AS Tawarkan Perpanjangan Jeda Tarif Demi Redam Ketegangan Dagang

Kamis, 16 Oktober 2025 | 12:37:38 WIB
AS Tawarkan Perpanjangan Jeda Tarif Demi Redam Ketegangan Dagang

JAKARTA - Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas. Namun di tengah rivalitas dua ekonomi terbesar dunia itu, Washington tampaknya berupaya membuka ruang kompromi. 

Pemerintah AS dikabarkan menawarkan perpanjangan jeda tarif impor terhadap produk China, sebagai imbalan agar Beijing menahan rencana pembatasan ekspor logam tanah jarang (rare earth) — bahan penting dalam industri teknologi tinggi global.

Langkah ini menjadi sinyal bahwa meskipun tensi politik meningkat, kedua negara masih mencari jalan tengah demi menjaga kestabilan rantai pasok dunia.

 “Apakah mungkin kita memperpanjang penangguhan tarif sebagai imbalan? Mungkin saja. Namun hal itu akan dibahas dalam beberapa minggu ke depan,” ujar Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, dalam konferensi pers.

Upaya Mencegah Gangguan Rantai Pasok

Bessent menjelaskan, Washington menimbang opsi diplomatik agar kebijakan ekspor China tidak memperparah kondisi ekonomi global.

 Hal senada juga disampaikan oleh Perwakilan Dagang AS (USTR), Jamieson Greer, yang menilai pembatasan ekspor logam tanah jarang oleh Beijing “tidak masuk akal” dan akan menimbulkan kekacauan di berbagai industri yang bergantung pada bahan tersebut.

“Skalanya tidak masuk akal dan mustahil dijalankan,” ujar Greer. Ia menegaskan, pembatasan semacam itu bisa memutus rantai pasok produk-produk konsumen yang mengandung sedikit saja unsur rare earth.

Bessent menambahkan, AS bersama negara sekutu akan menyiapkan langkah bersama sebagai antisipasi jika China tetap melanjutkan kebijakan pembatasan ekspor. “Birokrat di Beijing tidak bisa mengendalikan rantai pasok dunia,” tegasnya dalam forum yang diselenggarakan CNBC di Washington.

Menurut Bessent, seluruh mitra ekonomi utama AS — termasuk Eropa, Australia, Kanada, India, dan negara-negara demokrasi Asia — akan hadir di Washington pekan ini dalam rangka pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia. Kesempatan itu akan dimanfaatkan AS untuk menggalang dukungan internasional dalam menekan Beijing.

Diplomasi di Tengah Ancaman Perang Dagang

Langkah kompromi yang ditawarkan AS muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran pasar terhadap potensi pecahnya kembali perang dagang penuh antara dua raksasa ekonomi global itu. 

Sejak awal tahun, kedua negara menyepakati jeda tarif impor selama 90 hari, dengan bea masuk mencapai 145%. Namun masa berlaku kesepakatan tersebut akan berakhir pada November mendatang.

Pemerintahan Presiden Donald Trump kini berupaya menyeimbangkan strategi antara insentif dan tekanan. Tujuannya jelas — mencegah Beijing menerapkan kebijakan ekspor baru yang dianggap bisa mengancam industri manufaktur AS.

China sebelumnya mengumumkan aturan baru yang mewajibkan perusahaan asing memperoleh izin ekspor untuk produk yang mengandung unsur rare earth asal negeri tersebut. Aturan ini dipandang Washington sebagai bentuk pembalasan terselubung terhadap kebijakan tarif AS.

Trump pun bereaksi keras. Ia mengancam akan menaikkan tarif hingga 100% terhadap produk China mulai 1 November mendatang, bahkan mempertimbangkan untuk membatalkan pertemuannya dengan Presiden Xi Jinping, serta menutup perdagangan minyak goreng — salah satu bahan utama dalam produksi biofuel.

Meski demikian, Bessent menegaskan bahwa Trump masih berencana bertemu dengan Xi di Korea Selatan pada akhir bulan ini. Ia juga membuka kemungkinan dirinya akan melakukan kunjungan pendahuluan ke Asia untuk bertemu Wakil Perdana Menteri China He Lifeng.

“Selama kunjungan itu, saya memperkirakan akan ada sejumlah pengumuman kerja sama perdagangan baru,” ungkap Bessent. Trump sendiri dijadwalkan menghadiri KTT ASEAN di Malaysia, sebelum melanjutkan perjalanan ke Jepang dan Korea Selatan untuk KTT APEC.

Tekanan Pasar Tak Pengaruhi Sikap AS

Bessent menepis anggapan bahwa pelemahan bursa saham AS menjadi alasan Washington melunakkan posisi tawar dalam negosiasi dagang.

Menurutnya, pergerakan pasar jangka pendek tidak akan memengaruhi kebijakan strategis pemerintah. “AS tidak akan berunding hanya karena pasar saham turun,” ujarnya menegaskan. 

Ia juga menolak pandangan bahwa kenaikan harga emas belakangan ini menandakan melemahnya kepercayaan terhadap dolar AS. 

Bessent menilai, justru suku bunga di AS telah menurun lebih dalam dibandingkan negara lain, sementara kawasan Eropa berpotensi memperkuat nilai euro karena ekspansi fiskal yang lebih agresif.

“Fundamental dolar tetap kuat. Saya tidak melihat alasan untuk panik terhadap pasar emas,” tambahnya.

Kritik Tajam terhadap Pejabat China

Dalam kesempatan yang sama, Bessent melontarkan kritik keras terhadap Wakil Menteri Perdagangan China, Li Chenggang, yang menurutnya bertindak “di luar batas diplomasi” saat kunjungan ke Washington pada Agustus lalu.

“Pejabat itu sangat tidak sopan, bahkan saya bisa bilang dia bertindak di luar kendali,” kata Bessent. Ia mengungkapkan bahwa Li sempat mengancam akan menimbulkan kekacauan global apabila AS menerapkan biaya pelabuhan untuk kapal-kapal asal China.

Bessent menilai ancaman semacam itu hanya akan memperburuk hubungan kedua negara dan mempercepat tren pemisahan ekonomi global (decoupling) yang sebenarnya tidak diinginkan siapa pun. 

“Jika China ingin menjadi mitra global yang tidak dapat diandalkan, maka dunia akan terpaksa melakukan pemisahan ekonomi. Padahal dunia tidak ingin decoupling — kita hanya ingin mengurangi risiko (de-risking),” tegasnya.

Menurut Bessent, dunia internasional kini berada di persimpangan antara kerja sama ekonomi dan rivalitas strategis. Setiap keputusan yang diambil Beijing maupun Washington dalam beberapa bulan ke depan akan menentukan arah hubungan ekonomi global di masa depan.

“Masalah ini bukan hanya tentang tarif atau ekspor, tapi soal stabilitas sistem perdagangan dunia,” tutupnya.

Terkini