JAKARTA - Kunjungan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka ke Papua Selatan pada pertengahan September lalu memunculkan berbagai respons publik.
Agenda tersebut bukan sekadar perjalanan simbolis, melainkan sebuah momentum penting yang bisa menjadi titik awal pembaruan pendekatan pemerintah pusat terhadap Papua.
Kehadiran seorang wapres muda di tanah yang penuh dinamika ini membawa harapan baru, meski juga memunculkan keraguan apakah langkah tersebut benar-benar akan memberi perubahan nyata.
Antara Simbolis dan Dialog Nyata
Di satu sisi, kunjungan ini dipandang sebagai bentuk kedekatan pemerintah pusat dengan rakyat Papua. Hal ini bisa dimaknai sebagai upaya membangun komunikasi langsung, mendengar aspirasi, dan memahami persoalan di lapangan.
Namun, di sisi lain, masyarakat juga mempertanyakan apakah lawatan itu akan sekadar menjadi acara seremonial, atau benar-benar membuka ruang dialog jujur yang selama ini sangat dirindukan orang Papua.
Papua di Persimpangan Kepentingan
Papua sudah terlalu lama menjadi arena tarik-menarik kepentingan. Mulai dari elite politik di Jakarta, birokrasi daerah, hingga investor besar, baik dalam negeri maupun luar negeri, semua hadir dengan agenda masing-masing.
Sementara itu, rakyat Papua di tingkat akar rumput kerap hanya menjadi penonton, bahkan korban, dari pembangunan yang katanya ditujukan untuk mereka. Karena itu, kehadiran seorang wakil presiden harus bisa melampaui sekadar formalitas.
Kritik Bukan Ancaman Separatis
Selama bertahun-tahun, pendekatan keamanan mendominasi kebijakan pemerintah terhadap Papua. Kritik yang datang dari tokoh gereja, mahasiswa, maupun intelektual lokal sering kali disalahartikan sebagai bagian dari gerakan separatis.
Padahal, tidak semua suara kritis bermaksud memisahkan diri. Banyak di antaranya justru ingin memperjuangkan keadilan dan kesetaraan, termasuk hak atas tanah dan sumber daya alam.
Pentingnya Mendengar Suara Rakyat Langsung
Dalam konteks ini, kunjungan Gibran menjadi peluang untuk memperbaiki komunikasi politik. Ia tidak cukup hanya berdiri di podium menyampaikan pidato formal, melainkan harus mau turun langsung ke kampung, sekolah, pasar, bahkan pedalaman.
Di situlah suara asli rakyat Papua bisa didengar, bukan hanya laporan pejabat daerah atau investor yang berkepentingan.
Jalan Dialog Menggantikan Represi
Pendekatan represif terbukti justru memperkuat narasi kelompok pro-kemerdekaan. Operasi militer, penangkapan sewenang-wenang, serta kekerasan yang tidak pernah tuntas, hanya mempertebal jarak antara Papua dan Jakarta.
Jika pemerintah sungguh ingin meredam dukungan terhadap OPM, maka jalur dialog harus menjadi pilihan utama.
Peran Wapres Muda dalam Paradigma Baru
Seorang wapres muda seperti Gibran memiliki kesempatan untuk mendorong paradigma baru. Misalnya dengan membentuk lembaga khusus yang fokus menyelesaikan masalah Papua secara dialogis.
Namun, dialog ini tidak boleh terbatas pada elite politik atau tokoh adat yang dianggap aman, melainkan juga harus melibatkan kelompok-kelompok kritis yang selama ini bersuara lantang soal hak politik dan budaya.
Kesenjangan Pembangunan yang Masih Nyata
Program pembangunan di Papua selama ini masih meninggalkan kesenjangan besar. Dana otonomi khusus yang digelontorkan sejak 2001 tidak serta-merta meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua.
Infrastruktur memang hadir, tetapi pelayanan pendidikan dan kesehatan masih jauh dari memadai. Data BPS menunjukkan indeks pembangunan manusia Papua Barat jauh tertinggal dari rata-rata nasional, apalagi dibanding Jakarta.
Arah Baru Pembangunan untuk Papua
Itulah sebabnya, Wapres Gibran perlu mendorong pergeseran arah pembangunan. Bukan hanya proyek besar yang menguntungkan investor, melainkan pembangunan berbasis komunitas yang menjawab kebutuhan dasar rakyat Papua.
Sekolah layak, layanan kesehatan merata, serta ketersediaan guru dan obat-obatan jauh lebih berarti daripada jalan tol yang menghubungkan tambang dengan pelabuhan.
