JAKARTA - Pasar komoditas global kembali bergejolak setelah harga batu bara mencetak rekor tertinggi dalam hampir satu bulan terakhir.
Kenaikan tajam ini terjadi sesaat setelah China memberikan sinyal pembatasan produksi lebih lanjut di sektor batu bara domestiknya. Sentimen tersebut langsung memicu lonjakan harga di bursa internasional karena pelaku pasar menilai pasokan akan semakin terbatas menjelang akhir tahun.
Harga batu bara ditutup di posisi US$ 109,3 per ton, menguat 0,74% dan mencatatkan kenaikan dua hari berturut-turut sebesar 1,4%. Level tersebut menjadi yang tertinggi sejak awal September, menandai tren positif baru bagi pasar batu bara yang sebelumnya tertekan oleh kebijakan pasokan berlebih.
Langkah pembatasan produksi ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga penghujung tahun, sehingga pemulihan produksi di negara produsen terbesar dunia itu kemungkinan tidak akan signifikan dalam waktu dekat.
Menurut laporan China Coal, kebijakan ini diterapkan untuk menyeimbangkan kembali pasar setelah lonjakan pasokan yang sempat menekan harga batu bara domestik di paruh pertama tahun ini.
Upaya Menjaga Stabilitas Harga dan Pasokan
Regulator aset negara China dikabarkan telah menggelar pertemuan dengan sejumlah pelaku industri untuk memastikan harga tetap berada pada level yang “wajar” dan “stabil.”
Menurut Li Xueyuan, pejabat di departemen pemasaran China Coal Energy, pemerintah berupaya menyeimbangkan antara kebutuhan industri dengan kestabilan harga agar tidak memicu inflasi energi.
Li menjelaskan bahwa pasokan dan permintaan batu bara diperkirakan akan relatif seimbang dalam waktu dekat, terutama dengan datangnya musim dingin yang meningkatkan konsumsi energi. Permintaan yang tinggi pada periode ini membuat produsen harus menjaga distribusi agar tetap lancar meski dibatasi kuota produksi.
China Coal Energy, sebagai anak perusahaan dari China Coal Group produsen batu bara terbesar keempat di negara itu mengonfirmasi bahwa produksi nasional sempat menurun 1,8% secara tahunan menjadi 411,51 juta ton metrik pada September.
Penurunan ini mencerminkan dampak langsung dari kebijakan pembatasan yang masih berjalan ketat. Namun, secara kumulatif, output dalam sembilan bulan pertama tahun ini masih tumbuh 2% dibanding periode yang sama tahun lalu, mencapai 3,57 miliar ton berkat peningkatan tajam pada paruh pertama tahun.
Impor Batu Bara dari Mongolia Meningkat
Di sisi lain, pasar juga mencermati peningkatan impor batu bara kokas dari Mongolia ke China. Berdasarkan data Sxcoal, arus impor melalui sejumlah pos perbatasan utama menunjukkan tren kenaikan selama sepekan terakhir.
Peningkatan ini didorong oleh sentimen pasar yang lebih positif serta harapan pelaku industri terhadap stabilnya permintaan dari sektor energi dan manufaktur.
Kenaikan impor ini sekaligus menjadi indikator bahwa China sedang mencari suplai alternatif untuk menutupi potensi kekurangan pasokan akibat pembatasan produksi domestik.
Produsen di Mongolia diperkirakan akan menikmati lonjakan permintaan jangka pendek, meski situasi ini juga bisa memunculkan tantangan logistik dan fluktuasi harga jika keseimbangan supply-demand berubah dengan cepat.
Selain itu, peningkatan pangsa pasar Mongolia di Tiongkok berpotensi menggeser dinamika ekspor batu bara di kawasan Asia.
Negara-negara pesaing seperti Indonesia dan Australia kini menghadapi tekanan kompetitif yang lebih besar, karena sebagian pasar di China mulai dialihkan ke pemasok terdekat dengan biaya transportasi yang lebih efisien.
Konsumsi Listrik Naik, Ekonomi China Tunjukkan Pemulihan
Sementara itu, permintaan energi di China menunjukkan tanda-tanda penguatan seiring meningkatnya konsumsi listrik nasional. Total konsumsi listrik pada September tercatat mencapai 888,6 miliar kilowatt-jam (kWh), naik 4,5% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Peningkatan ini menggambarkan bahwa aktivitas ekonomi di berbagai sektor, terutama industri dan manufaktur, terus pulih.
Secara kumulatif, sepanjang Januari hingga September, konsumsi listrik China mencapai hampir 7,77 triliun kWh atau tumbuh 4,6% secara tahunan. Pertumbuhan ini terutama didorong oleh sektor industri sekunder—yang meliputi manufaktur dan industri pengolahan dengan peningkatan konsumsi hingga 5,7% pada September.
Angka tersebut mencerminkan bahwa dunia industri di China masih aktif berproduksi dan mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Kenaikan konsumsi listrik menjadi sinyal positif bagi pasar energi, terutama karena menunjukkan adanya keseimbangan antara upaya efisiensi karbon dan pertumbuhan industri.
Meski kebijakan pembatasan produksi batu bara diberlakukan untuk mengendalikan emisi dan menjaga harga, data ini membuktikan bahwa permintaan energi tetap kuat di tengah transisi menuju bauran energi yang lebih berkelanjutan.
Pertumbuhan konsumsi energi juga mengindikasikan bahwa perekonomian China masih berputar secara stabil, meski tidak terlalu cepat. Bagi sektor komoditas global seperti batu bara, listrik, tembaga, dan aluminium, kondisi ini menjadi faktor penting dalam menentukan arah harga dan kebijakan pasokan.
Dengan permintaan industri yang tetap tinggi, pasar batu bara global berpeluang menjaga kestabilannya, terutama jika China dapat menyeimbangkan kebijakan produksi dengan kebutuhan energi nasionalnya.