Sejarah Tari Lego-Lego berasal dari Alor, NTT, sebagai seni tradisional yang sarat makna sosial, budaya, dan nilai kebersamaan antar warga.
Tarian ini umumnya dipentaskan dalam berbagai kegiatan seperti penyambutan tamu, upacara adat, pernikahan, dan acara kebudayaan lainnya.
Sebagai warisan budaya, tarian ini telah diturunkan dari generasi ke generasi oleh para leluhur masyarakat Alor. Hingga kini, pertunjukan tersebut masih rutin digelar sebagai bagian dari pelestarian tradisi lokal.
Dalam pelaksanaannya, tarian ini dibawakan oleh pria dan wanita yang membentuk lingkaran sambil bergandengan tangan. Gerakan mereka dilakukan secara bersama-sama tanpa memandang latar belakang sosial, agama, atau status masing-masing penari.
Karena sifat inklusifnya, tarian ini sering disebut sebagai simbol keberagaman etnis. Penampilannya menyatukan berbagai suku, bahasa, klan, agama, jenis kelamin, dan lapisan sosial dalam satu lingkaran kebersamaan.
Untuk mengenal lebih dalam tentang kekayaan budaya dari Nusa Tenggara Timur, penting untuk memahami sejarah Tari Lego-Lego yang mencerminkan nilai persatuan dan harmoni.
Sejarah Tari Lego-Lego
Kabupaten Alor di Nusa Tenggara Timur dikenal dengan sebutan Negeri Seribu Moko, merujuk pada alat musik khas daerah tersebut yang memiliki nilai budaya tinggi.
Moko, yang terbuat dari perunggu, tidak hanya digunakan sebagai instrumen musik, tetapi juga memiliki fungsi sosial seperti sebagai mas kawin atau alat pembayaran denda adat.
Instrumen Moko juga digunakan sebagai pengiring dalam pertunjukan tari tradisional yang berasal dari Alor, yaitu Tari Lego-Lego.
Meski namanya mirip dengan permainan anak-anak, istilah "lego" dalam konteks ini memiliki makna yang berbeda dan lebih dalam.
Tarian ini dibawakan oleh pria dan wanita secara massal, sehingga suasana pertunjukannya terasa meriah dan penuh semangat.
Salah satu ciri khas dari tarian ini adalah formasi para penari yang bergandengan tangan membentuk lingkaran besar. Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun dan masih aktif ditampilkan oleh masyarakat Alor hingga saat ini.
Awalnya, tarian ini digunakan dalam upacara adat sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan. Dalam pelaksanaannya, para penari mengelilingi sebuah objek sakral yang disebut Mezbah, sambil menyanyikan lagu-lagu pujian secara serempak.
Mezbah menjadi elemen penting dalam pertunjukan ini dan menjadi pembeda antara Tari Lego-Lego dengan tarian tradisional dari daerah lain.
Selain diiringi oleh alat musik, pertunjukan ini kadang hanya menggunakan nyanyian dari para penari dan suara gemerincing dari gelang kaki sebagai pengiring.
Setiap daerah memiliki cara tersendiri dalam menampilkan tarian ini, tergantung pada tradisi lokal masing-masing.
Tari Lego-Lego juga dikenal sebagai tarian lintas etnis karena melibatkan banyak orang tanpa memandang latar belakang agama, jenis kelamin, status sosial, klan, atau bahasa.
Semua penari bersatu dalam satu lingkaran, menari bersama dalam tradisi lisan yang disebut Lego-lego.
Selama pertunjukan, penari dipandu oleh satu atau dua orang juru pukong atau juru pantun.
Mereka adalah pria yang dihormati dalam komunitas dan memiliki pengetahuan luas tentang lagu-lagu yang digunakan dalam tarian.
Jumlah penari bisa mencapai puluhan hingga ratusan orang. Keunikan dari tarian ini terletak pada proses penyampaian pengetahuan secara lisan.
Melalui syair yang dinyanyikan oleh juru pukong, pesan-pesan tentang nilai-nilai sosial seperti saling menghormati antar suku, menjaga kerukunan antar umat beragama, serta sejarah nenek moyang dan perpindahan suku disampaikan kepada masyarakat.
Tari Lego-Lego yang berasal dari wilayah Alor Pantar juga memiliki perbedaan dalam penggunaan alat musik, tergantung pada lokasi geografis penampilnya.
Masyarakat pesisir, yang dikenal sebagai Nuh Atinang, biasanya menggunakan gong dan gendang sebagai pengiring. Sementara itu, masyarakat pegunungan atau Nuh Mate lebih mengandalkan hentakan kaki penari pria dan suara gelang kaki penari wanita.
Secara umum, gerakan dalam tarian ini memiliki pola yang serupa di seluruh wilayah Alor Pantar. Alat musik yang digunakan pun beragam, tidak hanya giring-giring, tetapi juga termasuk fong, maal atau moko, tambur panjang atau tubbi, dan lainnya.
