JAKARTA – Fenomena rangkap jabatan oleh para Wakil Menteri (Wamen) dalam kabinet Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto semakin mencuri perhatian publik. Dalam waktu kurang dari satu tahun, tercatat sedikitnya lima Wamen aktif yang turut dipercaya mengemban peran sebagai komisaris di sejumlah perusahaan milik negara (BUMN) maupun swasta. Meski menuai sorotan, pemerintah memastikan bahwa praktik tersebut tidak melanggar hukum.
Penempatan pejabat publik ke dalam jajaran komisaris perusahaan pelat merah sebenarnya bukan hal baru. Namun, eskalasinya kembali menjadi perbincangan sejak nama-nama Wakil Menteri yang masih aktif turut menduduki posisi strategis di perusahaan BUMN dalam periode 2024 hingga 2025. Keputusan ini menimbulkan beragam reaksi di tengah masyarakat dan pengamat tata kelola negara.
Lima Wamen Aktif Rangkap Jabatan Komisaris
Berdasarkan catatan yang dihimpun hingga Juni 2025, berikut ini adalah daftar lima Wakil Menteri aktif yang juga menjabat sebagai komisaris:
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo, Menjabat sebagai Komisaris Utama PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. Kartika sebelumnya juga memiliki latar belakang panjang di sektor perbankan, termasuk menjadi Dirut Bank Mandiri.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Merangkap sebagai Komisaris Utama di PT PLN (Persero). Dengan latar belakang akademisi dan teknokrat fiskal, Suahasil dinilai mampu membawa perspektif fiskal makro dalam pengelolaan PLN.
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga, Duduk sebagai Komisaris Independen PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Jerry dikenal sebagai tokoh muda dengan basis ekonomi politik internasional.
Wakil Menteri ATR/BPN Raja Juli Antoni, Diangkat menjadi Komisaris Independen PT Hutama Karya (Persero), perusahaan konstruksi milik negara yang sedang menggarap proyek infrastruktur strategis nasional, termasuk jalan tol Trans Sumatera.
Wakil Menteri Luar Negeri Pahala Nugraha Mansury, Diangkat sebagai Komisaris Utama di PT Pertamina (Persero). Pahala sebelumnya juga dikenal sebagai profesional yang pernah memimpin Garuda Indonesia dan BRI.
Penunjukan ini menambah daftar panjang pejabat publik yang juga berperan dalam pengawasan serta pengambilan kebijakan strategis di tubuh BUMN. Tugas utama komisaris di perusahaan pelat merah adalah memastikan jalannya tata kelola korporasi yang sehat, sejalan dengan target bisnis dan mandat pelayanan publik.
Tidak Melanggar Aturan Hukum
Meski penunjukan wakil menteri sebagai komisaris kerap menimbulkan kritik terkait potensi konflik kepentingan dan efektivitas kinerja, pemerintah menegaskan bahwa praktik tersebut legal secara hukum. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menjelaskan bahwa tidak ada aturan yang secara eksplisit melarang menteri atau wakil menteri menjabat sebagai komisaris.
“Rangkap jabatan menteri dan wakil menteri tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku,” ujar Hasan. Ia merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019, yang tidak secara tegas melarang menteri dan wakil menteri merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN maupun perusahaan swasta.
Menurut Hasan, selama tugas utama sebagai pejabat negara tetap dijalankan dengan baik, dan tidak terjadi pelanggaran etika maupun hukum lainnya, maka rangkap jabatan ini dapat diterima. Ia juga menambahkan bahwa kehadiran para Wamen dalam struktur komisaris dapat memperkuat sinergi antara pemerintah dan BUMN.
Sorotan Etika dan Efektivitas
Meski sah secara hukum, sejumlah pengamat menyampaikan kekhawatiran atas dampak rangkap jabatan terhadap efektivitas kerja para pejabat negara. Menurut mereka, tugas seorang wakil menteri sudah sangat padat, dan memerlukan fokus tinggi untuk merancang serta menjalankan kebijakan sektoral. Penambahan tanggung jawab sebagai komisaris dikhawatirkan akan membagi perhatian dan energi mereka.
Pengamat tata kelola pemerintahan, Feri Amsari, dalam beberapa pernyataannya sebelumnya menyebutkan bahwa posisi komisaris seharusnya diberikan kepada figur profesional non-aktif dari struktur pemerintahan untuk menjaga independensi dan menghindari konflik kepentingan.
“Prinsip tata kelola pemerintahan yang baik itu tidak hanya legal, tetapi juga etis dan proporsional. Kalau rangkap jabatan terlalu banyak, potensi benturan kepentingan itu sangat nyata,” kata Feri dalam wawancara sebelumnya.
Daya Tarik Posisi Komisaris
Penunjukan pejabat ke posisi komisaris kerap dihubungkan dengan upaya sinergi lintas sektor dan pemberian penghargaan atas loyalitas atau kontribusi politik. Selain itu, posisi komisaris BUMN dikenal memiliki tunjangan dan insentif yang tidak kecil. Menurut laporan publik, rata-rata komisaris utama BUMN besar bisa menerima kompensasi hingga miliaran rupiah per tahun.
Kondisi ini juga memperkuat pandangan bahwa jabatan komisaris telah menjadi semacam “kursi politik” yang digunakan untuk merangkul para pejabat atau tokoh penting di luar jalur teknokratik murni.
Namun demikian, pemerintah mengklaim bahwa semua penunjukan dilakukan dengan memperhatikan rekam jejak, keahlian, dan kontribusi masing-masing pejabat. Penempatan Wamen sebagai komisaris dinilai dapat mendorong harmonisasi kebijakan antara kementerian dan perusahaan pelat merah yang mereka awasi.
Masyarakat Diminta Kawal Transparansi
Seiring meningkatnya praktik rangkap jabatan di kalangan pejabat negara, publik diharapkan semakin aktif mengawasi jalannya tata kelola perusahaan BUMN. Transparansi dan pelaporan publik secara rutin menjadi elemen penting untuk memastikan bahwa para komisaris menjalankan fungsi pengawasan secara optimal.
Penguatan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam melakukan audit dan pengawasan terhadap pengelolaan BUMN juga dinilai krusial agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh pejabat yang merangkap jabatan.
Penunjukan wakil menteri aktif ke kursi komisaris BUMN oleh pemerintah dalam kabinet Prabowo Subianto menuai beragam reaksi. Meski sah secara hukum, praktik ini tetap mengundang perhatian publik, terutama terkait etika, efektivitas kerja, dan potensi konflik kepentingan. Pemerintah mengklaim semua penempatan dilakukan berdasarkan kompetensi dan kebutuhan sinergi kebijakan. Sementara itu, masyarakat dan pengawas eksternal diharapkan terus mengawal agar tata kelola BUMN tetap akuntabel dan transparan.
Dengan semakin terbukanya informasi publik, rangkap jabatan seperti ini akan terus menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah dan masyarakat demi perbaikan tata kelola pemerintahan yang lebih baik.