Antara Dorongan Daya Beli dan Efisiensi Pajak, Purbaya Pertimbangkan Opsi Penurunan PPN

Kamis, 16 Oktober 2025 | 12:37:37 WIB
Antara Dorongan Daya Beli dan Efisiensi Pajak, Purbaya Pertimbangkan Opsi Penurunan PPN

JAKARTA - Kementerian Keuangan tengah menghadapi dilema strategis: apakah menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk mendorong konsumsi masyarakat, atau fokus membenahi administrasi perpajakan agar penerimaan negara lebih efisien? Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengakui bahwa kedua langkah itu sama pentingnya — satu sisi menenangkan publik, sisi lain memperkuat fondasi fiskal negara.

Dalam sejumlah kesempatan, Purbaya membuka kemungkinan adanya penurunan tarif PPN, yang diharapkan dapat membantu menjaga daya beli masyarakat di tengah tekanan ekonomi. “Kita harus lihat kondisi ekonomi sampai Maret 2026. Dari sana kita bisa tentukan arah kebijakan yang tepat,” ujarnya.

 Ia menambahkan, stimulus moneter senilai Rp200 triliun yang disalurkan melalui bank Himbara belum cukup untuk mengerek konsumsi masyarakat. Namun di balik wacana penurunan tarif tersebut, pemerintah juga menghadapi pekerjaan rumah besar: pembenahan administrasi PPN. 

Tanpa reformasi mendalam, kebijakan populis seperti penurunan tarif berisiko menekan pendapatan negara dan memperlebar defisit APBN di atas batas 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Tarif PPN dan Dinamika Regulasi

Kebijakan PPN sejatinya telah beberapa kali mengalami penyesuaian. Pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022, sebagai amanat dari Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). 

Undang-undang itu juga menetapkan kenaikan lanjutan menjadi 12% pada 2025, meski akhirnya ditunda karena penolakan publik yang cukup kuat.

Kini, Purbaya menegaskan arah kebijakan fiskal tidak bisa tergesa-gesa. “Setelah triwulan pertama tahun depan, saya akan bisa lihat seperti apa respons sistem terhadap perubahan kebijakan fiskal. 

Kalau mau kita dorong, kita dorong di sebelah mana,” ujarnya. Pernyataan itu menandakan bahwa keputusan menurunkan tarif PPN bukan semata keputusan politik, melainkan hasil evaluasi menyeluruh terhadap stabilitas ekonomi nasional.

Rumitnya Administrasi PPN Indonesia

Meski tarif PPN sudah dinaikkan, realisasi penerimaannya masih belum optimal. Administrasi PPN Indonesia tergolong rumit, karena banyaknya kebijakan pembebasan pajak (tax exemption) yang melemahkan efektivitas sistem.

Pada 2024, penerimaan PPN tercatat Rp828,5 triliun, hanya sekitar 6,9% dari total konsumsi rumah tangga sebesar Rp11.964,9 triliun. Secara teoritis, dengan tarif 11%, penerimaan seharusnya bisa mencapai Rp1.316 triliun. 

Artinya, pemerintah hanya berhasil mengumpulkan 62,9% dari potensi PPN — jauh di bawah benchmark ideal negara lain yang mencapai sekitar 70%.

Kinerja pemungutan PPN yang belum maksimal ini disebabkan oleh banyaknya insentif dan stimulus yang dikeluarkan pemerintah. Ironisnya, berbagai insentif tersebut tidak memberikan dorongan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, yang selama beberapa tahun terakhir stagnan di kisaran 5%.

Insentif Pajak yang Terlalu Royal

Pemerintah tercatat masih sangat “royal” dalam memberikan keringanan fiskal. Belanja perpajakan (tax expenditure) untuk aktivitas konsumsi mendominasi struktur anggaran dalam lima tahun terakhir, dengan nilai mencapai Rp371,9 triliun atau 65,9% dari total belanja perpajakan tahun depan yang diproyeksikan Rp563,6 triliun.

Sementara itu, belanja perpajakan untuk Pajak Penghasilan (PPh) dalam RAPBN 2026 naik menjadi Rp160,1 triliun, dari Rp150,3 triliun pada 2025.

 Adapun bea masuk dan cukai justru menurun dari Rp36,2 triliun menjadi Rp31,1 triliun. Untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) P5L, alokasinya tetap tipis di kisaran Rp0,1 triliun.

Kondisi ini memperlihatkan adanya beban kebijakan fiskal yang berat. Pemerintah berusaha menyeimbangkan antara menjaga konsumsi publik dan memastikan keberlanjutan penerimaan negara.

Kinerja Pajak 2025 Masih Tertekan

Berdasarkan laporan terbaru, penerimaan pajak hingga September 2025 mencapai Rp1.295,3 triliun, turun 4,4% (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp1.354,9 triliun.

 Artinya, pemerintah masih membutuhkan tambahan setoran Rp781,6 triliun untuk menutup target penerimaan pajak tahun ini sebesar Rp2.076,9 triliun.

Secara keseluruhan, pendapatan negara hingga 30 September 2025 tercatat Rp1.863,3 triliun, menurun 7,2% dari tahun sebelumnya. Realisasi ini baru mencapai 65% dari target outlook Rp2.865,5 triliun.

“Lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu, terutama akibat penurunan harga migas dan tambang,” ujar Menkeu Purbaya di Gedung Kemenkeu, Jakarta.

Rinciannya, penerimaan perpajakan September 2025 mencapai Rp1.516,6 triliun atau 63,5% dari outlook, turun 2,9% dari tahun lalu. Penerimaan PPN dan PPnBM masih mencatat kontraksi 3,2% (yoy) dengan nilai Rp702,2 triliun hingga 20 September 2025.

Pemerintah Harap Restitusi Pajak Dorong Ekonomi

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebut penerimaan pajak bruto per September 2025 sebenarnya naik menjadi Rp1.619,2 triliun, dibandingkan Rp1.588,2 triliun pada 2024. 

Namun karena restitusi pajak — pengembalian pajak kepada wajib pajak — meningkat, realisasi penerimaan neto menjadi lebih kecil. “Restitusi artinya dikembalikan kepada masyarakat, dunia usaha, wajib pajak, sehingga uangnya beredar di perekonomian. 

Kita berharap hal ini membantu pergerakan ekonomi,” ujar Suahasil. Meski demikian, restitusi yang tinggi juga menunjukkan adanya ketidakefisienan dalam sistem perpajakan yang perlu segera dibenahi. 

Tanpa perbaikan administrasi dan pemetaan yang lebih presisi, potensi kebocoran penerimaan akan tetap besar, bahkan jika tarif PPN diturunkan sekalipun.

Antara Populisme dan Disiplin Fiskal

Dilema yang dihadapi Purbaya mencerminkan tantangan klasik fiskal Indonesia: antara kebijakan populis yang berpihak pada masyarakat dan disiplin anggaran untuk menjaga defisit tetap terkendali.

Menurunkan tarif PPN mungkin memberi napas tambahan bagi konsumsi domestik, tetapi tanpa reformasi administrasi dan optimalisasi pemungutan, langkah itu justru bisa memperlebar ruang fiskal negara. 

Sebaliknya, fokus pada efisiensi administrasi akan memperkuat fondasi penerimaan jangka panjang, meski tidak seketika terasa di masyarakat. Bagi Purbaya, keseimbangan itulah kuncinya. “Kita harus dorong ekonomi tanpa mengorbankan stabilitas fiskal,” tuturnya.

Terkini