JAKARTA - Harga domestic market obligation (DMO) batu bara di Indonesia masih stagnan, dengan ketetapan Rp70 per metrik ton untuk ketenagalistrikan dan Rp90 per metrik ton untuk bahan baku industri.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan terkait relevansi skema Mitra Instansi Pengelola (MIP) di tengah tren penurunan harga batu bara global.
Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo, menilai skema MIP seharusnya diterapkan saat harga pasar global tinggi sehingga disparitas antara harga ekspor dan DMO cukup lebar. Namun, dengan kondisi harga saat ini yang rata-rata sudah di bawah US$100 per ton, implementasi MIP dinilai kurang tepat.
“Setelah menilai keseluruhan pelaksanaan DMO batu bara, MIP dinilai menjadi pilihan terbaik dalam mengamankan keandalan pasokan batu bara di dalam negeri,” kata Singgih, menegaskan bahwa skema ini tetap memiliki fungsi strategis, namun tidak ideal untuk kondisi pasar yang melemah.
Mekanisme dan Tujuan Skema MIP
Skema MIP dibangun untuk memungut dan menyalurkan dana kompensasi DMO melalui tiga bank BUMN: Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, dan Bank Rakyat Indonesia.
Mekanisme ini ditujukan untuk menjaga stabilitas biaya pokok produksi (BPP) listrik, melindungi masyarakat dari kenaikan tarif, dan menekan risiko keuangan PLN.
Selain itu, MIP dianggap lebih adil bagi seluruh penambang karena mengurangi disparitas harga antarpelaku usaha. Konsepnya cukup sederhana: PLN membeli batu bara sesuai harga pasar, sementara pengusaha membayar kompensasi ke lembaga pengelola, yang kemudian digunakan untuk menjaga tarif listrik tetap stabil.
“Skema ini sangat disayangkan tidak diterapkan saat harga tinggi, karena fungsinya sangat optimal di periode harga ekspor dan DMO berbeda jauh,” jelas Singgih. Ia menambahkan bahwa MIP dapat menjadi instrumen efektif untuk menjaga keberlanjutan pasokan energi nasional tanpa membebani APBN secara signifikan.
Kebijakan Pemerintah dan Evaluasi DMO
Pemerintah sebelumnya mengkaji berbagai mekanisme lain, termasuk transfer kuota, denda, dan penugasan, sebelum menimbang MIP sebagai opsi relevan. Namun hingga kini, skema ini belum dijalankan.
Senior Policy Analyst Kemenkeu menambahkan bahwa penggodokan skema dana kompensasi batu bara pada 2021–2022 hampir mencapai tahap finalisasi, namun tidak membuahkan kebijakan konkret.
Meski demikian, pemerintah menilai DMO masih menjadi opsi paling realistis untuk menjaga stabilitas fiskal. Ketergantungan Indonesia terhadap batu bara sebagai input energi utama cukup tinggi, sehingga penggunaan harga pasar akan menambah tekanan pada APBN melalui kebutuhan subsidi dan kompensasi tambahan.
“Dengan DMO, APBN masih bisa sustainable karena kebutuhan energi kita dari batu bara cukup besar. Jika harga pasar yang dipakai, pemerintah harus menambah lagi pajak dan segala macam penerimaan negara untuk menambal subsidi,” ungkap Robert, menegaskan pentingnya DMO dalam konteks fiskal.
Skema MIP: Peluang dan Tantangan ke Depan
Meskipun harga global sedang turun, MIP tetap memiliki potensi untuk digunakan di masa depan ketika harga ekspor meningkat. Skema ini menjadi salah satu alternatif untuk menjaga keseimbangan industri batu bara dan keandalan pasokan domestik.
Dalam pandangan Singgih, implementasi MIP harus selektif dan sesuai kondisi pasar agar lebih efektif. Skema ini bisa menjadi instrumen penting untuk melindungi industri, masyarakat, dan negara dari fluktuasi harga global yang ekstrim.
Selain itu, penerapan MIP juga dapat memastikan bahwa kompensasi yang diterima PLN dan masyarakat tetap terjaga keadilannya.
Dengan demikian, diskusi mengenai relevansi DMO dan MIP bukan sekadar soal harga saat ini, tetapi juga soal strategi jangka panjang dalam pengelolaan energi nasional. DMO tetap menjadi mekanisme utama, sementara MIP bisa menjadi opsi cadangan yang siap diterapkan saat kondisi pasar menuntut intervensi lebih besar.