Bursa

Bursa Asia Menguat di Tengah Ketegangan Dagang AS-China

Bursa Asia Menguat di Tengah Ketegangan Dagang AS-China
Bursa Asia Menguat di Tengah Ketegangan Dagang AS-China

JAKARTA - Bursa saham Asia kembali dibuka menguat pada perdagangan Kamis 16 Oktober 2025, di tengah meningkatnya kewaspadaan investor terhadap ketegangan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Setelah beberapa hari berfluktuasi, pasar tampak mencoba bangkit, meski sentimen global belum sepenuhnya stabil.

Menurut data Bloomberg, sejumlah indeks utama di kawasan Asia mencatatkan penguatan pada awal sesi perdagangan. Indeks Topix Jepang naik 0,43% ke level 3.198,03, sementara indeks S&P/ASX 200 Australia menguat 1,11% ke level 9.092,10. 

Di Korea Selatan, indeks Kospi melonjak 1,80% ke level 3.722,93, menandai optimisme investor yang mulai kembali masuk ke pasar ekuitas.

Secara keseluruhan, indeks MSCI Asia Pacific naik 0,7%, ditopang oleh penguatan di Jepang, Australia, dan Korea Selatan. Namun, tidak semua pasar mengalami penguatan. 

Di China, indeks saham CSI 300 justru dibuka melemah tipis, mencerminkan kehati-hatian pelaku pasar terhadap arah kebijakan perdagangan kedua negara adidaya tersebut.

Ketegangan AS-China Kembali Memanas, Pasar Bereaksi Fluktuatif

Pernyataan Presiden AS Donald Trump yang menyebut negaranya tengah “terjebak dalam perang dagang” dengan China menjadi pemicu utama volatilitas pasar. 

Sementara itu, Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengisyaratkan adanya peluang untuk memperpanjang gencatan tarif jangka panjang, asalkan Beijing bersedia menunda kebijakan pembatasan ekspor logam tanah jarang (rare earth).

Kedua pernyataan tersebut memunculkan ketidakpastian baru di kalangan pelaku pasar. Setelah beberapa bulan relatif tenang, tensi antara Washington dan Beijing kembali meningkat, membuat pergerakan saham bergejolak sejak aksi jual besar yang terjadi pada akhir pekan sebelumnya.

“Saya melihat banyak langkah saling balas ini sebagai bagian dari taktik negosiasi,” ujar Nick Twidale, Kepala Analis Pasar di AT Global Markets Sydney. 

Ia menambahkan bahwa volatilitas kemungkinan masih akan terjadi di setiap pembaruan dari kedua pihak, dan arah pasar baru akan terlihat setelah ada kejelasan yang lebih pasti terkait kesepakatan perdagangan.

Sinyal Diplomatik Buka Peluang Gencatan Tarif Baru

Pernyataan Trump datang hanya beberapa jam setelah Bessent memberikan sinyal kemungkinan memperpanjang masa jeda tarif impor terhadap barang-barang asal China lebih dari tiga bulan. 

Hal ini bisa terjadi apabila China mau menunda kebijakan pembatasan ekspor rare earth, yang merupakan bahan penting dalam industri teknologi tinggi.

Sejak awal tahun, AS dan China telah menyepakati beberapa kali gencatan tarif selama 90 hari, namun kesepakatan tersebut selalu bersifat sementara.

Tenggat waktu terbaru akan berakhir pada November mendatang, dan pasar kini menunggu langkah lanjutan dari kedua negara menjelang pertemuan tingkat tinggi berikutnya.

Ketegangan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa eskalasi lebih lanjut dapat mengganggu rantai pasok global serta menekan prospek pertumbuhan ekonomi dunia. 

Meski begitu, beberapa analis menilai bahwa tekanan ini justru menjadi bagian dari upaya negosiasi strategis kedua negara untuk memperoleh posisi tawar yang lebih baik.

Ekspektasi Pemangkasan Suku Bunga The Fed Dorong Optimisme

Di sisi lain, pelaku pasar global mulai meningkatkan taruhan terhadap kemungkinan The Federal Reserve (The Fed) memangkas suku bunga secara lebih agresif sebelum akhir 2025. Ekspektasi ini muncul karena tanda-tanda perlambatan ekonomi global dan potensi dampak perang dagang yang berkepanjangan.

Pemangkasan suku bunga The Fed diharapkan dapat menjaga momentum positif bagi pasar saham Amerika Serikat, sekaligus memberikan efek menenangkan bagi pasar global.

 “Investor tampaknya mulai kembali fokus pada kebijakan moneter longgar yang akan menopang kinerja korporasi,” ungkap salah satu analis yang dikutip Bloomberg.

Pasar saham dunia saat ini memang tengah memasuki fase koreksi ringan setelah mengalami reli enam bulan terbaik sejak 1950-an. Koreksi tersebut, menurut para analis, masih wajar dan bahkan bisa memberikan ruang bagi investor untuk melakukan akumulasi saham berfundamental kuat.

Bursa Asia Punya Potensi Stabil Jika Tekanan Mereda

Meskipun ketegangan dagang AS-China masih menjadi fokus utama, penguatan yang terjadi di bursa Asia menunjukkan adanya optimisme hati-hati di kalangan investor. 

Pasar tampak mulai menilai ulang potensi pertumbuhan korporasi di kawasan, terutama setelah valuasi beberapa saham dinilai kembali menarik pasca koreksi tajam sebelumnya.

Kinerja positif di Jepang dan Korea Selatan misalnya, mencerminkan harapan akan pemulihan permintaan global, khususnya di sektor manufaktur dan teknologi. Sementara itu, pasar Australia mendapatkan dorongan dari harga komoditas yang stabil dan ekspektasi kebijakan suku bunga yang akomodatif.

Namun, analis menilai arah pasar ke depan masih sangat bergantung pada perkembangan diplomatik antara AS dan China dalam beberapa pekan mendatang. Apabila kedua negara dapat mencapai kesepakatan baru, maka bursa Asia berpotensi memperpanjang tren penguatannya hingga akhir tahun.

Outlook Pasar: Waspada Volatilitas, Namun Peluang Masih Terbuka

Kondisi pasar keuangan global yang masih bergejolak menuntut investor untuk tetap berhati-hati. Volatilitas diperkirakan akan terus berlangsung, setidaknya hingga ada kepastian lebih lanjut mengenai arah kebijakan perdagangan dan suku bunga global.

Meski demikian, banyak pelaku pasar menilai bahwa fase saat ini merupakan masa transisi menuju kestabilan baru, di mana kebijakan moneter longgar dari The Fed dan potensi de-eskalasi perang dagang dapat menjadi katalis positif bagi aset berisiko.

Dengan kombinasi antara harapan terhadap pemangkasan suku bunga, potensi gencatan tarif yang lebih panjang, serta pemulihan permintaan di kawasan Asia, bursa regional dinilai masih menyimpan ruang penguatan dalam jangka menengah.

Bagi investor jangka panjang, momentum koreksi saat ini bisa dimanfaatkan untuk mencari peluang di sektor-sektor defensif dan berorientasi ekspor, yang cenderung lebih tahan terhadap guncangan geopolitik.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index