The Fed Siap Pangkas Suku Bunga, AS Dibayangi Shutdown

Kamis, 16 Oktober 2025 | 12:37:39 WIB
The Fed Siap Pangkas Suku Bunga, AS Dibayangi Shutdown

JAKARTA - Optimisme pasar terhadap pemangkasan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) semakin menguat. 

Namun, langkah yang diharapkan dapat menjaga momentum ekonomi itu kini terganjal oleh penutupan sebagian pemerintahan (government shutdown) yang belum juga menemukan jalan keluar. 

Ketidakpastian politik yang berkepanjangan berisiko menutupi dampak positif dari kebijakan moneter longgar yang tengah dinantikan pelaku pasar global.

Dalam pidatonya di forum tahunan National Association for Business Economics (NABE), Ketua The Fed Jerome Powell menyampaikan bahwa prospek ekonomi AS tidak banyak berubah sejak pertemuan FOMC September lalu. 

Saat itu, The Fed menurunkan suku bunga acuan dan memberi sinyal masih akan ada dua kali pemangkasan tambahan hingga akhir 2025. Powell menegaskan adanya tanda-tanda perlambatan di pasar tenaga kerja yang patut diwaspadai.

“Jika lowongan pekerjaan terus menurun, dampaknya bisa terlihat pada peningkatan tingkat pengangguran. Kita telah mengalami masa yang luar biasa dengan penurunan tajam tingkat pengangguran, tetapi kemungkinan besar kita akan segera mencapai titik di mana angka tersebut mulai naik,” ujarnya dikutip dari Bloomberg.

Meski komentar tersebut menyoroti potensi pelemahan, ekspektasi pasar tetap kokoh. Investor memperkirakan peluang hampir 100% bahwa The Fed akan kembali memangkas suku bunga pada pertemuan FOMC bulan ini.

“Pemangkasan suku bunga pada Oktober sudah bisa dipastikan,” kata Julia Coronado, pendiri MacroPolicy Perspectives sekaligus mantan ekonom The Fed.

Menurutnya, risiko perlambatan di pasar tenaga kerja masih cukup besar, sehingga arah kebijakan dovish tetap relevan dalam menjaga stabilitas ekonomi jangka menengah.

Beige Book Ungkap Perlambatan, The Fed Makin Hati-Hati

Keyakinan pasar turut diperkuat oleh laporan Beige Book The Fed yang dirilis Rabu 15 Oktober waktu setempat. Dokumen tersebut menunjukkan belanja konsumen mulai melambat, tekanan harga masih bertahan, dan beberapa distrik mencatat kenaikan biaya input yang lebih cepat dibandingkan periode sebelumnya.

“Kenaikan biaya input akibat tarif dilaporkan terjadi di banyak distrik, tetapi penyesuaian terhadap harga jual akhir bervariasi,” tulis The Fed dalam laporan yang dikutip Bloomberg.

Sejumlah pelaku usaha memilih menahan harga agar tetap kompetitif, sementara sebagian lainnya meneruskan kenaikan biaya impor ke konsumen.

Dari 12 distrik The Fed, tiga mencatat pertumbuhan ringan hingga moderat, lima tidak mengalami perubahan, dan empat lainnya justru menunjukkan sedikit pelemahan. Namun, laporan ini kini menjadi semakin krusial di tengah terbatasnya data resmi akibat shutdown. 

Karena penutupan sebagian pemerintahan membatasi aktivitas lembaga statistik, Beige Book menjadi salah satu sumber utama bagi pengambil kebijakan dalam menilai kondisi ekonomi terkini.

Shutdown Ganggu Rilis Data dan Akurasi Statistik Nasional

Penutupan pemerintahan yang telah berlangsung sejak awal Oktober membawa dampak serius pada akurasi data ekonomi AS. Pengumpulan data inflasi nasional atau Consumer Price Index (CPI) kini terhenti, sehingga publikasi data resmi untuk Oktober berpotensi tertunda.

Meski Biro Statistik Tenaga Kerja AS (BLS) sempat dipanggil secara terbatas untuk menyelesaikan laporan CPI September, lembaga tersebut tidak lagi bisa mengumpulkan data harga baru sejak shutdown dimulai.

