JAKARTA - Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ditandai dengan langkah monumental: lahirnya Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia).
Lembaga ini bukan sekadar badan investasi, melainkan fondasi baru dalam transformasi pengelolaan kekayaan negara dan optimalisasi aset-aset strategis BUMN di bawah satu payung.
Resmi diluncurkan pada 24 Februari 2025, Danantara menjadi simbol tekad pemerintahan Prabowo-Gibran untuk menata ulang portofolio aset negara agar lebih produktif dan terintegrasi.
Dalam sambutannya saat peresmian, Presiden Prabowo menegaskan bahwa Danantara diharapkan menjadi instrumen utama dalam memperkuat pembangunan nasional.
“Peluncuran Danantara Indonesia hari ini memiliki arti yang sangat penting karena Danantara Indonesia bukan sekadar badan pengelola investasi melainkan harus menjadi instrumen pembangunan nasional yang akan mengoptimalkan cara kita mengelola kekayaan Indonesia,” tegas Prabowo.
Modal Besar dan Struktur Profesional
Pemerintah mengalokasikan Rp1.000 triliun sebagai modal awal Danantara, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2025 tentang perubahan keempat UU BUMN.
Modal jumbo ini menunjukkan keseriusan negara dalam mengonsolidasikan kekayaan dan investasi nasional agar dikelola secara profesional dan berorientasi hasil.
Sejak berdiri, Danantara telah membentuk struktur organisasi lengkap, termasuk dewan pengawas dan dewan pelaksana, serta meresmikan kantor pusat di Wisma Danantara, Jakarta.
CEO Danantara, Rosan Roeslani, menekankan pentingnya independensi lembaga ini dari kepentingan politik. Ia menyebut tim yang dipilih merupakan hasil seleksi profesional dan bebas dari unsur titipan.
“Kalau dalam dunia olahraga ada ‘dream team’, maka di Danantara kami juga memiliki dream team yang siap bekerja keras untuk negeri ini,” ujar Rosan saat memperkenalkan jajaran pengurus, 24 Maret 2025.
Langkah Cepat: Konsolidasi BUMN dan Restrukturisasi Sektor
Tak butuh waktu lama, Danantara langsung membentuk anak usaha operasional PT Danantara Asset Management (DAM) yang dipimpin oleh Dony Oskaria sebagai Chief Operating Officer (COO).
DAM bertugas menjalankan 22 program strategis pada paruh kedua 2025 yang difokuskan pada restrukturisasi, konsolidasi, dan pengembangan bisnis BUMN.
Dalam bidang restrukturisasi, DAM menyoroti empat sektor utama: maskapai penerbangan, infrastruktur manufaktur baja, proyek kereta cepat, dan asuransi.
Sedangkan untuk konsolidasi bisnis, fokus diarahkan ke sembilan sektor lain seperti pupuk, karya, rumah sakit, hotel, gula, hilirisasi minyak, manajemen aset, kawasan industri, dan asuransi.
Dony menjelaskan bahwa semua langkah ini diarahkan untuk memperkuat efisiensi dan menutup potensi tumpang tindih antarperusahaan pelat merah.
“Kami juga mengelompokkan ke dalam program kerja yang berkaitan dengan streamlining dan konsolidasi bisnis,” ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR.
DPR Ingatkan Hindari Pola Konglomerasi Lama
Meski mendukung langkah transformasi Danantara, Komisi VI DPR RI memberikan catatan penting agar proses konsolidasi tidak kembali mengulang kesalahan masa lalu berupa praktik konglomerasi BUMN yang tidak efisien.
Anggota Komisi VI, Ahmad Labib, menilai banyak anak usaha BUMN yang terbentuk tanpa dasar kebutuhan bisnis yang kuat.
“Kita ini banyak sekali anak-anak perusahaan [BUMN] yang sebelumnya praktek konglomerasi tetapi justru menjadi celah-celah inefisiensi dan kebocoran. Jadi, ini tolong betul nanti dihindari,” tegasnya.
Fokus Investasi: Hilirisasi, Energi, dan Teknologi
Selain mengelola aset, Danantara juga bergerak di bidang investasi melalui PT Danantara Investment Management (DIM) yang dikomandoi oleh Pandu Sjahrir. DIM menetapkan tiga fokus utama investasi: hilirisasi industri strategis, transisi energi, dan teknologi.
DIM menyiapkan investasi senilai US$10 miliar (sekitar Rp165 triliun) mulai Oktober 2025, dengan 80% diarahkan ke proyek domestik dan sisanya ke luar negeri.
Beberapa proyek prioritas mencakup pembangunan desa haji di Arab Saudi, proyek energi hulu bersama, dan proyek pengolahan sampah menjadi energi listrik (waste to energy/PSEL).
Pandu menjelaskan, satu proyek PSEL membutuhkan dana sekitar US$150 juta–US$200 juta (Rp2,5–Rp3,3 triliun), dan pemerintah berencana memulai 10 proyek PSEL di lima kota pada akhir 2025.
“Kami ingin memulai dengan 10 proyek di akhir tahun ini di lima kota berbeda. Satu proyek ini pada dasarnya bernilai US$200 juta, US$150 juta hingga US$200 juta,” ujarnya dalam acara Forbes Global CEO.
Suntikan Likuiditas ke Pasar Modal
Selain sektor riil, Danantara juga berencana mengalirkan 5%–10% dana investasinya ke pasar modal Indonesia, atau setara Rp8–Rp16 triliun. Pandu menegaskan, langkah ini bertujuan menjaga stabilitas dan kedalaman pasar.
“Untuk tahun ini, sekitar 80% investasi akan dilakukan di dalam negeri, sebagian diinvestasikan di pasar publik, obligasi, dan pasar modal,” katanya.
Rencana tersebut mendapat sambutan positif dari para analis. Liza Camelia Suryanata, Head of Research Kiwoom Sekuritas, menyebut injeksi modal Danantara dapat menjadi penyangga likuiditas di tengah pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat turun 4,14% dalam sepekan hingga ke level 7.915,65.
“Jika injeksi itu benar terealisasi dan pasar global mulai tenang, ada peluang teknikal rebound ke level psikologis 8.000 dalam jangka pendek,” ujarnya.
Sementara itu, Ekky Topan dari Infovesta Kapital Advisori menilai kehadiran Danantara sebagai penyedia likuiditas institusional akan menekan volatilitas pasar.
“Hal ini akan membuat spread harga lebih sempit, mengurangi volatilitas, dan menciptakan pasar yang lebih efisien sehingga memberi kenyamanan lebih besar bagi investor,” ujarnya.
Kunci Keberhasilan: Tata Kelola dan Efisiensi
Meski prospeknya besar, para pengamat menilai keberhasilan Danantara bergantung pada penerapan good corporate governance (GCG).
Menurut Toto Pranoto, Associate Director BUMN Research Group FEB UI, investasi besar Danantara harus dibarengi tata kelola yang ketat agar tidak menimbulkan ketidakpercayaan publik.]
“Poin pentingnya semua rencana bisnis ini dilakukan dengan persiapan matang dan menerapkan GCG optimal. Hindari potensi ‘kebocoran’ yang bisa menimbulkan ketidakpercayaan,” tegasnya.
Dengan struktur profesional, strategi investasi agresif, dan dukungan politik yang kuat, Danantara kini menjadi tumpuan baru dalam memperkuat fondasi ekonomi nasional. Setahun berjalan, lembaga ini telah berkembang dari sekadar gagasan menjadi motor penting dalam menyatukan, mengelola, dan mengoptimalkan aset negara untuk generasi mendatang.