BBCA

Saham BBCA Masih Premium, Analis Lihat Potensi Kenaikan Terbatas

Saham BBCA Masih Premium, Analis Lihat Potensi Kenaikan Terbatas
Saham BBCA Masih Premium, Analis Lihat Potensi Kenaikan Terbatas

JAKARTA - Meskipun pergerakan saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) menunjukkan tren pelemahan dalam beberapa waktu terakhir, sejumlah analis menilai valuasi saham bank swasta terbesar di Indonesia ini masih tergolong premium. 

Namun, di sisi lain, mereka menilai tekanan harga saat ini dapat menjadi momentum akumulasi bagi investor jangka panjang. Pada perdagangan Selasa, 14 Oktober 2025, saham BBCA tercatat melemah 1,02 persen atau turun 75 poin ke posisi Rp7.250 per saham. 

Penurunan ini memperpanjang tren koreksi yang terjadi sepanjang sepekan terakhir, di mana saham bank dengan kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI) ini telah terkoreksi sebesar 4,29 persen atau 325 poin.

Jika dilihat lebih panjang, selama tiga bulan terakhir harga saham BBCA merosot 15,94 persen atau 1.375 poin. Bahkan secara year to date (YtD), penurunannya mencapai 25,06 persen atau setara 2.425 poin dari level awal tahun.

Meski demikian, data valuasi yang dihimpun dari Stockbit menunjukkan bahwa saham BBCA masih diperdagangkan pada level premium dibandingkan rata-rata sektor perbankan nasional.

 Berdasarkan perhitungan trailing twelve months (TTM), rasio price to earnings (PE) BBCA tercatat sebesar 15,69 kali. Sementara itu, PE forward berada di level 14,69 kali, dan PE annualised sebesar 15,40 kali.

Bagi investor, rasio PE ini menjadi indikator penting dalam menilai apakah suatu saham tergolong mahal atau murah. Semakin rendah nilai PE, umumnya semakin murah harga saham terhadap laba bersih per saham (earnings per share).

 Namun, dalam kasus BBCA, meski valuasinya masih tinggi, banyak pihak menilai harga tersebut mencerminkan fundamental perusahaan yang kuat dan profitabilitas yang stabil.

Selain rasio PE, rasio price to book value (PBV) BBCA juga menunjukkan angka cukup tinggi, yakni 3,42 kali. Artinya, harga saham BBCA saat ini lebih dari tiga kali lipat dibandingkan nilai bukunya (book value). Rasio ini mengindikasikan bahwa pasar masih menaruh kepercayaan tinggi terhadap prospek bisnis BCA di masa mendatang.

Dari sisi arus kas, BBCA mencatat rasio price to cash flow (P/CF) sebesar 18,66 kali, sedangkan price to free cash flow (P/FCF) berada di level 20,12 kali.

 Angka ini menunjukkan bahwa pasar tetap menghargai kemampuan BCA dalam menghasilkan kas bersih setelah membiayai kegiatan operasional dan investasi.

 Free cash flow menjadi indikator penting karena menggambarkan kemampuan perusahaan untuk melakukan ekspansi atau membagikan dividen kepada pemegang saham.

Meskipun tren pelemahan harga masih berlanjut, sejumlah analis tetap memberikan rekomendasi positif terhadap saham BBCA. Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Nafan Aji Gusta, menilai saham BBCA masih layak untuk dikoleksi secara bertahap atau accumulative buy.

Nafan merekomendasikan area pembelian ideal saham BBCA berada pada kisaran Rp7.825 hingga Rp8.025 per saham. Menurutnya, ruang penurunan harga saat ini relatif terbatas (limited downside), sedangkan peluang kenaikan di masa mendatang masih cukup terbuka.

Dalam analisis teknikalnya, Nafan memperkirakan saham BBCA berpotensi menguat menuju level Rp8.100 dalam jangka pendek. Jika momentum positif terus berlanjut, harga saham bisa melanjutkan kenaikan menuju Rp8.250 dalam jangka menengah.

“Area support atau batas bawah harga diperkirakan berada di Rp7.825 dan Rp7.550,” ujar Nafan.

Ia menambahkan, dalam skenario optimistis, harga saham BBCA berpeluang menguat hingga ke level Rp11.550 per saham atau naik sekitar 45 persen dari posisi saat ini. 

Potensi tersebut bisa tercapai apabila sentimen pasar kembali membaik dan data kinerja keuangan perusahaan menunjukkan peningkatan signifikan.

Dari perspektif jangka panjang, prospek BBCA dinilai masih solid. Bank ini dikenal memiliki struktur permodalan kuat, basis dana murah (current account and saving account/CASA) terbesar di industri, serta manajemen risiko yang konservatif.

 Faktor-faktor tersebut menjadikan BBCA salah satu saham defensif yang tetap diminati investor di tengah volatilitas pasar modal.

Sejumlah analis lain juga menyoroti bahwa tekanan harga yang dialami saham perbankan, termasuk BBCA, lebih disebabkan oleh sentimen global dan likuiditas domestik yang ketat, bukan karena pelemahan fundamental.

 Kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah serta ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter The Fed menjadi faktor eksternal yang turut memengaruhi pergerakan saham perbankan di kawasan Asia.

Selain itu, kinerja sektor perbankan di kuartal III/2025 juga menjadi perhatian investor. Beberapa bank besar, termasuk BCA, akan segera merilis laporan keuangan triwulanan yang diperkirakan masih mencatat pertumbuhan laba meski dengan laju yang melambat.

Sementara itu, investor ritel disarankan untuk tetap berhati-hati dalam menentukan waktu pembelian, mengingat fluktuasi pasar masih tinggi menjelang akhir tahun. Strategi buy on weakness atau membeli saat harga turun dinilai dapat menjadi pendekatan yang lebih aman untuk saham berfundamental kuat seperti BBCA.

Meski valuasi BBCA tetap tergolong premium, banyak pelaku pasar menilai harga saham saat ini sudah mencerminkan sebagian besar risiko jangka pendek. 

Dengan demikian, ruang pemulihan masih terbuka apabila kondisi ekonomi global mulai stabil dan arus dana asing kembali mengalir ke pasar saham Indonesia.

Dalam jangka menengah, kinerja BCA akan tetap bergantung pada pertumbuhan kredit, pengendalian biaya dana, serta kemampuan mempertahankan kualitas aset. 

Namun, dengan rekam jejak kuat dan basis nasabah yang luas, BCA diyakini tetap menjadi pilihan utama bagi investor yang mencari saham dengan fundamental kokoh di sektor keuangan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index