Semua elemen ini membentuk kekayaan budaya yang tercermin dalam sejarah Tari Lego-Lego.
Properti Tari Lego-Lego
Sebagaimana halnya dengan berbagai tarian tradisional lainnya, pertunjukan tari asal Alor ini juga memerlukan sejumlah perlengkapan pendukung agar tampilannya lebih maksimal.
Beberapa perlengkapan yang digunakan meliputi aksesori, pakaian, dan alat musik. Namun, penggunaan perlengkapan tersebut tidak bersifat wajib.
Dalam beberapa pertunjukan, hanya sebagian perlengkapan yang digunakan, tergantung pada kebutuhan dan konsep acara. Berikut adalah beberapa jenis perlengkapan yang umum digunakan dalam pertunjukan tari ini:
1. Gong
Salah satu alat musik yang sering digunakan sebagai pengiring adalah gong. Instrumen ini berbentuk bulat dan dimainkan dengan cara dipukul menggunakan alat khusus.
Ukuran gong yang digunakan bisa bervariasi, mulai dari yang kecil hingga yang besar dan memerlukan dua orang untuk mengangkatnya.
Meski begitu, ada juga pertunjukan yang tidak menggunakan alat musik sama sekali, melainkan hanya mengandalkan irama dari hentakan kaki dan suara gelang kaki para penari.
2. Moko
Moko merupakan alat musik tradisional yang berasal dari Alor dan memiliki bentuk menyerupai kendang. Ukurannya beragam dan biasanya dibuat dari bahan seperti tembaga, kuningan, atau perunggu.
Sejak zaman dahulu, Moko memiliki fungsi yang lebih dari sekadar alat musik. Masyarakat Alor menggunakannya sebagai alat tukar, pembayaran denda adat, atau sebagai mas kawin dalam pernikahan.
Kepemilikan Moko juga mencerminkan status sosial seseorang di masyarakat. Karena nilai simbolis dan budaya yang tinggi, Moko sering dijadikan sebagai bagian dari mahar dalam upacara pernikahan.
3. Kain Tenun Alor
Berbeda dengan beberapa tarian tradisional dari daerah lain yang memiliki kostum khusus, penari dalam pertunjukan ini biasanya tidak mengenakan pakaian seragam.
Sebagai gantinya, mereka mengenakan busana yang dibuat dari kain tenun khas Alor. Kain tenun ini memiliki motif kenari yang menjadi ciri khas, mengingat Pulau Alor dikenal sebagai Pulau Kenari.
Pengrajin kain tenun Alor tersebar di berbagai wilayah Nusa Tenggara Timur, termasuk Kupang, sehingga kain ini cukup mudah ditemukan dan digunakan dalam pertunjukan seni tradisional.
4. Pakaian Tradisional
Dalam pertunjukan seni daerah ini, para penari umumnya mengenakan pakaian adat khas Alor. Untuk penari pria, busana tersebut biasanya dipadukan dengan penutup kepala agar tampilan mereka terlihat lebih rapi dan formal.
Sementara itu, penari wanita cenderung membiarkan rambut mereka terurai saat tampil. Pakaian tradisional yang dikenakan juga sering dikombinasikan dengan berbagai aksesori tambahan untuk memperkaya tampilan dan memperkuat kesan budaya.
5. Hiasan Kepala
Salah satu aksesori utama yang digunakan dalam pertunjukan ini adalah hiasan kepala, terutama bagi penari pria. Meski begitu, penari wanita juga dapat mengenakannya, namun dengan desain yang berbeda.
Untuk penari wanita, hiasan kepala biasanya berbentuk huruf V dan terdiri dari kombinasi warna seperti putih, hitam, dan merah. Agar tampil lebih menarik, hiasan ini sering dipadukan dengan aksesori lain seperti kalung, anting, dan gelang.
Sedangkan hiasan kepala untuk penari pria dirancang menyerupai mahkota. Agar tampil lebih mencolok, biasanya ditambahkan dasi serta perhiasan di bagian lengan.
Proses pembuatannya melibatkan bahan seperti kain merah, potongan karpet, lem lilin, dan bulu unggas. Kombinasi bahan-bahan tersebut memberikan kesan yang serasi dan memperindah keseluruhan penampilan dalam pertunjukan.
6. Gelang Kaki
Aksesori terakhir yang digunakan dalam tarian ini adalah gelang kaki. Gelang ini digunakan baik dalam pertunjukan yang diiringi musik maupun yang hanya mengandalkan suara dari gerakan penari.
Fungsi utama gelang kaki adalah menghasilkan suara gemerincing saat penari bergerak. Bunyi tersebut membantu penari menjaga ritme dan menyelaraskan langkah mereka, terutama karena tarian ini biasanya dibawakan oleh banyak orang secara bersamaan.
Suara dari gelang kaki juga menambah daya tarik pertunjukan dan memperkuat kesan kompak dalam gerakan kelompok.
