JAKARTA - Menjelang berakhirnya masa insentif impor utuh (CBU) kendaraan listrik murni, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tetap menaruh keyakinan tinggi terhadap prospek pembiayaan kendaraan listrik hingga akhir 2025.
Keyakinan itu muncul di tengah kekhawatiran sebagian pihak bahwa berakhirnya insentif akan menekan minat konsumen dan menghambat laju pertumbuhan penjualan mobil listrik di Indonesia.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, Agusman, menegaskan bahwa data pembiayaan per Agustus 2025 menunjukkan tren positif.
Menurutnya, peningkatan tersebut menjadi sinyal kuat bahwa transisi menuju kendaraan ramah lingkungan terus mendapat sambutan baik di pasar domestik, meski dukungan fiskal pemerintah berangsur dikurangi.
Pertumbuhan Pembiayaan Masih Solid di Tengah Akhirnya Insentif
Agusman mengungkapkan bahwa hingga Agustus 2025, total outstanding pembiayaan kendaraan listrik tercatat mencapai Rp19,45 triliun, naik 5,19% secara month-to-month (MtM). Angka tersebut setara dengan 3,65% dari total pembiayaan di industri multifinance nasional.
“Pembiayaan kendaraan listrik pada Agustus 2025 meningkat 5,19% MtM menjadi 19,45 triliun,” ujarnya dalam jawaban tertulis pada Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK bulan September.
Kenaikan tersebut menunjukkan bahwa permintaan kendaraan listrik masih solid, terutama menjelang penghentian insentif impor. Menurut Agusman, masyarakat cenderung mempercepat pembelian kendaraan listrik untuk memanfaatkan insentif terakhir yang berlaku sebelum tenggat waktu berakhir.
“Sebab itu, permintaan kendaraan listrik diperkirakan tetap meningkat menjelang berakhirnya insentif, sehingga dapat mendorong kinerja pembiayaan kendaraan listrik hingga akhir tahun 2025,” tegasnya.
Produsen Didorong Bangun Pabrik di Dalam Negeri
Sementara itu, Presiden Direktur PT CIMB Niaga Auto Finance (CNAF), Ristiawan Suherman, menilai bahwa penghentian insentif impor kendaraan listrik justru berdampak positif terhadap perekonomian nasional.
Menurutnya, kebijakan tersebut akan mendorong para produsen global untuk berinvestasi langsung di Indonesia dengan membangun fasilitas perakitan atau produksi baterai kendaraan listrik di dalam negeri.
“Penghentian insentif ini bisa mendukung pertumbuhan ekonomi nasional karena produsen diharapkan membangun pabrik di Indonesia,” jelas Ristiawan.
Namun demikian, ia mengakui bahwa langkah ini juga memiliki potensi dampak jangka pendek terhadap pasar, terutama bagi segmen konsumen yang sensitif terhadap harga.
Meski begitu, CNAF tetap optimistis bahwa pertumbuhan pembiayaan kendaraan listrik akan berlanjut, didorong oleh perubahan perilaku masyarakat dan dukungan pemerintah terhadap ekosistem ramah lingkungan.
“CNAF meyakini karakteristik masyarakat saat ini yang telah mulai memikirkan efisiensi dan keberlanjutan serta upaya pemerintah dalam membangun ekosistem kendaraan ramah lingkungan di Indonesia,” ujarnya.
Kinerja CNAF: Lonjakan Pembiayaan Kendaraan Listrik 96%
Optimisme CNAF tidak datang tanpa dasar. Data menunjukkan bahwa hingga Agustus 2025, CNAF telah menyalurkan pembiayaan baru untuk kendaraan listrik sebesar Rp842 miliar, naik hampir dua kali lipat (96%) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya Rp430 miliar.
Pertumbuhan ini mencerminkan minat konsumen yang terus meningkat terhadap kendaraan listrik, terutama dari kalangan menengah perkotaan yang mulai memperhitungkan efisiensi energi dan biaya operasional jangka panjang.
