Pemerintah Dorong Pembangunan PLTS 100 GW untuk Wujudkan Visi Energi Bersih

Rabu, 29 Oktober 2025 | 10:11:05 WIB
Pemerintah Dorong Pembangunan PLTS 100 GW untuk Wujudkan Visi Energi Bersih

JAKARTA - Upaya menuju transisi energi bersih di Indonesia memasuki babak baru dengan dicanangkannya program pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 100 gigawatt (GW) oleh Presiden Prabowo Subianto. 

Program ambisius ini diproyeksikan menjadi langkah strategis yang dapat mempercepat pencapaian puncak emisi sektor kelistrikan nasional pada 2030, atau bahkan lebih cepat.

Laporan dari lembaga riset energi bersih internasional menilai bahwa langkah Indonesia dalam mengembangkan energi surya berskala besar menjadi kunci untuk menekan ketergantungan pada batu bara, sejalan dengan tren global yang kini bergerak ke arah energi hijau. 

Bersama China dan India, Indonesia disebut sebagai salah satu negara dengan konsumsi batu bara tertinggi di dunia, namun juga berpotensi menjadi pemain penting dalam menekan krisis iklim melalui proyek energi bersih.

Dalam program ini, pemerintah menargetkan pembangunan PLTS 80 GW yang dilengkapi sistem penyimpanan baterai berkapasitas 320 gigawatt hours (GWh) di 80.000 desa. Sementara itu, sekitar 20 GW lainnya akan difokuskan pada proyek-proyek energi surya skala besar di berbagai wilayah strategis. 

Program ini diharapkan tidak hanya meningkatkan bauran energi terbarukan nasional, tetapi juga menciptakan lapangan kerja, memperluas elektrifikasi desa, dan memperkuat daya saing ekonomi nasional berbasis energi hijau.

Tantangan Implementasi dan Kebutuhan Peta Jalan Konkret

Meski memiliki potensi besar, para pengamat menilai keberhasilan program PLTS 100 GW bergantung pada kejelasan peta jalan dan kebijakan pelaksanaannya. 

Menurut Analis CREA, Katherine Hasan, peluang bagi Indonesia untuk mencapai puncak emisi pembangkit listrik berbasis batu bara akan terbuka lebar apabila visi Presiden Prabowo diterjemahkan ke dalam strategi dan perencanaan konkret yang memastikan energi bersih menjadi prioritas utama.

“Program 100 GW energi surya Presiden Prabowo menjadi peluang bagi Indonesia untuk mencapai puncak emisi pembangkit listrik berbahan bakar batu bara pada 2030. Namun, peluang ini baru akan ada ketika visi Presiden diterjemahkan dalam peta jalan yang konkret di mana energi bersih mendominasi tambahan kapasitas listrik,” ujarnya.

Namun, kondisi saat ini menunjukkan bahwa dokumen perencanaan energi nasional seperti Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2030 masih menitikberatkan pada energi fosil, termasuk batu bara dan gas, dengan tambahan kapasitas mencapai 16,6 GW. 

Sementara pertumbuhan energi terbarukan masih tertinggal jauh dari target yang dicanangkan, sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk menyesuaikan arah kebijakan dengan visi energi bersih nasional.

Konsistensi Kebijakan dan Penyesuaian Strategi Nasional

Tantangan lain muncul pada tingkat perumusan kebijakan, di mana dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia yang terbaru dinilai belum mencerminkan visi besar Presiden Prabowo terhadap energi bersih. 

Dalam dokumen tersebut, target bauran energi terbarukan masih berada di kisaran yang sama seperti tahun sebelumnya, dan belum mencantumkan komitmen tegas terhadap penghentian pembangkit listrik berbasis batu bara.

“Visi Presiden Prabowo tentang 100 GW energi surya dan 100% energi terbarukan pada 2035 terlihat tidak diselaraskan dalam perencanaan nasional. Padahal, komitmen untuk mendorong penyebaran energi bersih secara pesat dan peralihan dari pembangkit berbasis fosil, khususnya armada pembangkit listrik berbasis batu bara, seharusnya direfleksikan dalam dokumen SNDC Indonesia. Kementerian teknis terlihat enggan menyesuaikan, dan malah tetap berpegang pada agenda lama sehingga melemahkan visi Presiden serta komitmen iklim Indonesia,” ujar Katherine.

Ketidaksinkronan antara visi nasional dan kebijakan teknis ini menandakan pentingnya koordinasi lintas lembaga agar arah pembangunan energi terbarukan dapat berjalan efektif. 

Pemerintah perlu memperkuat perencanaan dengan memastikan bahwa seluruh kebijakan turunan, baik di tingkat kementerian maupun daerah, benar-benar mendukung peralihan menuju energi bersih.

Tata Kelola dan Transparansi Pelaksanaan Program

Selain aspek kebijakan, perhatian juga tertuju pada tata kelola proyek tingkat desa yang menjadi bagian penting dalam realisasi 80 GW PLTS. Skema pengelolaan melalui Koperasi Desa Merah Putih dinilai dapat memberdayakan masyarakat lokal, namun tetap memiliki risiko jika tidak diawasi dengan ketat.

Menurut CREA, potensi masalah dapat muncul terkait dengan pinjaman skala besar, konflik kepentingan, hingga lemahnya tata kelola yang bisa menghambat pelaksanaan program. 

Oleh karena itu, transparansi dan pengawasan yang kuat menjadi prasyarat utama agar pelaksanaan program berjalan sesuai prinsip keberlanjutan dan akuntabilitas publik. Program energi surya 100 GW ini menjadi simbol komitmen baru Indonesia dalam mewujudkan masa depan energi bersih. 

Dengan dukungan kebijakan yang solid, tata kelola yang transparan, serta kolaborasi antara pemerintah, lembaga riset, dan masyarakat, visi energi hijau yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto berpotensi mengantarkan Indonesia menuju kemandirian energi dan ketahanan lingkungan yang berkelanjutan.

Terkini