JAKARTA - Keputusan pemerintah untuk melakukan penyesuaian produksi batu bara pada 2026 menjadi langkah strategis untuk menjaga keseimbangan harga komoditas di pasar internasional.
Harga batu bara yang fluktuatif telah menimbulkan tantangan bagi pelaku industri dan perekonomian nasional, sehingga intervensi diperlukan untuk menciptakan nilai ekonomis yang menguntungkan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Tri Winarno, menyatakan bahwa penurunan produksi menjadi opsi utama dalam menstabilkan harga. Menurutnya, langkah ini diambil karena kondisi harga batu bara yang dianggap “jebol” di pasar global.
Tri menambahkan bahwa produksi pada 2026 diproyeksikan berada di bawah 700 juta ton, meski angka pastinya masih menunggu keputusan final pemerintah.
Kebijakan ini diharapkan memberikan sinyal positif kepada pasar internasional, sekaligus menjaga keseimbangan antara kebutuhan domestik dan potensi ekspor yang terus berkembang.
Evaluasi Produksi dan Tren Penyaluran Domestik
Pola produksi batu bara pada tahun-tahun sebelumnya menjadi acuan penting dalam menentukan kebijakan ke depan. Pada 2024, total produksi mencapai 836 juta ton atau 117 persen dari target nasional 710 juta ton. Tingginya capaian tersebut mencerminkan kapasitas produksi yang kuat sekaligus tingginya permintaan global.
Dari jumlah produksi tersebut, 233 juta ton disalurkan untuk kebutuhan industri domestik melalui skema Domestic Market Obligation (DMO), sedangkan 48 juta ton digunakan untuk stok nasional.
Di sisi lain, ekspor mencapai 555 juta ton atau setara 33–35 persen konsumsi global, menempatkan Indonesia sebagai pemain utama di pasar internasional.
Tri memproyeksikan produksi 2025 mencapai sekitar 750 juta ton, lebih rendah hampir 100 juta ton dibandingkan 2024. Penurunan ini dianggap sebagai langkah evaluasi yang wajar di tengah fluktuasi harga global, sekaligus menyiapkan strategi pengurangan produksi yang akan diterapkan 2026 agar stabilitas harga tetap terjaga.
Dorongan Mencapai Harga Batu Bara yang Lebih Ideal
Tujuan utama pemerintah menahan produksi pada 2026 adalah untuk mendorong harga batu bara kembali ke level ideal. Tri menjelaskan bahwa kondisi ideal adalah ketika produksi tetap tinggi tetapi harga juga menguntungkan pelaku industri.
Namun, pasar menunjukkan tren penurunan harga yang signifikan. Harga Batu Bara Acuan periode awal November turun menjadi 103,75 dolar AS per ton dari periode sebelumnya 109,74 dolar AS per ton. Kondisi ini memperkuat alasan pemerintah untuk mengintervensi pasar melalui pengurangan produksi.
Selain itu, ekspor batu bara sejak Januari hingga Juli 2025 juga menurun hingga 21,74 persen menjadi 13,82 miliar dolar AS, dari periode sama 2024 yang tercatat 17,66 miliar dolar AS.
Tren penurunan ini mendorong pemerintah agar kebijakan pengurangan produksi dapat menjadi langkah pemulihan harga, sekaligus menjaga daya saing komoditas di pasar global.
Pengaruh Kebijakan Terhadap Industri dan Prospek Masa Depan
Pengurangan produksi batu bara akan berdampak pada seluruh rantai industri, termasuk pelaku usaha besar dan manajemen energi nasional. Langkah ini dianggap strategis untuk menyeimbangkan keuntungan ekonomi dan keberlanjutan sektor industri.
Dengan menahan produksi, pemerintah berharap harga batu bara kembali stabil, sehingga pelaku industri tetap memperoleh nilai keekonomian yang optimal. Namun, prioritas domestik tetap dijaga, dengan pemenuhan kebutuhan melalui skema DMO agar industri nasional tidak terganggu.
Proses reposisi produksi dan penyesuaian ekspor juga menjadi momen untuk memperkuat ketahanan sektor energi. Pemerintah menekankan bahwa langkah ini bersifat strategis dan terukur, untuk memastikan keberlanjutan industri batu bara dan kestabilan ekonomi nasional.
Dengan pengelolaan yang tepat, kebijakan ini diharapkan memberikan dampak positif bagi semua pemangku kepentingan, menjaga ketersediaan energi, serta memperkuat posisi Indonesia di pasar global.