JAKARTA - Kesibukan sehari-hari, tuntutan pekerjaan, tugas kuliah, hingga tekanan media sosial dapat membuat seseorang merasa kewalahan.
Menjaga kewarasan mental menjadi kebutuhan penting bagi banyak orang. Psikolog Silviani, M.Psi., menekankan bahwa stres adalah hal wajar dan tidak selalu buruk. Namun, jika dibiarkan menumpuk tanpa pengelolaan yang tepat, stres bisa menggerus energi mental dan mengurangi kemampuan seseorang untuk berfungsi optimal.
“Stres adalah sinyal tubuh dan pikiran bahwa kita sedang menghadapi sesuatu yang menantang atau menekan,” ujar Silviani. Ia menambahkan bahwa masalah bukan terletak pada stres itu sendiri, melainkan bagaimana kita menanggapinya. Dengan memahami hal ini, stres bisa diarahkan menjadi pendorong produktivitas, bukan penghambat.
Mengenali Jenis Stres dan Sinyal Tubuh
Menurut Silviani, stres terbagi menjadi dua jenis: eustress dan distress. Eustress merupakan stres positif yang dapat memotivasi seseorang untuk berprestasi dan mencapai tujuan. Contohnya, tegang sebelum presentasi penting tetapi membuat fokus lebih tajam.
Sebaliknya, distress adalah stres negatif yang menimbulkan perasaan kewalahan, cemas, dan kehilangan semangat. Jika berlangsung lama tanpa penanganan, distress dapat memicu kelelahan emosional hingga gangguan mental seperti burnout atau depresi.
Salah satu langkah penting dalam menjaga kewarasan adalah mengenali tanda-tanda awal stres. Tubuh sering memberi sinyal sebelum pikiran menyadarinya, seperti leher kaku, sakit perut, sulit tidur, atau mudah tersinggung.
“Kalau sinyal ini diabaikan, stres bisa menumpuk dan memengaruhi keseharian,” ungkap Silviani. Mengenali sinyal tubuh bukan berarti lemah, tetapi langkah awal memahami kebutuhan diri dan batas energi pribadi.
Teknik Recharge Mental dan Strategi Coping
Tidak ada satu rumus pasti untuk mengatasi stres. Yang penting adalah menemukan aktivitas yang membantu mengisi ulang energi mental. Beberapa orang merasa tenang dengan menulis jurnal, mendengarkan musik, atau berbincang dengan orang terdekat.
Sebagian lain lebih nyaman melalui olahraga, tidur cukup, atau kegiatan sederhana yang menenangkan. Silviani menekankan bahwa self-care tidak harus rumit atau mahal. “Istirahat yang cukup, makan bergizi, dan menata rutinitas sederhana bisa menjadi bentuk self-care yang sangat efektif,” katanya.
Dalam psikologi, cara menghadapi stres disebut coping mechanism. Silviani menyebut dua pendekatan utama: Problem-focused coping, menghadapi sumber stres secara langsung, misalnya menyelesaikan tugas satu per satu; dan Emotion-focused coping, menenangkan diri sebelum menghadapi masalah, seperti meditasi singkat atau menarik napas dalam. Kedua pendekatan ini saling melengkapi. Terkadang menenangkan diri terlebih dahulu memungkinkan pikiran lebih jernih untuk mencari solusi.
Memberi Ruang dan Kesadaran bagi Kewarasan
Menjaga kewarasan bukan berarti menghindari stres sepenuhnya, tetapi memberi ruang bagi diri untuk berhenti sejenak dan memulihkan energi mental. Silviani menekankan pentingnya kesadaran akan batas diri, mengenali kebutuhan, dan memberi waktu untuk istirahat berkualitas.
Kesibukan tidak bisa dihindari, tetapi kewarasan bisa dijaga dengan strategi sederhana. Dukungan sosial, penerimaan diri, dan teknik self-care yang sesuai memungkinkan stres diubah menjadi sumber kekuatan.
Dengan pendekatan sadar ini, individu bisa tetap fokus, berpikir jernih, dan menghadapi tantangan hidup dengan lebih tangguh. Menjaga keseimbangan mental di tengah tekanan modern menjadi investasi penting bagi produktivitas dan kualitas hidup yang lebih baik.