Selain itu, lonjakan pembiayaan ini juga menunjukkan pergeseran perilaku konsumen yang sebelumnya cenderung membeli mobil listrik secara tunai, kini mulai memanfaatkan layanan pembiayaan dari multifinance untuk mengelola pengeluaran secara lebih efisien.
Pandangan Pengamat: Saatnya Industri Berkontribusi Lewat Produksi Lokal
Di sisi lain, praktisi sekaligus pengamat industri pembiayaan, Jodjana Jody, memandang penghentian insentif impor kendaraan listrik sebagai langkah yang tepat dan strategis.
Menurutnya, kebijakan ini menjadi momentum bagi para importir dan produsen yang selama dua tahun menikmati fasilitas tersebut untuk berkontribusi langsung melalui kegiatan perakitan dan produksi kendaraan listrik di dalam negeri.
“Penghentian insentif ini bagus karena kini saatnya importer yang selama dua tahun menerima fasilitas memberikan kontribusi melalui perakitan BEV di dalam negeri,” ujarnya.
Meski begitu, Jodjana menilai bahwa insentif fiskal yang diberikan selama ini belum sepenuhnya berdampak signifikan terhadap pembiayaan kendaraan listrik.
Hal ini dikarenakan sebagian besar pembeli mobil listrik masih berasal dari kalangan menengah atas yang membeli kendaraan tersebut sebagai mobil tambahan (additional cars) dan cenderung melakukan pembelian secara tunai.
“Multifinance selama ini belum tergantung mobil listrik. Komposisi mobil non-BEV masih 90% lebih dan bila BEV hanya 10% serta mayoritas masih pakai pembayaran tunai, maka terlihat industri pembiayaan masih mengandalkan segmen tradisional,” jelasnya.
Ekosistem Pembiayaan Masih Bertumpu pada Mobil Konvensional
Fakta bahwa pembiayaan mobil listrik masih relatif kecil menunjukkan bahwa industri multifinance masih dalam tahap awal transisi menuju ekosistem hijau.
Sebagian besar portofolio pembiayaan masih didominasi oleh mobil berbahan bakar konvensional, yang mencapai lebih dari 90% dari total pembiayaan kendaraan.
Namun, OJK menilai bahwa perubahan perilaku konsumen ke arah kendaraan hemat energi dan ramah lingkungan hanyalah masalah waktu.
Apalagi, pemerintah terus memperkuat regulasi dan insentif non-fiskal seperti pembangunan infrastruktur pengisian daya, ketersediaan suku cadang, hingga integrasi ekosistem kendaraan listrik nasional.
Arah ke Depan: Dorongan Berkelanjutan untuk Industri Hijau
Ke depan, OJK bersama pemerintah berkomitmen untuk menjaga momentum pertumbuhan kendaraan listrik dengan memperkuat koordinasi antara lembaga keuangan, industri otomotif, dan regulator energi.
Meski insentif fiskal berakhir, OJK yakin bahwa landasan ekosistem sudah cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan.
Dengan dukungan lembaga pembiayaan yang semakin adaptif dan masyarakat yang mulai memahami manfaat jangka panjang kendaraan listrik, sektor pembiayaan diyakini akan tetap tumbuh positif sepanjang 2025 hingga tahun-tahun berikutnya.
Langkah ini menjadi bagian dari upaya besar menuju transformasi ekonomi hijau nasional, di mana pembiayaan berperan sebagai katalis penting untuk mempercepat adopsi kendaraan ramah lingkungan di Indonesia.
Kesimpulan: Insentif Berakhir, Optimisme Tetap Menyala
Berakhirnya insentif impor kendaraan listrik memang menjadi babak baru bagi industri otomotif nasional. Namun, bagi OJK dan para pelaku industri pembiayaan, hal ini bukan akhir dari pertumbuhan, melainkan awal dari kemandirian ekosistem kendaraan listrik Indonesia.
Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan keberlanjutan, serta komitmen regulator dan lembaga pembiayaan dalam mendukung inovasi hijau, pembiayaan kendaraan listrik diprediksi akan tetap tumbuh stabil hingga akhir 2025 bahkan tanpa dukungan insentif impor yang selama ini menjadi pendorong utama.