Akad mudharabah adalah salah satu konsep dalam perbankan syariah yang sering digunakan dalam pembiayaan usaha.
Bagi kamu yang merupakan nasabah bank syariah, mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah ini.
Apakah kamu pernah memanfaatkan fasilitas ini untuk mendapatkan modal usaha, atau mungkin sebagai investor yang berpartisipasi dengan prinsip akad mudharabah?
Pada dasarnya, akad mudharabah adalah bentuk kerja sama yang menguntungkan bagi kedua belah pihak, baik pemilik dana maupun pengelola usaha.
Lalu, sebenarnya apa yang dimaksud dengan akad mudharabah? Bagaimana prinsip dan contoh penerapannya dalam dunia perbankan syariah? Semua pertanyaan tentang akad mudharabah akan kami jelaskan secara lengkap dalam ulasan ini.
Akad Mudharabah adalah
Akad mudharabah adalah jenis perjanjian yang banyak diterapkan dalam berbagai produk dan program yang ditawarkan oleh bank syariah.
Berdasarkan informasi dari laman resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), salah satu produk yang menggunakan prinsip akad ini adalah pembiayaan.
Hal ini sejalan dengan prinsip dasar bank syariah yang harus menyalurkan pembiayaan sesuai dengan ketentuan syariat Islam, sehingga akad mudharabah dan akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip tersebut digunakan.
Menurut OJK, perjanjian mudharabah adalah akad yang dapat digunakan untuk menghimpun dana dalam bentuk investasi syariah, seperti deposito, tabungan, atau produk perbankan lainnya.
Dalam akad ini, pemilik dana (shahibul maal) menyerahkan dananya kepada pengelola dana (mudharib) untuk dikelola dalam usaha tertentu.
Pembagian hasil dilakukan dengan sistem bagi keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing) atau pembagian pendapatan (revenue sharing) sesuai nisbah yang disepakati sebelumnya.
Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah juga mengatur bahwa dalam perjanjian ini, kerugian akan ditanggung sepenuhnya oleh bank syariah, kecuali jika nasabah melakukan kesalahan yang disengaja, kelalaian, atau pelanggaran terhadap ketentuan yang telah disepakati dalam akad mudharabah.
Dengan adanya dukungan hukum ini, perjanjian mudharabah menjadi bentuk kerjasama yang sah secara hukum di Indonesia.
Konsep Akad Mudharabah
Seiring berjalannya waktu, ketentuan dalam perjanjian mudharabah pun mengalami perubahan yang menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Pada awalnya, akad mudharabah tidak dapat digabungkan dengan jenis akad lain.
Namun, seiring waktu, konsep perjanjian mudharabah kini lebih fleksibel dan dapat dipadukan dengan akad lain, seperti akad musyarakah dalam berbagai aktivitas perbankan syariah.
Penggabungan akad ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap layanan perbankan syariah yang lebih efektif dan beragam.
Selain perubahan dalam jenis kerja sama, konsep mudharabah juga berkembang dalam hal mekanisme pembayaran atau angsuran.
Pada konsep mudharabah klasik, pembayaran modal pokok dan bagi hasil hanya dilakukan sekali di akhir periode kontrak.
Namun, saat ini, ketentuan tersebut diatur lebih rinci melalui fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) – MUI, serta peraturan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Fatwa DSN – MUI Nomor: 07/DSN/MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah menjelaskan bahwa akad ini adalah perjanjian kerja sama usaha antara dua pihak.
Pihak pertama adalah pemilik modal yang menyediakan seluruh dana, sementara pihak kedua adalah pengelola dana yang bertugas mengelola modal tersebut.
Fatwa ini juga mencakup ketentuan mengenai jangka waktu kerja sama, yang disepakati bersama antara kedua belah pihak.
Dengan demikian, akad mudharabah menawarkan fleksibilitas dan kemudahan bagi kedua pihak untuk menyesuaikan kebutuhan dan tujuan masing-masing.
Sebagai pemilik modal, pihak pertama diperbolehkan menentukan jenis usaha yang akan dijalankan, sesuai dengan kesepakatan dalam akad dan aturan syariah. Namun, pihak pertama tidak boleh terlibat langsung dalam pengelolaan usaha tersebut.
Dalam pelaksanaan akad mudharabah, pihak pertama memiliki peran penting dalam melakukan pengawasan dan pembinaan usaha yang dijalankan untuk meminimalkan risiko di masa mendatang.
Konsep akad mudharabah ini merupakan bentuk kerja sama yang tidak menjamin pembiayaan dengan pasti, meskipun bisa saja ada jaminan jika disepakati oleh kedua pihak.
