Nikel

Perhapi Tegaskan Hati-hati Dalam Mengatur Pangkas Produksi Nikel Tahun 2026

Perhapi Tegaskan Hati-hati Dalam Mengatur Pangkas Produksi Nikel Tahun 2026
Perhapi Tegaskan Hati-hati Dalam Mengatur Pangkas Produksi Nikel Tahun 2026

JAKARTA - Pemangkasan produksi bijih nikel pada 2026 menjadi perhatian serius bagi industri pertambangan di Indonesia. 

Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menilai langkah ini harus dilakukan dengan perhitungan cermat. Risiko sistemik bisa muncul jika produksi dipangkas tanpa memperhitungkan tipe bijih dan kebutuhan industri.

Pentingnya Diferensiasi Tipe Bijih

Ketua Umum Perhapi, Sudirman Widhy Hartono, menekankan perbedaan strategis bijih saprolit dan limonit. Pemangkasan produksi yang tidak mempertimbangkan jenis bijih berpotensi mengganggu rantai industri nikel. Bijih saprolit dan limonit memiliki fungsi berbeda dalam proses hilirisasi dan nilai tambah.

Sudirman menegaskan pemangkasan harus sinkron dengan cadangan dan kebutuhan riil smelter. Tanpa perhitungan matang, dampak negatif bisa menjalar ke seluruh rantai nilai industri. Industri hilir akan terkena efek domino yang merugikan.

Dampak Pemangkasan terhadap Operasional Smelter

Risiko pertama yang diidentifikasi adalah berhentinya operasi smelter pirometalurgi. Smelter berbasis rotary kiln electric furnace (RKEF) membutuhkan pasokan saprolit dalam jumlah besar. Terbatasnya bahan baku dapat memaksa penghentian operasional atau penutupan permanen smelter dengan biaya tinggi.

Investasi smelter nikel di Indonesia bersifat padat modal dan didukung utang jangka panjang. Smelter dirancang beroperasi secara base load, sehingga pengurangan kapasitas tidak fleksibel. Penurunan produksi tanpa strategi jelas meningkatkan biaya operasional dan risiko finansial.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Pemangkasan produksi juga berpotensi menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam skala besar. Industri nikel menyerap tenaga kerja di smelter, tambang, logistik, pelabuhan, dan sektor pendukung. Berhentinya operasi akan berdampak berlapis, menurunkan aktivitas ekonomi lokal dan nasional.

Selain itu, penurunan produksi berdampak pada penerimaan negara. Devisa dari ekspor produk hilir nikel, seperti NPI, feronikel, dan nikel matte, berkurang. Pajak penghasilan badan, PPN, royalti, dan pajak daerah juga akan menurun seiring menurunnya volume produksi dan laba industri.

Potensi Impor dan Efek Domino

Pembatasan produksi bijih nikel berisiko meningkatkan impor, khususnya dari Filipina dan Kaledonia Baru. Indonesia, yang memiliki cadangan nikel terbesar dunia, justru bisa menjadi pengimpor bijih. Hal ini menimbulkan paradoks dalam upaya swasembada bijih untuk smelter domestik.

Perhapi menilai pembatasan produksi tanpa diferensiasi tipe bijih dan sinkronisasi kapasitas smelter dapat menciptakan efek domino negatif. Namun, mereka mengapresiasi kebijakan pemerintah yang membatasi pembangunan pabrik pengolahan nikel intermediate. 

Kebijakan ini membantu menahan jumlah kebutuhan dan produksi bijih agar tetap terkendali.

Strategi Pemerintah dan Proyeksi Harga

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memastikan target produksi bijih nikel 2026 dipangkas untuk menyeimbangkan supply dan demand. Pemangkasan ini juga berlaku untuk batu bara dan mineral lain. Tujuannya menjaga harga agar pengusaha mendapatkan keuntungan wajar dan negara memperoleh pendapatan optimal.

Produksi bijih nikel dalam RKAB 2026 diajukan sekitar 250 juta ton, turun drastis dari 379 juta ton pada 2025. Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, menjelaskan pemangkasan bertujuan menjaga harga nikel tidak jatuh. Harga saprolit diproyeksikan naik hingga US$25 per ton, sementara limonit diperkirakan naik US$30–US$40 per ton.

Pemangkasan produksi menjadi langkah strategis yang harus diimbangi dengan perencanaan matang. Seluruh pemangku kepentingan industri nikel perlu koordinasi agar rantai nilai tetap berkelanjutan. Dengan pengaturan tepat, pemangkasan bisa menjaga stabilitas harga sekaligus meminimalkan risiko sistemik di sektor pertambangan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index