Fungsi Tari Lego-Lego
Pertunjukan Tari Lego-Lego selalu menjadi momen yang dinanti oleh masyarakat lokal maupun para pengunjung. Tarian ini memiliki nilai simbolis dan ciri khas yang menjadikannya menarik untuk disaksikan.
Lebih dari sekadar hiburan, tarian tradisional asal Nusa Tenggara Timur ini memiliki berbagai fungsi penting yang membuatnya tetap dilestarikan hingga kini. Berikut adalah beberapa peran utama dari Tari Lego-Lego:
1. Menyambut Kehadiran Tamu
Tarian ini kerap ditampilkan dalam acara besar seperti festival budaya atau kegiatan adat. Tujuan utamanya adalah menyambut tamu yang datang, baik dari wilayah lain di Indonesia maupun dari luar negeri.
Melalui pertunjukan ini, masyarakat Alor memperkenalkan kekayaan budaya mereka sekaligus menunjukkan sikap ramah kepada para tamu. Tarian ini menjadi simbol keramahan dan keterbukaan masyarakat terhadap pendatang.
2. Ekspresi Rasa Syukur dan Kebahagiaan
Tari Lego-Lego juga digunakan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas pencapaian tertentu. Misalnya, setelah berhasil memanen hasil pertanian yang telah dirawat dengan penuh kerja keras, masyarakat akan menampilkan tarian ini sebagai bentuk perayaan.
Selain itu, tarian ini juga ditampilkan dalam upacara pernikahan sebagai simbol kebahagiaan. Di masa lalu, tarian ini digunakan untuk menyambut kepulangan pasukan yang kembali dari medan perang.
Penari akan membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu pujian sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan. Tarian ini menjadi sarana bagi masyarakat untuk berbagi kegembiraan atas keberhasilan yang telah dicapai.
3. Simbol Persatuan dan Kebersamaan
Gerakan saling bergandengan tangan dalam tarian ini mencerminkan semangat persatuan dan gotong royong yang kuat di tengah masyarakat Alor.
Tarian ini menjadi representasi dari nilai kebersamaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat. Dengan melestarikan Tari Lego-Lego, masyarakat turut menjaga warisan budaya yang mengandung semangat kolektif dan solidaritas sosial.
4. Penyambutan dalam Tradisi Sunna Hada
Salah satu peran penting dari tarian ini adalah sebagai bagian dari penyambutan dalam acara adat Sunna Hada. Tradisi ini masih dijaga dan dijalankan oleh masyarakat Alor hingga kini.
Sunna Hada merupakan kegiatan sunat massal yang dilaksanakan secara berkala. Anak laki-laki berusia antara 4 hingga 10 tahun biasanya menjadi peserta dalam acara ini. Pelaksanaannya melibatkan berbagai suku yang ada di wilayah tersebut.
Sebagai bentuk sambutan dan perayaan, masyarakat akan menampilkan tarian ini secara bersama-sama, menciptakan suasana yang meriah dan penuh kebersamaan.
5. Ungkapan Syukur atas Panen
Sebagian besar penduduk Alor menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Mereka mengelola ladang dengan menanam berbagai jenis tanaman seperti padi, ubi, kacang-kacangan, sorgum, dan jagung.
Ketika masa panen tiba, rasa syukur kepada Tuhan atas hasil yang diperoleh diwujudkan melalui pertunjukan tarian ini, yang diiringi dengan lagu-lagu pujian.
Tarian ini menjadi sarana ekspresi spiritual dan budaya yang memperkuat hubungan antara manusia dan alam.
Selain fungsi-fungsi tersebut, tarian ini juga memiliki daya tarik tersendiri yang mampu memikat wisatawan lokal maupun internasional.
Berdasarkan catatan sejarah, masyarakat Alor telah lama menjalankan aktivitas secara kolektif melalui sistem gotong royong.
Setelah menyelesaikan pekerjaan bersama, mereka akan berkumpul mengelilingi Mezbah, menyampaikan rasa syukur, dan menyanyikan pujian kepada Tuhan. Tradisi inilah yang kemudian berkembang menjadi bentuk tarian yang dikenal hingga sekarang.
Keistimewaan dari tarian ini terlihat dari jumlah penari yang bisa sangat banyak, dan keterlibatan mereka tidak dibatasi oleh jenis kelamin.
Siapa pun dapat ikut serta dalam pertunjukan, baik dengan iringan musik maupun hanya dengan suara langkah dan gemerincing gelang kaki. Untuk menciptakan gerakan yang selaras, para penari perlu berlatih dan menjaga fokus.
Hasilnya adalah pertunjukan yang kompak dan menggambarkan nilai utama dari tarian ini: kebersamaan dan semangat gotong royong.
Sebagai penutup, melalui sejarah Tari Lego-Lego, kita mengenali nilai persatuan, rasa syukur, dan warisan budaya yang terus hidup dalam tradisi masyarakat Alor.