Kontroversi Ekspansi Sawit Sejuta Hektare
Salah satu isu kontroversial adalah rencana pembukaan lahan sejuta hektare di Papua. Proyek ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah benar untuk kesejahteraan rakyat atau hanya memberi ruang bagi perusahaan besar? Kajian akademis menunjukkan bahwa ekspansi sawit justru membawa kerusakan ekologis, kultural, hingga spiritual bagi masyarakat adat.
Dampak Sawit bagi Identitas dan Kehidupan Adat
Ekspansi sawit telah menghancurkan relasi spiritual masyarakat dengan alam, sekaligus menggusur masyarakat adat dari tanah mereka sendiri. Jika rencana ini dipaksakan, Papua akan menghadapi kolonisasi ekonomi baru yang merugikan rakyat asli.
Karena itu, kunjungan Gibran sebaiknya menjadi momentum untuk menyatakan penolakan terhadap proyek semacam ini, demi keadilan dan kelestarian.
Pembangunan yang Menguntungkan Investor
Selain itu, proyek infrastruktur besar juga tidak selalu menjawab kebutuhan rakyat. Jalan raya trans-Papua, misalnya, justru lebih banyak dimanfaatkan oleh perusahaan tambang dan aparat keamanan.
Kehadiran jalan tersebut malah mempercepat marginalisasi masyarakat adat, karena memberi akses luas bagi eksploitasi sumber daya alam. Tanpa keterlibatan nyata orang Papua dalam proyek-proyek itu, pembangunan hanya akan memperbesar ketidakadilan.
Papua Bukan Hanya Soal Keamanan
Persoalan Papua sejatinya bukan hanya soal keamanan, melainkan keadilan politik, ekonomi, dan sosial. Selama strategi militer tetap dominan, kekerasan akan selalu berulang.
Pengiriman pasukan dalam jumlah besar hanya membuat orang Papua semakin tidak percaya kepada pemerintah pusat, terutama ketika mereka melihat pasukan lebih banyak melindungi kepentingan pengusaha ketimbang rakyat.
Awal Perubahan atau Simbolisme Politik?
Karena itu, kunjungan wapres harus dimaknai sebagai awal perubahan. Pemerintah perlu mengurangi pendekatan militer, membuka ruang dialog yang inklusif, dan berani membatalkan proyek-proyek yang merugikan masyarakat adat.
Tanpa langkah nyata seperti ini, kunjungan pejabat pusat akan selalu dipandang sinis dan hanya menambah daftar panjang simbolisme politik.
Kesempatan Generasi Baru Kepemimpinan Nasional
Sejak masa Orde Baru hingga kini, janji pemerintah untuk memperhatikan Papua selalu terdengar, tetapi jarang terwujud dalam kebijakan yang benar-benar menyentuh rakyat.
Otsus jilid II pun tidak banyak memperbaiki keadaan, malah menambah kekecewaan. Inilah peluang bagi Gibran, sebagai generasi baru dalam kepemimpinan nasional, untuk tampil berbeda.
Mendengar Rakyat, Bukan Investor
Ia harus lebih banyak mendengar langsung rakyat Papua, bukan hanya pejabat atau investor. Papua harus diperlakukan bukan sebagai komoditas politik, melainkan isu kemanusiaan yang menuntut empati.
Kepercayaan rakyat Papua hanya bisa lahir dari kebijakan nyata yang adil dan konsisten, bukan dari pidato singkat atau seremoni formal.
Papua Membutuhkan Tindakan Nyata, Bukan Janji Baru
Jika Gibran berani menjadikan kunjungannya sebagai titik awal dialog jujur, membatalkan proyek bermasalah, dan mengurangi pendekatan militer, maka ada harapan baru bagi Papua.
Orang Papua tidak menolak pembangunan, mereka hanya menolak diskriminasi dan eksploitasi. Loyalitas mereka tidak bisa dibeli dengan proyek besar, melainkan dengan penghormatan atas martabat dan hak-hak mereka.
Ujian Besar Pemerintah Pusat di Tanah Papua
Pada akhirnya, kunjungan wapres kali ini akan menjadi ujian besar bagi pemerintah pusat. Apakah Jakarta benar-benar siap membuka lembaran baru dengan Papua, atau hanya mengulang pola lama yang penuh basa-basi? Semua bergantung pada keberanian seorang Gibran untuk mengambil langkah berbeda.
Menjadi Jembatan Harapan Papua
Jika ia mampu menempatkan dirinya sebagai jembatan dialog, maka Gibran bukan hanya akan dikenang sebagai wakil presiden muda, tetapi juga pemimpin yang berani membawa harapan baru bagi Papua.