Dalam hal ini, transparansi menjadi kunci utama untuk memastikan kelancaran pelaksanaan akad dan tercapainya kesepakatan yang saling menguntungkan.
Jenis Akad Mudharabah
1. Mudharabah Muthlaqah
Dalam transaksi syariah, kamu mungkin sering mendengar tentang akad mudharabah muthlaqah. Ini adalah jenis akad di mana pemilik modal tidak terlibat dalam penentuan jenis usaha yang dijalankan oleh pengelola modal.
Dana yang diberikan bersifat bebas, artinya pengelola modal memiliki kebebasan penuh dalam memilih dan menjalankan usaha.
Pemilik modal hanya berperan dalam pengawasan untuk memastikan usaha berjalan dengan lancar, dan mereka akan menerima bagi hasil atau nisbah sesuai kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.
Akad mudharabah muthlaqah ini menjadi bukti sah dari kerjasama yang mengatur pembagian hasil.
2. Mudharabah Muqayyadah
Jenis akad lainnya adalah mudharabah muqayyadah, yang berbeda dari muthlaqah. Pada akad ini, pemilik modal memiliki hak untuk menentukan jenis usaha yang akan dijalankan.
Akad mudharabah muqayyadah terbagi menjadi dua kategori, yaitu on balance sheet dan off balance sheet.
Pada mudharabah muqayyadah on balance sheet, nasabah yang memberikan modal akan mensyaratkan sektor usaha tertentu seperti pertanian, properti, atau tambang.
Pihak bank yang akan menyalurkan dan mencatatkan transaksi tersebut dalam balance sheet mereka.
Nisbah atau bagi hasil ditentukan bersama oleh bank dan nasabah.
Sedangkan pada mudharabah muqayyadah off balance sheet, bank bertindak sebagai perantara antara pemilik modal dan pengelola modal.
Dalam hal ini, bank akan menerima fee atas peran mereka sebagai arranger. Pemilik modal dan pengelola modal akan menentukan jenis usaha dan bagi hasil, sementara pencatatan transaksi dilakukan di luar balance sheet bank.
3. Mudharabah Musytarakah
Mudharabah musytarakah merupakan jenis akad yang menggabungkan prinsip akad mudharabah dan musyarakah. Pada awalnya, akad yang disepakati adalah mudharabah, di mana seluruh modal berasal dari pemilik dana.
Namun, jika seiring berjalannya usaha, pengelola modal tertarik untuk menanamkan modal tambahan, maka mereka diperbolehkan untuk melakukannya.
Dalam hal ini, pengelola dana akan mendapatkan bagi hasil sesuai dengan porsi modal yang mereka investasikan.
Akad mudharabah musytarakah ini memungkinkan adanya penambahan modal dari pengelola yang sebelumnya hanya berperan sebagai pihak yang mengelola dana.
Dasar Hukum Mudharabah
1. Al-Qur'an
Meskipun tidak ada penyebutan langsung mengenai akad mudharabah dalam Al-Qur'an, kata asal "dharaba" yang menjadi dasar mudharabah disebut sebanyak lima puluh delapan kali.
Menurut Muhammad Asad, ada beberapa ayat yang dapat dihubungkan dengan akad mudharabah, di antaranya dalam surat Al-Baqarah (2), ayat 273, yang berbunyi:
"Berinfaqlah kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta..."
Selanjutnya, dalam surat An-Nisa’ (4), ayat 101, disebutkan:
"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu."
Dalam surat Al-Muzammil (73), ayat 20, Allah SWT berfirman:
"Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah."
Menurut Muhammad Asad, meskipun ada kaitan yang jauh, ayat-ayat ini dapat dihubungkan dengan mudharabah, khususnya yang merujuk pada perjalanan atau usaha dagang.
Selain itu, beberapa ayat lain memberikan dasar hukum yang mengarah pada anjuran untuk berusaha, seperti dalam surat Al-Muzammil (73), ayat 20, yang berbunyi:
"...dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah..."
Begitu juga dalam surat Al-Jumu'ah (62), ayat 10:
"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."
Ayat-ayat ini mendorong umat Islam untuk melakukan usaha guna memenuhi kebutuhan hidup mereka.
2. Al-Hadits
Selain Al-Qur'an, Hadits juga mengandung petunjuk mengenai akad mudharabah. Ada dua hadits yang menganjurkan umat Islam untuk melakukan usaha kemitraan dengan pihak lain guna memperoleh keuntungan bersama.
