Yusril

Sinergi Hukum Nasional, Yusril Dorong Orkestrasi Konstitusi untuk Keadilan Substantif

Sinergi Hukum Nasional, Yusril Dorong Orkestrasi Konstitusi untuk Keadilan Substantif
Sinergi Hukum Nasional, Yusril Dorong Orkestrasi Konstitusi untuk Keadilan Substantif

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan pentingnya konstitusi sebagai alat penghubung dan pengatur antara tiga sumber hukum yang membentuk karakter sistem hukum Indonesia. 

Dalam paparannya di sebuah konferensi hukum internasional di Universitas Andalas, Sumatera Barat, Yusril menyebut bahwa konstitusi Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk mengorkestrasikan tiga tradisi hukum utama, yaitu hukum barat, hukum Islam, dan hukum adat.

Menurutnya, tugas konstitusional pemerintah bukan untuk memilih salah satu dari ketiganya, melainkan menyatukan dan menyinergikan seluruh sumber hukum tersebut dalam satu kerangka nasional yang saling mendukung dan tidak saling menegasikan. 

“Kewajiban konstitusional pemerintah bukanlah untuk memilih satu sumber atau satu jalur reformasi hukum, melainkan untuk mengorkestrasi semuanya,” ujar Yusril.

Ia menjelaskan, hukum barat memberikan dasar-dasar kodifikasi dan pembentukan lembaga hukum modern yang selama ini digunakan dalam praktik kenegaraan.

Sementara itu, hukum Islam berkembang pesat terutama dalam bidang ekonomi syariah dan pengaturan status pribadi. Adapun hukum adat, lanjutnya, tetap menjadi bagian penting dari sistem hukum karena mencerminkan nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat lokal.

Sinergi Tiga Pilar Hukum untuk Reformasi Berkelanjutan

Dalam pandangan Yusril, ketiga pilar hukum ini harus dikembangkan secara harmonis agar dapat saling melengkapi. Pemerintah, katanya, harus memastikan bahwa hukum yang berlaku mampu mengakomodasi nilai-nilai masyarakat tanpa mengabaikan prinsip kesetaraan dan profesionalitas tata kelola. 

Ia menekankan pentingnya mengakui keberadaan hukum yang hidup (living law), terutama hukum adat dan norma keagamaan yang masih menjadi pedoman di banyak daerah.

“Negara perlu memastikan bahwa sistem hukum syariah dapat tumbuh secara profesional dan inklusif, sementara hukum adat tetap dijaga sebagai wujud kearifan lokal,” ujarnya. 

Yusril menilai, hukum yang dikodifikasi dengan pengaruh tradisi barat pun tetap harus relevan dengan perubahan zaman dan dinamika sosial masyarakat Indonesia.

Ia juga menyoroti bahwa reformasi hukum di Indonesia belum sepenuhnya tuntas, karena masih terdapat jarak antara hukum formal yang tertulis dan keadilan yang dirasakan oleh rakyat. Kondisi ini menunjukkan perlunya langkah serius dalam mewujudkan keadilan substantif yang mampu dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Hukum untuk Manusia, Bukan Manusia untuk Hukum

Dalam kesempatan itu, Yusril yang juga dikenal sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara, mengutip pernyataan almarhum Profesor Satjipto Rahardjo yang mengatakan, “hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.” 

Ia menjelaskan bahwa makna dari kalimat tersebut menggambarkan hakikat hukum yang sejatinya diciptakan untuk melayani kepentingan kemanusiaan, bukan sebaliknya.

“Hukum tidak boleh kaku dan hanya berpegang pada teks formal, tetapi harus menyesuaikan dengan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat yang terus berkembang,” jelasnya. Menurut Yusril, hukum yang ideal adalah hukum yang mampu menjamin keseimbangan antara kepastian hukum dan rasa keadilan sosial di masyarakat.

Ia menambahkan bahwa keadilan tidak selalu bisa dicapai melalui kesetaraan prosedural semata, melainkan harus menjamin akses terhadap keadilan substantif. Dengan kata lain, sistem hukum harus mampu memberikan ruang bagi masyarakat untuk mendapatkan perlakuan yang adil sesuai konteks dan kebutuhan mereka masing-masing.

Orkestrasi Konstitusi Menuju Sistem Hukum yang Inklusif

Melalui pemaparannya, Yusril menegaskan bahwa konstitusi Indonesia memiliki peran penting dalam memastikan setiap sumber hukum baik barat, Islam, maupun adat dapat berjalan beriringan tanpa tumpang tindih. 

Ia menyebut perlunya sinergi yang kuat agar hukum tidak hanya menjadi alat penegakan formal, tetapi juga sarana untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.

“Konstitusi kita bukan hanya kumpulan pasal-pasal yang mengatur negara, melainkan wadah besar yang menyatukan berbagai sistem hukum yang hidup di Indonesia,” katanya. 

Ia juga menilai bahwa keberagaman sumber hukum ini merupakan kekuatan, bukan hambatan, bagi pembangunan hukum nasional yang modern namun tetap berakar pada nilai-nilai lokal.

Yusril mengakhiri paparannya dengan ajakan kepada seluruh akademisi, praktisi hukum, dan pemerintah untuk bersama-sama membangun sistem hukum yang inklusif, berkeadilan, dan berkarakter Indonesia. 

Ia menegaskan bahwa orkestrasi hukum yang baik akan menjadi pondasi utama bagi tegaknya negara hukum yang demokratis dan berkeadilan bagi seluruh rakyat.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index