Kebangkitan Industri Kakao Indonesia Didorong Langsung oleh BPDP Kemenkeu Strategis

Selasa, 25 November 2025 | 10:34:58 WIB
Kebangkitan Industri Kakao Indonesia Didorong Langsung oleh BPDP Kemenkeu Strategis

JAKARTA - Industri pengolahan kakao Indonesia tengah menghadapi tantangan serius, terutama terkait penurunan jumlah pabrik yang beroperasi. 

Data terbaru menunjukkan bahwa dari 31 pabrik yang ada beberapa tahun lalu, kini hanya tersisa sekitar 19–21 pabrik.

Penutupan pabrik terjadi karena tingginya biaya produksi, terutama bagi perusahaan yang bergantung pada bahan baku impor. Hal ini membuat margin keuntungan semakin menipis, dan sejumlah pabrik akhirnya menghentikan operasionalnya.

Kondisi ini lebih memberatkan bagi pengusaha yang hanya memiliki fasilitas pengolahan tanpa kebun sendiri. Sementara pelaku usaha yang memiliki kebun dan pabrik secara terintegrasi lebih kuat karena mampu mengendalikan rantai produksi dari hulu hingga hilir, sehingga risiko biaya tinggi bisa diminimalkan.

Tantangan Program Replanting Kakao

Selain isu penutupan pabrik, program peremajaan atau replanting kakao menghadapi hambatan teknis yang cukup signifikan. Ketersediaan benih belum mencukupi untuk memenuhi target nasional, termasuk di wilayah Bali yang menjadi salah satu sentra produksi kakao.

BPDP menilai perlu ada nursery baru di berbagai daerah untuk memastikan pasokan bibit cukup bagi petani. Namun, pelaksanaan program ini masih menunggu kepastian regulasi teknis dari Kementerian Pertanian, meski pendanaan dari pemerintah sudah diatur melalui Peraturan Presiden.

“Jangan sampai program dijalankan tapi sisi akuntabilitasnya dipertanyakan,” tegas Kepala Divisi Umum BPDP, Adi Sucipto. Dengan kepastian regulasi, program replanting bisa berjalan efektif sekaligus mendorong kualitas dan kuantitas produksi kakao nasional.

Biaya Produksi Tinggi dan Ketergantungan Impor

Industri kakao nasional kini menghadapi biaya produksi yang meningkat tajam karena sebagian besar bahan baku harus diimpor. Sebelumnya, Indonesia memiliki bahan baku lokal yang memadai, sehingga biaya relatif rendah.

Sekarang, ketergantungan pada bahan baku impor membuat biaya produksi melambung, terutama bagi perusahaan yang tidak memiliki perkebunan sendiri. Akibatnya, sejumlah pabrik terpaksa menutup operasionalnya, sementara perusahaan yang terintegrasi mampu bertahan karena memiliki kontrol lebih besar terhadap rantai produksi.

Kondisi ini menjadi peringatan bagi pelaku industri untuk menata kembali strategi produksi, mulai dari pengadaan bahan baku hingga peningkatan efisiensi operasional. Dukungan pemerintah diharapkan bisa membantu menurunkan biaya dan meningkatkan daya saing produk kakao Indonesia di pasar global.

Kontribusi Kakao terhadap Perekonomian Nasional

Meski menghadapi berbagai kendala, subsektor perkebunan termasuk kakao tetap menjadi penopang penting perekonomian nasional. Data menunjukkan kontribusi subsektor perkebunan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) turun dari 1,53% pada 2020 menjadi 1,34% pada 2024.

BPDP menegaskan, sektor ini memiliki peran vital dalam menyerap tenaga kerja, terutama pada masa pandemi COVID-19. Perkebunan kakao tidak hanya menopang pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memberikan lapangan kerja bagi masyarakat di daerah sentra produksi.

Dengan dukungan program replanting dan regulasi yang jelas, diharapkan industri kakao dapat bangkit kembali, meningkatkan produksi, menekan biaya, serta memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu produsen kakao utama di dunia.

Terkini