“Mulai sekarang, akurasi datanya akan menurun. Memasuki minggu ketiga, kualitas datanya bisa sangat buruk — atau bahkan tidak ada sama sekali,” ujar Omair Sharif, Presiden Inflation Insights LLC.

Proses pengumpulan CPI bergantung pada survei terhadap sekitar 80.000 item di seluruh AS. Dengan tenaga terbatas, BLS kini lebih bergantung pada imputasi atau perkiraan data, bukan hasil observasi langsung.

“Mereka tidak bisa kembali ke masa lalu, jadi imputasi akan lebih banyak digunakan,” ungkap Erica Groshen, mantan Komisioner BLS yang juga menjabat saat shutdown 2013.

Keterlambatan ini berpotensi mengganggu analisis inflasi dan kebijakan moneter, mengingat data CPI menjadi dasar utama dalam pengambilan keputusan The Fed.

Biaya Ekonomi Shutdown Meningkat, Risiko Resesi Meningkat

Dampak ekonomi dari kebuntuan politik ini semakin nyata. Menteri Keuangan AS Scott Bessent memperkirakan, shutdown yang telah memasuki pekan kedua menyebabkan kerugian hingga US$15 miliar (sekitar Rp248 triliun) per hari bagi perekonomian Amerika Serikat.

“Kebuntuan politik di Kongres mulai menggerus otot-otot ekonomi AS,” kata Bessent dalam konferensi pers di Washington, dikutip dari Reuters.

Ia menyerukan agar Partai Demokrat dan Republik segera mencapai kesepakatan anggaran, karena kebuntuan ini tidak hanya mengganggu layanan publik, tetapi juga menunda publikasi data ekonomi penting yang dibutuhkan investor dan pembuat kebijakan.

Bessent menilai, fundamental ekonomi AS sejatinya masih kuat, terutama berkat arus investasi besar di sektor kecerdasan buatan (AI) serta kebijakan propertumbuhan dari pemerintahan Trump.

“Permintaan di sektor riil sangat kuat. Satu-satunya hal yang memperlambat ekonomi saat ini adalah shutdown,” ujarnya.

Meski demikian, jika penutupan ini terus berlanjut hingga akhir bulan, efek domino terhadap konsumsi rumah tangga dan produktivitas diperkirakan akan semakin besar.

Harapan dari Kebijakan Pajak dan Investasi Teknologi

Di tengah ketidakpastian fiskal dan politik, Bessent masih optimistis terhadap prospek jangka panjang ekonomi Amerika. Ia menilai insentif pajak dan kebijakan tarif baru akan mampu menjaga momentum investasi dan memperkuat pertumbuhan.

“Kita bisa memasuki periode seperti akhir 1800-an saat rel kereta berkembang, atau seperti 1990-an ketika teknologi internet mendorong ekonomi,” tuturnya.

Dengan potensi pemangkasan suku bunga oleh The Fed dan kebijakan fiskal yang mendukung investasi, sebagian analis menilai bahwa risiko resesi masih bisa dihindari — asalkan kebuntuan anggaran segera diselesaikan.

Namun, jika shutdown terus berlangsung tanpa kepastian, efek sinergis antara kebijakan moneter dan fiskal bisa melemah, menunda pemulihan ekonomi yang tengah dirintis The Fed.

Outlook Pasar: Harapan Masih Ada, Tapi Waktu Terbatas

Kombinasi antara sinyal dovish The Fed dan gangguan fiskal akibat shutdown menempatkan ekonomi AS pada titik keseimbangan yang rapuh. Investor kini dihadapkan pada paradoks: di satu sisi ada peluang pelonggaran moneter, namun di sisi lain muncul risiko perlambatan ekonomi akibat kebuntuan politik.

Pasar keuangan global pun terus mencermati arah kebijakan The Fed dan dinamika di Washington. Jika pemangkasan suku bunga benar terjadi pada Oktober dan shutdown segera berakhir, momentum pemulihan ekonomi AS berpotensi berlanjut hingga akhir tahun.

Sebaliknya, jika kebuntuan politik semakin dalam, hilal rate cut yang diharapkan pasar bisa tertutup oleh awan gelap ketidakpastian fiskal.

Terkini