Petani Tebu Desak Kepastian Pasar Etanol Jelang Mandatori E10

Senin, 13 Oktober 2025 | 09:58:47 WIB
Petani Tebu Desak Kepastian Pasar Etanol Jelang Mandatori E10

JAKARTA - Upaya pemerintah mempercepat penerapan bahan bakar campuran etanol 10% atau E10 dinilai membawa angin segar bagi petani tebu. Namun, di lapangan, sejumlah kendala masih dihadapi para petani dan pelaku industri, terutama terkait kepastian pasar dan penyerapan hasil produksi.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), M. Nur Khabsyin, menyebut kebijakan mandatori E10 merupakan langkah positif pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan tetes tebu (molase) menjadi bahan baku etanol.

“Tentu petani tebu menyambut baik. Karena ini ada upaya pemerintah untuk memanfaatkan tetes tebu petani yang nanti diolah menjadi etanol dan menjadi campuran bensin,” ujar Nur Khabsyin.

Menurut data Kementerian Pertanian dan APTRI, tebu menghasilkan dua produk utama, yaitu gula kristal dan tetes tebu. Produk terakhir inilah yang menjadi bahan baku etanol melalui proses fermentasi. 

Dengan penerapan mandatori E10, permintaan terhadap etanol diperkirakan meningkat, membuka peluang baru bagi petani tebu untuk menyalurkan hasil produksinya ke sektor energi.

Kelebihan Produksi Tetes Belum Terserap Maksimal

Dalam lima tahun terakhir, produksi tetes tebu nasional mencapai sekitar 1,6 juta ton per tahun. Namun, penyerapan baru sekitar 1,1 juta ton, sebagian besar untuk industri non-energi seperti farmasi. Masih ada sisa sekitar 500 ribu ton tetes yang berpotensi dimanfaatkan untuk produksi etanol di sektor energi.

“Kebanyakan diserap dari industri pengguna, kurang lebih 1,1 juta ton. Jadi masih sisa 500 ribu ton tetes. Ini bisa dimanfaatkan untuk etanol di sektor energi,” jelas Nur Khabsyin.

Sementara itu, kapasitas terpasang industri etanol dalam negeri sebenarnya mencapai 300 ribu kiloliter (kl) per tahun. Namun, tingkat produksi aktual baru sekitar 160 ribu kl, atau hanya sekitar separuh dari kapasitas yang tersedia.

“Artinya masih ada kapasitas terpasang dari pabrik yang tidak digunakan, karena serapan etanol masih terbatas,” tambahnya.

Impor Etanol Dinilai Menghambat Produksi Dalam Negeri

Salah satu penyebab terbatasnya penyerapan etanol domestik, menurut APTRI, adalah kebijakan impor etanol yang sempat dilonggarkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan itu membuat industri etanol nasional tertekan karena kalah bersaing dengan produk impor yang lebih murah.

“Industri etanol yang sudah terpasang pabriknya itu 300 ribu kiloliter. Tetapi hanya mampu memproduksi setengahnya, 160 kl. Dampak kemarin itu karena sempat bebas impor,” ujarnya.

Kini, pemerintah telah merevisi kebijakan tersebut dengan menerbitkan Permendag No. 31 Tahun 2025 dan Permendag No. 32 Tahun 2025, yang mencabut kebijakan bebas tarif impor etanol sebagaimana diatur dalam Permendag No. 16 Tahun 2025.
Kebijakan baru ini diharapkan dapat memulihkan kembali industri etanol dalam negeri agar dapat memenuhi kebutuhan campuran bahan bakar nasional.

Petani Minta Jaminan Pasar dan Harga

Meski menyambut baik kebijakan E10, para petani tetap menuntut jaminan pasar untuk gula dan tetes tebu agar harga tetap stabil. Nur Khabsyin menjelaskan bahwa tahun ini petani menghadapi situasi sulit karena harga gula berada di bawah Harga Patokan Petani (HPP), sementara tetes tebu pun kurang laku di pasaran.

“Seperti tahun ini, petani tebu dihadapkan pada gula yang tidak laku. Harganya di bawah HPP yang ditetapkan oleh pemerintah, terus tetes juga tidak laku. Hal-hal ini membuat kita trauma. Makanya kami menuntut pemerintah supaya jaminan gula dan tetes itu laku,” tegasnya.

Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi petani untuk meningkatkan produksi. Tanpa adanya kepastian pasar dan harga, perluasan lahan atau peningkatan kapasitas produksi bisa menimbulkan kerugian. “Jadi ada was-was kalau meningkatkan produksi malah nggak laku,” imbuhnya.

Potensi Produksi Etanol dari Tetes Lokal Masih Besar

APTRI memperkirakan sisa produksi tetes tebu sebesar 500–600 ribu kiloliter yang belum terserap dapat menghasilkan sekitar 130 ribu kiloliter etanol, jika diolah dengan konversi 1:4 (empat kilogram tetes menghasilkan satu liter etanol).

“Kalau energi ada kewajiban ke E10, ini saya rasa industri etanol yang eksisting akan meningkatkan produksinya, dan tetes akan maksimal, karena untuk BBM,” ujarnya.

Dengan potensi tersebut, program E10 dapat menjadi momentum untuk menghidupkan kembali industri tebu nasional, termasuk pabrik-pabrik etanol yang selama ini belum beroperasi optimal.

Mendorong Sinergi antara Pemerintah, Industri, dan Petani

Kebijakan E10 dinilai menjadi langkah awal menuju kemandirian energi nasional yang berbasis bahan baku lokal. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada sinergi antara pemerintah, pelaku industri, dan petani tebu.

Pemerintah perlu memastikan adanya rantai pasok yang efisien, harga yang menguntungkan petani, dan kebijakan perdagangan yang berpihak pada produksi dalam negeri.

Bagi industri, peningkatan kapasitas produksi etanol harus diimbangi dengan investasi pada teknologi fermentasi dan infrastruktur distribusi bahan bakar campuran. Sedangkan bagi petani, kepastian pasar menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan produksi tebu nasional.

Menatap Peluang Mandatori E10 untuk Ketahanan Energi Nasional

Penerapan bahan bakar E10 bukan hanya langkah menuju diversifikasi energi, tetapi juga bentuk penguatan ekonomi rakyat berbasis pertanian. 

Dengan dukungan penuh pemerintah dan penguatan industri hilir, etanol dari tetes tebu dapat menjadi pilar penting dalam mewujudkan ketahanan energi nasional yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Petani berharap, kebijakan mandatori E10 benar-benar memberi manfaat nyata di tingkat akar rumput. Dengan pengelolaan yang tepat, industri tebu Indonesia berpotensi tumbuh lebih kuat — tidak hanya sebagai penghasil gula, tetapi juga sebagai penyedia energi bersih untuk masa depan.

Terkini