Kakao

Pertumbuhan Kakao Indonesia Perkuat Posisi dalam Pasar Ekspor Global

Pertumbuhan Kakao Indonesia Perkuat Posisi dalam Pasar Ekspor Global
Pertumbuhan Kakao Indonesia Perkuat Posisi dalam Pasar Ekspor Global

JAKARTA - Setiap pekan, Gede Suartama berhasil memanen sedikitnya 30 kg biji kakao dari kebunnya di Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali. 

Pada pekan terakhir bulan lalu, pendapatannya mencapai Rp8 juta, angka yang jauh melampaui penghasilan ketika ia masih bekerja serabutan.

Keberhasilan ini tidak terlepas dari kualitas biji kakao fermentasi yang dihasilkan. Biji kakao milik Gede kini dibeli Cau Chocolates dengan harga Rp100.000 per kg, jauh lebih tinggi dibanding harga tengkulak sekitar Rp59.000 per kg. Kepastian pasar dan harga premium membuat kakao menjadi sumber penghasilan utama bagi Gede sejak 2019.

“Dengan pendampingan teknis dan akses pasar yang baik, petani bisa mendapatkan nilai lebih dari hasil kebunnya,” ujar Gede, menegaskan pentingnya kualitas dan keberlanjutan dalam budidaya kakao.

Ekspansi Industri dan Peluang Ekspor

CEO Cau Chocolates, I Kadek Surya Prasetya Wiguna, mengungkapkan bahwa perusahaan sedang memperluas kapasitas produksi untuk menjawab permintaan yang meningkat. Dari semula 300–500 kg per hari, fasilitas baru yang sedang dibangun ditargetkan mampu memproduksi hingga 2 ton per hari.

Ekspansi ini sekaligus mendukung penguatan pasar ekspor yang telah menjangkau Singapura, Malaysia, Qatar, Polandia, dan Australia sejak 2021. Target perusahaan cukup ambisius: pada 2026, 50 persen omzet diharapkan berasal dari ekspor, saat ini baru sekitar lima persen.

Keberhasilan Cau Chocolates menunjukkan bahwa kakao fermentasi Bali memiliki potensi bersaing di pasar global. Strategi hilirisasi dan peningkatan kapasitas produksi menjadi faktor kunci agar produk lokal mampu menembus pasar internasional.

Potensi dan Tantangan Kakao Nasional

Ketua Dewan Kakao Indonesia, Soetanto Abdoellah, menegaskan bahwa peluang kakao nasional masih sangat besar. Indonesia memiliki iklim ideal, lahan luas, serta klon unggul seperti Sulawesi 1 dan ICCRI series. 

Negara ini juga menjadi salah satu industri pengolahan kakao terbesar di dunia, dan beberapa daerah mulai dikenal sebagai produsen kakao premium.

Meski demikian, tantangan tetap ada. Areal dan produksi nasional menurun akibat tanaman tua dan minimnya regenerasi petani. Lebih dari 80 persen produksi masih nonfermentasi sehingga nilai jualnya rendah di pasar global. 

Selain itu, regulasi mutu internasional, termasuk standar residu dan aturan deforestasi Uni Eropa (EUDR), menambah tekanan bagi industri kakao nasional.

Data produksi kakao juga belum seragam; data resmi menyebut produksi nasional 600.000 ton, sementara ICCO memperkirakan hanya 180.000–200.000 ton. Kondisi ini menunjukkan perlunya koordinasi data dan penguatan standar mutu.

Hilirisasi dan Strategi Masa Depan

Kisah Gede dan strategi pengembangan Cau Chocolates menunjukkan bahwa hilirisasi kakao mampu menciptakan nilai tambah signifikan bagi petani dan pelaku industri. Dengan pendampingan teknis, fermentasi yang tepat, dan akses pasar yang adil, kakao mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Industri kakao yang semakin fokus pada pengolahan dan ekspor juga membuka peluang baru untuk meningkatkan daya saing nasional. Produk kakao fermentasi premium tidak hanya meningkatkan pendapatan petani, tetapi juga mendorong Indonesia untuk lebih dikenal di pasar global sebagai produsen kakao berkualitas tinggi.

Langkah-langkah ini menjadi bukti bahwa meskipun tantangan global dan domestik masih ada, potensi kakao Indonesia tetap cerah. 

Peningkatan kapasitas produksi, standar mutu yang lebih ketat, serta strategi hilirisasi yang tepat dapat memastikan bahwa kakao tidak hanya menjadi komoditas unggulan, tetapi juga motor pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index