JAKARTA - Harga minyak mentah dunia kembali bergerak melemah di pasar Asia, menandai penurunan bulanan ketiga berturut-turut.
Kondisi ini mencerminkan tekanan ganda yang dialami pasar energi global, di mana penguatan dolar Amerika Serikat (AS) dan peningkatan pasokan minyak dari negara-negara produsen utama menjadi faktor utama yang menahan laju kenaikan harga komoditas tersebut.
Harga minyak mentah berjangka Brent tercatat turun 33 sen atau sekitar 0,51 persen menjadi 64,67 dolar AS per barel.
Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat melemah sebesar 35 sen atau 0,58 persen ke posisi 60,22 dolar AS per barel. Penurunan ini menambah tren negatif dalam perdagangan minyak selama beberapa bulan terakhir.
Analis dari ANZ menyebutkan, penguatan dolar AS menjadi faktor penting yang membatasi pergerakan harga minyak dan komoditas lain. “Penguatan dolar AS membebani minat investor di seluruh kompleks komoditas,” tulis analis ANZ dalam catatan pasar terbaru mereka.
Dolar yang lebih kuat membuat harga minyak menjadi relatif lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya, sehingga mengurangi permintaan dari investor global.
Selain itu, komentar Ketua Federal Reserve Jerome Powell yang menyatakan bahwa penurunan suku bunga pada Desember belum dapat dijamin, turut memperkuat dolar dan menambah tekanan terhadap pasar minyak.
Dalam kondisi seperti ini, baik Brent maupun WTI diperkirakan akan turun sekitar tiga persen sepanjang Oktober karena peningkatan pasokan diperkirakan akan melampaui pertumbuhan permintaan global.
Pasokan yang Melimpah Jadi Tantangan Utama
Faktor lain yang memperdalam pelemahan harga minyak adalah meningkatnya pasokan dari para produsen besar dunia.
Negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan mitra non-OPEC diketahui terus menambah produksi untuk mempertahankan pangsa pasar mereka di tengah ketatnya persaingan global.
Peningkatan pasokan ini dipandang mampu meredam dampak sanksi Barat terhadap ekspor minyak Rusia, yang selama ini menjadi salah satu penyuplai utama bagi negara-negara seperti Tiongkok dan India.
Langkah OPEC dan sekutunya tersebut membuat keseimbangan antara permintaan dan pasokan menjadi semakin longgar, sehingga harga minyak cenderung berada di bawah tekanan.
Menurut sejumlah sumber yang mengetahui pembicaraan internal, OPEC+ diperkirakan akan kembali meningkatkan produksi secara moderat pada Desember mendatang. Langkah ini sejalan dengan strategi kelompok tersebut untuk menjaga stabilitas harga sekaligus mengamankan pangsa pasar di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Kedelapan anggota OPEC+ bahkan telah menambah target produksi secara kumulatif hingga mencapai lebih dari 2,7 juta barel per hari, atau sekitar 2,5 persen dari total pasokan minyak dunia. Peningkatan tersebut dilakukan dalam serangkaian kebijakan bulanan yang bertujuan menyesuaikan pasokan dengan kondisi pasar yang dinamis.
Arab Saudi dan Rusia Tetap Jadi Pemain Kunci
Arab Saudi, sebagai eksportir minyak terbesar di dunia, terus menunjukkan pengaruh kuatnya dalam menentukan arah pasar. Berdasarkan data dari Joint Organizations Data Initiative (JODI), ekspor minyak mentah dari negara tersebut telah mencapai level tertinggi dalam enam bulan terakhir, yakni sekitar 6,407 juta barel per hari.
Tren kenaikan ekspor ini diperkirakan akan berlanjut, seiring dengan langkah Riyadh menjaga kestabilan pasar sekaligus memperkuat posisinya di kancah perdagangan energi global.
Sementara itu, Rusia meskipun masih menghadapi tekanan akibat sanksi Barat, tetap berupaya mempertahankan volume ekspor minyaknya.
Negara ini memanfaatkan jalur distribusi alternatif ke negara-negara Asia, terutama Tiongkok dan India, untuk mengimbangi penurunan permintaan dari pasar Barat. Upaya tersebut menjadikan Rusia tetap relevan dalam peta suplai energi dunia, meski di tengah hambatan geopolitik yang terus berlanjut.
Situasi ini secara keseluruhan menciptakan kondisi pasokan yang lebih besar dari permintaan, yang pada akhirnya menekan harga di pasar global. Bagi negara-negara importir, penurunan harga minyak memberikan keuntungan jangka pendek karena mengurangi beban biaya energi.
Namun bagi negara produsen, kondisi ini menjadi tantangan tersendiri dalam menjaga stabilitas ekonomi domestik yang sangat bergantung pada ekspor energi.
Prospek Pasar Energi ke Depan
Ke depan, pasar minyak diperkirakan masih akan menghadapi tekanan dari sisi pasokan dan kebijakan moneter global. Para analis memperkirakan bahwa jika dolar AS tetap kuat dan produksi OPEC+ terus meningkat, maka harga minyak berpotensi bertahan pada kisaran rendah dalam beberapa bulan mendatang.
Meski demikian, sebagian pihak optimistis bahwa permintaan energi dapat kembali pulih seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi di sejumlah negara Asia dan Eropa.
Pemulihan industri dan mobilitas masyarakat dipandang dapat memberikan dukungan bagi pasar minyak, meski efeknya mungkin tidak langsung terasa dalam waktu dekat.
Dengan kondisi tersebut, keseimbangan antara produksi dan permintaan global akan menjadi faktor penentu utama dalam menjaga stabilitas harga minyak dunia.
Pemerintah dan pelaku industri energi di berbagai negara kini dituntut untuk menyesuaikan strategi mereka agar mampu bertahan di tengah fluktuasi pasar yang semakin dinamis dan tidak menentu.