Salah satunya adalah hadits dari Abbas bin Abdul Muthalib yang menyerahkan harta sebagai mudharabah dengan syarat tertentu kepada pengelolanya.
Syarat tersebut antara lain melarang pengelola untuk mengarungi lautan dan menuruni lembah serta membeli hewan ternak.
Jika syarat-syarat tersebut dilanggar, maka pengelola harus menanggung risikonya. Rasulullah SAW membenarkan persyaratan tersebut ketika mendengarnya (HR. Thabrani).
Hadits lainnya yang berkaitan dengan mudharabah diriwayatkan oleh Shalih bin Shuhaib r.a, yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Tiga hal di dalamnya terdapat keberkatan yaitu jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual." (HR. Ibnu Majah).
Hadits ini menunjukkan bahwa mudharabah merupakan bentuk usaha yang penuh berkah, mengajarkan pentingnya kemitraan dalam kegiatan ekonomi.
3. Qiyas
Qiyas adalah proses penentuan hukum terhadap suatu hal dengan menyamakannya atau meng-qiyaskannya pada hukum yang sudah memiliki dalil yang jelas.
Beberapa ulama berpendapat bahwa akad mudharabah dapat diqiyaskan pada al-Musaqah, yaitu praktik memberikan tugas kepada seseorang untuk mengelola kebun.
Dalam konteks ini, ada sebagian orang yang kurang memiliki kekuatan finansial tetapi memiliki kemampuan dan keterampilan untuk bekerja.
Konsep ini serupa dengan akad mudharabah yang bertujuan untuk memberikan pendanaan kepada mereka yang membutuhkan modal untuk menjalankan usaha. Dengan adanya akad mudharabah, baik pemilik modal maupun pengelola usaha sama-sama memperoleh keuntungan.
Dengan mempertimbangkan dasar-dasar hukum yang telah dijelaskan sebelumnya—baik yang bersumber dari Al-Qur'an, Hadits, maupun Qiyas—semua menunjukkan bahwa kerja sama yang berbasis perjanjian mudharabah adalah sah dan diperbolehkan.
Bentuk perikatan seperti ini sudah dipraktikkan sejak zaman Rasulullah SAW dan para sahabat.
Contoh Akad Mudharabah
Contoh perjanjian mudharabah dapat dilihat dari skema yang biasa diterapkan dalam perbankan syariah. Berikut adalah ilustrasi perjanjian mudharabah yang umum dilakukan oleh bank syariah saat ini:
Saudara A berencana untuk membuka usaha di bidang kuliner. Setelah menghitung perkiraan modal awal, dia menyadari bahwa usaha tersebut memerlukan modal yang cukup besar, sementara uang yang dimilikinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Untuk menutupi kekurangan modal, dia memutuskan untuk meminjam dana sebesar Rp 50.000.000,00 dari bank syariah. Bank syariah menawarkan dana sesuai permintaan dengan perjanjian bagi hasil.
Dalam hal ini, saudara A sebagai pengelola modal akan mendapatkan keuntungan sebesar 60%, sementara bank syariah yang memberikan modal akan memperoleh 40%. Perjanjian ini berlaku untuk jangka waktu satu tahun.
Setelah kesepakatan tercapai dan kedua belah pihak menandatangani persetujuan, saudara A menerima pinjaman Rp 50.000.000,00.
Pada bulan pertama, saudara A mencatat bahwa usaha kulinernya menghasilkan keuntungan sebesar Rp 5.000.000,00.
Dia kemudian melaporkan keuntungan tersebut kepada bank melalui buku khusus. Setiap bulan, saudara A wajib menyetor hasil usahanya ke bank syariah melalui tabungan mudharabah.
Di akhir tahun, saudara A mencatat total keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 60.000.000,00.
Setelah satu tahun berjalan, saudara A melanjutkan penyetoran kepada bank syariah melalui tabungan mudharabah dan mengembalikan total pinjaman beserta bagi hasil sesuai perjanjian.
Pembagian hasilnya menunjukkan bahwa saudara A, yang memperoleh 60% dari keuntungan, menerima Rp 36.000.000,00, sementara bank syariah mendapatkan 40% yang setara dengan Rp 24.000.000,00.
Akhirnya, saudara A mengembalikan total pinjaman dan keuntungan sebesar Rp 74.000.000,00 kepada bank syariah.
Sebagai penutup, akad mudharabah adalah salah satu bentuk kerjasama yang menguntungkan bagi kedua pihak, dengan prinsip bagi hasil yang adil dan sesuai dengan syariah Islam.