dalamnya.
4. Barang yang Terkandung Harus Bebas Maksiat dan Tidak Haram
Barang yang diasuransikan dalam Islam harus sesuai dengan prinsip syariah, bebas dari unsur maksiat dan haram.
5. Menggunakan Unsur Tolong Menolong
Asuransi yang halal dalam Islam harus mengandung unsur tolong menolong antar sesama, tanpa mengharapkan keuntungan dari pihak manapun.
6. Risiko dan Keuntungan yang Didapat Dimiliki Bersama
Dalam prinsip hukum asuransi jiwa Islam, baik risiko maupun keuntungan harus ditanggung bersama, tanpa ada pihak yang mendapatkan keuntungan atau kerugian secara sepihak.
7. Bebas Riba
Salah satu syarat penting agar asuransi dihalalkan dalam Islam adalah bebas dari riba, karena riba jelas diharamkan dalam ajaran Islam.
8. Premi atau Dana Kontribusi Tidak Hangus
Dalam asuransi syariah, premi atau dana kontribusi yang dibayarkan oleh nasabah tidak boleh hangus. Jika perusahaan menghanguskan premi tersebut, maka asuransi tersebut menjadi haram.
9. Instrumen Investasi Sesuai Syariat Islam
Asuransi yang mengandung unsur investasi hanya diperbolehkan jika instrumen investasi yang digunakan sesuai dengan syariah Islam, dan tidak mengandung unsur judi, gharar, atau riba.
10. Pengelolaan Dana Dilakukan Secara Transparan
Asuransi yang halal harus dikelola secara transparan, sehingga nasabah dapat dengan mudah memantau aliran dana dan tidak ada unsur yang disembunyikan.
11. Salah Satu Bentuk Muamalah
Asuransi yang halal harus menjadi bagian dari muamalah yang sesuai dengan kaidah dan prinsip Islam, menjaga kepentingan umat.
12. Sesuai Akad dalam Asuransi Syariah
Asuransi yang diperbolehkan dalam Islam harus menggunakan akad yang sesuai dengan prinsip syariah, seperti akad tabarru’, akad tijarah, dan akad wakalah bil ujrah.
Sebagai penutup, pada akhirnya, pertanyaan mengenai asuransi halal atau haram bergantung pada sejauh mana produk tersebut sesuai dengan prinsip syariah dan nilai-nilai Islam yang dipegang.