JAKARTA - Pemprov DKI Jakarta tengah merancang langkah strategis membatasi akses anak terhadap konten berbahaya di media sosial. Di tengah maraknya kasus keterpaparan anak pada kekerasan digital, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai upaya tersebut sebagai langkah penting yang perlu dipertegas.
Melalui serangkaian masukan resmi, lembaga itu menyampaikan delapan usulan yang diharapkan dapat menjadi dasar kebijakan pembatasan akses anak secara lebih komprehensif.
Menurut Komisioner KPAI, Kawiyan, pembatasan bukan hanya berfokus pada jenis konten yang diakses anak, melainkan juga bentuk interaksi dan perilaku digital yang mereka lakukan. “Anak harus dibatasi mengakses fitur komentar, chat terbuka, dan voice chat pada perangkatnya,” ujarnya.
Pernyataan tersebut menegaskan betapa rentannya anak terhadap percakapan terbuka yang kerap menjadi pintu masuk perundungan, pelecehan, hingga penipuan digital.
Usulan KPAI sebagai Landasan Pembatasan Akses Digital Anak
Delapan rekomendasi yang disampaikan KPAI mencakup pembatasan yang perlu diterapkan langsung pada perangkat maupun layanan digital yang digunakan anak, sekaligus peran penting orangtua, wali, dan guru. Usulan pertama berkaitan dengan pembatasan waktu atau screen time, termasuk durasi harian yang disesuaikan usia, jeda aktivitas fisik, hingga larangan penggunaan gawai sebelum tidur agar tidak menimbulkan gangguan istirahat.
Pembatasan lainnya menyasar konten yang boleh diakses. Anak diminta hanya menggunakan aplikasi atau gim khusus anak, memanfaatkan fitur parental control, serta dijauhkan dari konten seksual, perjudian, kekerasan, atau kesadisan. Dalam hal interaksi sosial digital, KPAI menekankan agar anak tidak menerima ajakan pertemanan dari orang yang tidak dikenal, dan akses pada komentar, chat, serta voice chat perlu dibatasi.
Selanjutnya, anak juga tidak boleh membagikan informasi pribadi seperti foto, video, alamat, nomor telepon, lokasi sekolah, maupun data keluarga. Kawiyan mengingatkan pula soal risiko transaksi digital, terutama menyangkut top up gim online dan e-money. “Anak-anak tidak boleh melakukan pembelian top up game online atau e-money, dan mengklik tautan mencurigakan. Terkait dengan pengawasan ini, orangtua perlu mengunci fitur transaksi pada HP anak,” imbuhnya.
Pembatasan penggunaan perangkat juga menjadi sorotan. Orangtua diimbau menyusun aturan yang jelas, termasuk larangan membawa gawai ke kamar dan penjadwalan penggunaan. Pembatasan terhadap risiko psikologis pun ditekankan, terutama agar anak tidak mengikuti tren berbahaya atau mengonsumsi konten yang menormalisasi kekerasan, body shaming, atau perilaku menyakiti diri sendiri.
Usulan terakhir berkaitan dengan penggunaan kecerdasan buatan (AI). Anak perlu dijauhkan dari penggunaan AI yang berpotensi menghasilkan konten manipulatif, tidak pantas, atau merendahkan orang lain. “Di satu sisi, kemajuan teknologi AI membuat anak menjadi kreatif. Namun, kemampuan tersebut tidak boleh dipakai untuk bercandaan-bercandaan yang dapat menyinggung perasaan orang lain atau cyberbullying,” jelas Kawiyan.
Peran PP Tunas dan Tantangan Perlindungan Anak di Ruang Digital
Upaya melindungi anak di ruang digital kini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak, atau PP Tunas. Regulasi ini mengharuskan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) memastikan produk, layanan, dan fitur mereka aman bagi anak.
“Di situ ada klasifikasi dan pembatasan umur, kewajiban PSE untuk meminta persetujuan orangtua bagi anaknya yang akan membuat akun, serta larangan bagi PSE untuk melakukan profiling anak dan melakukan geolokasi anak,” tutur Kawiyan.
Namun, PP Tunas yang baru akan efektif dua tahun sejak 27 Maret 2025 membuat implementasinya belum sepenuhnya berjalan. Aturan teknis berupa Peraturan Menteri juga masih harus disusun, sehingga sejumlah aspek perlindungan anak belum diterapkan optimal.
Kawiyan menyoroti masih maraknya anak terpapar konten negatif. Ia menyebut temuan Densus 88 bahwa 110 anak terpapar radikalisme melalui media sosial, dengan DKI Jakarta termasuk provinsi dengan jumlah tertinggi. PPATK juga menemukan 197.054 anak usia 11–19 tahun terpapar judi online pada 2024.
Kolaborasi Banyak Pihak untuk Mendukung Strategi Pemprov DKI Jakarta
Untuk merumuskan regulasi yang efektif, Pemprov DKI Jakarta disarankan menggandeng berbagai pihak, mulai dari Dinas Pendidikan, Dinas Perlindungan Anak, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Diskominfotik, hingga HIMPSI.
“Harus dapat dukungan juga dari PSE atau penyelenggara platform media sosial. PSE harus benar-benar melaksanakan seluruh mandat yang ada dalam PP Tunas sebagai komitmen dalam perlindungan anak,” kata Kawiyan.
Ia menegaskan bahwa Komdigi sebagai instansi yang mengawasi PP Tunas harus berperan lebih kuat, tanpa toleransi terhadap pelanggaran oleh PSE. Regulasi DKI Jakarta nantinya diharapkan menjadi contoh nasional, karena hingga kini sebagian daerah baru sebatas mewacanakan larangan membawa HP ke sekolah tanpa disertai edukasi strategis bagi siswa dan orangtua.
Kawiyan juga merujuk pada Perpres Nomor 87 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Digital sebagai payung nasional, namun menilai aturan teknis pelaksanaannya masih belum disusun. “Namun, Perpres yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 5 Agustus 2025 tersebut belum dibuatkan aturan teknis pelaksanaannya,” pungkasnya.