JAKARTA - Fenomena kemarau basah membawa berkah tersendiri bagi petani di Kabupaten Bojonegoro.
Tahun ini, sebagian besar petani mampu menikmati panen padi hingga tiga kali dalam satu tahun. Kondisi yang tidak biasa ini terjadi karena curah hujan tetap turun meskipun sudah memasuki musim kemarau, sehingga pasokan air untuk sawah tetap terjaga.
Produksi padi Bojonegoro pada tahun 2025 tercatat mencapai 1,06 juta ton Gabah Kering Panen (GKP), menjadikannya sebagai daerah dengan produksi padi terbesar kedua di Jawa Timur.
Hasil ini menandai peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, sekaligus membuktikan ketahanan sektor pertanian daerah tersebut menghadapi perubahan iklim.
Muhammad Rondhi, petani asal Desa Karangdowo, Kecamatan Sumberrejo, mengaku dalam satu tahun ini sudah tiga kali melakukan panen padi. Menurutnya, kondisi alam yang tidak biasa justru memberi keuntungan karena air tetap tersedia baik dari hujan maupun saluran irigasi.
“Itu karena adanya fenomena kemarau basah, yakni meski kemarau namun masih terjadi hujan,” ungkap Rondhi. Ia menambahkan bahwa tahun ini berbeda dengan sebelumnya, ketika para petani lebih memilih menanam palawija saat kemarau karena kekurangan air. Kini, mereka bisa menanam padi tanpa khawatir kekeringan.
Dengan tersedianya air yang cukup, para petani di wilayah Sumberrejo mampu memaksimalkan masa tanam dan panen. Hal ini tidak hanya meningkatkan hasil produksi, tetapi juga membantu memperkuat ketahanan pangan daerah.
Lahan Pertanian Meluas dan Produktivitas Terus Meningkat
Peningkatan produksi padi di Bojonegoro tak lepas dari meluasnya lahan tanam yang digarap oleh petani. Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Bojonegoro, Zaenal Fanani, menyampaikan bahwa luas tanam padi tahun ini bertambah cukup signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
“Sehingga, luas tanam padi diperkirakan meningkat dibanding tahun kemarin dari 10 ribu hektare,” ujarnya. Menurutnya, para petani kini lebih bersemangat menanam padi karena curah hujan masih stabil, bahkan di bulan-bulan kemarau.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, produksi padi Bojonegoro mencapai 886.443 ton Gabah Kering Giling (GKG) atau setara dengan 1,06 juta ton GKP. Dengan capaian tersebut, Bojonegoro menempati posisi kedua sebagai penghasil padi terbesar di provinsi ini.
Kondisi ini menunjukkan bahwa sektor pertanian di Bojonegoro berhasil memanfaatkan situasi alam dengan baik. Adaptasi petani terhadap perubahan iklim melalui strategi tanam berkelanjutan membuahkan hasil yang signifikan bagi peningkatan produktivitas daerah.
Dari sisi ekonomi, hasil panen berlimpah tentu memberi dampak positif bagi kesejahteraan petani. Peningkatan pendapatan dari panen berulang membuat sirkulasi ekonomi di wilayah pedesaan menjadi lebih aktif.
Persaingan Antar Kabupaten Penghasil Padi di Jawa Timur
Prestasi Bojonegoro tahun ini membuat posisi Kabupaten Ngawi harus turun ke peringkat tiga penghasil padi terbesar di Jawa Timur. Berdasarkan data BPS, produksi padi Ngawi tahun 2025 mencapai 775.466 ton GKG.
Sementara itu, posisi pertama masih dipegang oleh Kabupaten Lamongan dengan produksi 905.000 ton GKG atau setara 1,15 juta ton GKP.
Pencapaian Bojonegoro yang berhasil menyalip Ngawi menunjukkan keberhasilan manajemen pertanian daerah tersebut dalam menghadapi tantangan iklim. Produktivitas yang meningkat ini menjadi bukti nyata bahwa faktor cuaca bukan selalu menjadi hambatan, tetapi juga bisa menjadi peluang jika dikelola dengan tepat.
BPS Jawa Timur juga mencatat bahwa sepanjang tahun 2025, total luas panen di provinsi ini mencapai 1,84 juta hektare. Angka tersebut meningkat 13,69 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Produksi Gabah Kering Panen (GKP) pun naik menjadi 12,66 juta ton, sedangkan Gabah Kering Giling (GKG) mencapai 10,53 juta ton. Jika dikonversi, jumlah itu setara dengan 6,08 juta ton beras.
Angka tersebut menegaskan bahwa Jawa Timur masih menjadi salah satu lumbung pangan nasional yang mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Capaian ini tidak hanya menjadi kebanggaan bagi daerah, tetapi juga berkontribusi besar terhadap stabilitas pasokan beras nasional.
Dengan keberhasilan Bojonegoro dan Lamongan dalam menjaga produktivitas, pemerintah daerah diharapkan terus memperkuat sistem irigasi serta program pendampingan petani agar keberhasilan serupa bisa direplikasi di wilayah lain.
Ketahanan Pangan dan Harapan Petani di Masa Depan
Fenomena kemarau basah yang mendorong peningkatan hasil panen di Bojonegoro menjadi contoh nyata bahwa perubahan iklim bisa dikelola secara adaptif. Dengan dukungan infrastruktur pertanian dan kebijakan pemerintah daerah, para petani mampu mengubah potensi cuaca menjadi peluang produksi.
Ketersediaan air dari saluran irigasi dan turunnya hujan di musim kemarau menjadi faktor utama yang menjaga produktivitas pertanian tetap tinggi. Pola tanam tiga kali dalam setahun yang diterapkan petani kini dianggap sebagai strategi efisien dalam menjaga pasokan pangan dan meningkatkan pendapatan rumah tangga.
Pemerintah daerah bersama dinas pertanian berkomitmen melanjutkan pendampingan terhadap petani, termasuk penguatan sistem irigasi, penyediaan benih unggul, serta peningkatan akses terhadap pupuk.
Dukungan ini diharapkan dapat memperkuat ketahanan pangan dan memastikan Bojonegoro terus menjadi salah satu penopang utama produksi padi di Jawa Timur.
Dengan hasil yang menggembirakan ini, Bojonegoro bukan hanya membuktikan kemampuannya mengelola alam di tengah ketidakpastian iklim, tetapi juga memperlihatkan potensi besar pertanian lokal dalam menopang kebutuhan pangan nasional.