JAKARTA - Tubuh kurus sering dipuja di dunia mode sebagai simbol estetika.
Majalah, runway, dan kamera industri fesyen menafsirkan tubuh ramping sebagai standar cantik dan profesional. Tubuh kurus di layar kaca menjadi bagian dari ritus glamor: tulang selangka yang menonjol, wajah tirus, dan kaki panjang dianggap “dramatik” serta estetik.
Profesor studi film dan media Laura Mulvey menegaskan bahwa dalam industri ini, tubuh perempuan diperlakukan sebagai properti kamera. Kamera ibarat makhluk lapar yang “memangsa” tubuh dan menampilkan bentuknya sesuai keinginan visual.
Contoh nyata adalah Bella Hadid, yang karier dan penampilannya dipengaruhi tekanan industri fesyen agar sesuai dengan standar editorial. Ia mengakui bahwa tubuhnya sering direkonstruksi demi kebutuhan visual majalah dan runway, selaras dengan pandangan Mulvey mengenai tatapan publik terhadap tubuh perempuan.
Namun, standar ini berubah drastis ketika tubuh kurus “mendarat” di Indonesia. Tubuh yang di Paris disebut editorial look, di Indonesia bisa terbaca sebagai potensi gizi buruk.
Di Puskesmas, alat timbang dan data kesehatan menandai kurus sebagai alarm, memicu intervensi nutrisi pemerintah, meski secara estetika tubuh itu sehat bagi selebritas.
Intervensi Negara dan Program Gizi
Begitu tubuh kurus dianggap rentan, negara turun tangan. Di Indonesia, tubuh kurus dapat memicu jalur administratif pemerintah dari Kemenkes dan Kemensos. Program bantuan sosial, seperti BLT gizi kurang atau bansos beras 10 kilogram, serta pelatihan peningkatan nafsu makan oleh ibu-ibu PKK, menjadi respons terhadap kondisi ini.
Sketsa imajiner ini memperlihatkan tubuh selebritas global berdiri di Puskesmas, menunggu giliran timbang, sementara kader posyandu menegur dan memberi saran nutrisi. Dalam konteks lokal, perhatian ini muncul dari niat baik untuk menolong secara nutrisi, tetapi sekaligus memperlihatkan kontras antara interpretasi estetika dan indikator kesehatan nasional.
Masyarakat pun berperan aktif. Ibu-ibu menawarkan makanan, tetangga menyodorkan lauk, dan keluarga mengingatkan pentingnya makan cukup.
Tubuh kurus tidak lagi hanya soal penampilan, melainkan kode sosial dan indikator gizi yang mendapat perhatian kolektif. Istilah “Kurnut Global” muncul untuk menggambarkan kelas menengah kurus yang estetis tapi diperlakukan sebagai rawan gizi di lingkungan lokal.
Dampak Sosial dan Persepsi Masyarakat
Di kampung atau kota, masyarakat secara intuitif menilai tubuh. Badan kurus bisa dianggap tanda kurang nutrisi atau ketidakmampuan keluarga menyediakan makanan. Anak kurus menjadi perhatian utama, begitu juga wanita menikah dengan postur ramping yang bisa memicu sorotan sosial terhadap pasangan atau keluarganya.
Paradoks ini menunjukkan bahwa kurus bukan sekadar angka di timbangan. Budaya, kelas sosial, algoritma estetika, dan regulasi negara turut membentuk persepsi. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut kurus ekstrem sebagai kondisi yang meningkatkan risiko anemia, tulang rapuh, hingga imunitas menurun.
Di Indonesia, Kemenkes mengklasifikasikan berat badan sangat rendah sebagai KEK (Kekurangan Energi Kronis), menandakan tubuh beradaptasi dalam mode hemat energi.
Tubuh menjadi medan tarik-menarik antara prestise estetika dan potensi masalah kesehatan. Kurus bisa menjadi pujian berkilau di dunia mode, tetapi alarm serius di radar kesehatan nasional.
Merawat Tubuh Lebih dari Sekadar Standar
Standar tubuh sering melupakan kebutuhan dasar manusia. Tubuh membutuhkan makan cukup, tidur teratur, dan perawatan, bukan hanya penampilan estetis. Banyak orang kurus bukan karena diet atau estetika, melainkan stres kerja, pola tidur terganggu, atau keterbatasan ekonomi.
Tubuh bukan papan iklan, bukan properti publik, dan bukan alat branding. Merawatnya adalah bentuk syukur atas raga yang dimiliki. Fokus seharusnya pada kesehatan, bukan semata memenuhi standar editorial atau alarm gizi.
Kesimpulannya, tubuh kurus adalah persimpangan antara estetika global, perhatian sosial, dan kebijakan kesehatan. Memahami konteks ini membantu menilai kurus tidak hanya dari penampilan, tetapi dari kesejahteraan dan kebutuhan nutrisi.
Kita diajak menata hubungan dengan tubuh sendiri: merawatnya, menghargainya, dan memastikan ia berfungsi optimal. Sehingga suatu hari kita bisa berkata tanpa beban: “Aku merawat tubuhku bukan untuk tampil hebat, tapi karena aku bersyukur masih hidup di dalamnya.”