JAKARTA - Di era serba cepat, banyak individu merasa terasing meski kehidupan semakin terhubung.
Pertanyaan tentang ketenangan batin atau tekanan mental kerap muncul dalam pikiran banyak orang. Kemajuan teknologi, arus media sosial yang deras, tuntutan pekerjaan, tekanan ekonomi, serta kompleksitas relasi sosial menjadikan kesehatan mental isu yang tidak bisa diabaikan.
Data menunjukkan jutaan orang Indonesia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental, termasuk gangguan emosional dan depresi.
Faktor biologis, pengalaman psikologis, lingkungan sosial, kebiasaan harian, dan makna hidup memengaruhi kesehatan mental.
Membangun pikiran realistis, kebiasaan sehat, dukungan sosial, serta tujuan hidup yang bermakna menjadi fondasi penting untuk menjaga daya lenting psikologis. Nilai-nilai ini membantu menurunkan risiko gangguan mental di tengah kehidupan yang bergerak cepat.
Pergeseran Konsep Kebahagiaan dan Efek Media Sosial
Di tengah dinamika modern, definisi kebahagiaan seringkali bergeser ke kesenangan instan, validasi, pujian, keberhasilan cepat, dan stimulasi tanpa henti. Media sosial memperkuat dorongan ego untuk tampil sempurna dan terlihat berhasil.
Namun, pencarian kesenangan instan justru menjauhkan seseorang dari kedamaian batin. Dopamin yang dilepaskan oleh kesenangan bersifat sementara, sehingga lingkaran mengejar rangsangan baru terus terjadi, sementara rasa cukup jarang hadir.
Konsep Best Feeling Achievement (BFA) membedakan antara kesenangan dan kebahagiaan. Kesenangan bersifat cepat dan dangkal, sedangkan kebahagiaan muncul dari makna hidup, tujuan yang kuat, relasi berkualitas, kedalaman spiritual, dan keselarasan dengan nilai diri.
Banyak individu yang tampak sukses justru merasakan kehampaan karena hidup penuh pencapaian namun miskin makna. Studi panjang Harvard menegaskan bahwa kualitas relasi adalah penentu utama kebahagiaan dan kesehatan mental.
Mengelola Ego dan Kesadaran Diri untuk Ketenangan
Ego dapat menjadi sumber luka tersembunyi jika tidak dikendalikan. Keinginan untuk dihormati, dipuji, atau selalu menang membuat seseorang sulit menerima realitas, meminta maaf, dan mudah tersinggung. Ketika validasi eksternal menjadi acuan harga diri, tekanan mental meningkat.
Kesadaran diri (self-awareness) menjadi langkah awal mengelola ego. Menyadari bagian diri yang tersinggung, memahami alasan di balik perilaku, dan membedakan antara solusi dan pelampiasan emosi membuka ruang refleksi. Mengakui ketidaksempurnaan bukan kelemahan, melainkan kedewasaan.
Mengenali emosi asli membantu mengendalikannya, sehingga fokus berpindah dari pencitraan ke pertumbuhan diri. Kerendahan hati bisa dilatih melalui tindakan kecil namun bermakna, seperti melakukan kebaikan tanpa diketahui, memberi apresiasi tulus, atau mengakui kelebihan orang lain.
Membangun Makna Hidup dan Kebahagiaan Stabil
Pencarian makna hidup menjadi inti kebahagiaan yang stabil. Menentukan nilai-nilai yang ingin dijalani, apa yang ingin diwariskan, dan apa yang membuat hidup bernilai menata arah batin.
Integritas spiritual, melalui doa, meditasi, renungan, membaca kitab suci, atau jurnal syukur, membantu seseorang menyadari dimensi hidup lebih luas dari diri sendiri.
Transformasi ego dari sumber tekanan menjadi penjaga kesejahteraan membuka jalan bagi kebahagiaan yang lebih tenang dan bermakna.
Dengan membatasi kesenangan semu dan memperkuat kualitas kebahagiaan yang lahir dari makna, seseorang dapat membangun kesehatan mental yang lebih kuat, menemukan peran sejati dalam kehidupan, dan tumbuh menjadi pribadi utuh serta bermartabat.
Pendekatan ini menekankan pentingnya kesederhanaan, relasi berkualitas, tujuan hidup yang jelas, dan manajemen ego sebagai strategi melawan tekanan modern.
Dalam keseharian, langkah-langkah kecil untuk meningkatkan kualitas batin dan memaknai hidup memberikan efek jangka panjang pada ketahanan psikologis. Kesejahteraan mental bukan hanya tentang menghindari gangguan, tetapi membangun kehidupan yang harmonis, penuh makna, dan berkelanjutan.