JAKARTA - Pemerintah Jepang bersiap menaikkan biaya pengurusan visa dan izin tinggal bagi warga asing mulai tahun 2026. Kebijakan ini muncul di tengah lonjakan jumlah penduduk asing di Negeri Sakura, yang mencapai rekor tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Selain untuk menyesuaikan tarif dengan standar internasional, langkah ini juga bertujuan meningkatkan kualitas layanan administrasi imigrasi dan mendukung program pengembangan bahasa Jepang.
Kenaikan tarif visa ini diperkirakan akan berdampak signifikan bagi Warga Negara Asing (WNA) yang tinggal, bekerja, atau belajar di Jepang, termasuk wisatawan internasional yang berkunjung ke negara tersebut.
Kenaikan Biaya Visa dan Izin Tinggal
Saat ini, biaya perpanjangan atau perubahan status izin tinggal di Jepang sebesar 6.000 yen atau sekitar Rp 610 ribu. Pemerintah berencana menaikkan nominal ini menjadi 30.000 hingga 40.000 yen, setara Rp 3–4,1 juta, meningkat lima hingga enam kali lipat dibanding tarif sekarang.
Sementara itu, biaya pengajuan izin tinggal permanen yang kini sekitar 10.000 yen (Rp 1 juta) diperkirakan akan melonjak lebih dari 100.000 yen atau sekitar Rp 10,2 juta, dengan besaran biaya menyesuaikan lama masa berlaku visa. Kenaikan ini tergolong cepat, mengingat pemerintah baru saja menyesuaikan tarif pada April lalu, yang merupakan kenaikan pertama sejak 44 tahun terakhir.
Menyamakan dengan Standar Internasional
Langkah pemerintah Jepang juga dimaksudkan untuk menyesuaikan biaya dengan standar negara Barat. Sebagai perbandingan, biaya perpanjangan visa di Amerika Serikat mencapai 420–470 dolar AS (sekitar Rp 7–7,8 juta), sedangkan di Jerman mencapai 93–98 euro (sekitar Rp 1,7–1,8 juta).
Pemerintah berharap penyesuaian tarif ini akan menambah pendapatan hingga puluhan miliar yen. Dana tambahan tersebut nantinya akan dialokasikan untuk mempercepat proses administrasi imigrasi, pengembangan program bahasa Jepang, serta penegakan deportasi bagi warga asing yang melanggar ketentuan izin tinggal.
Per Juni tahun ini, jumlah warga asing di Jepang tercatat mencapai 3,96 juta orang, sementara overstayer tercatat lebih dari 70.000 orang pada Juli. Kelompok warga China, sebagai komunitas imigran terbesar, diperkirakan menjadi yang paling terdampak oleh kebijakan baru ini.
Dampak bagi Wisatawan Internasional
Tidak hanya penduduk asing, wisatawan internasional yang mengurus visa masuk Jepang juga akan terkena dampak kenaikan tarif. Biaya visa single-entry sebesar 3.000 yen (Rp 319 ribu) direncanakan dinaikkan agar sejalan dengan standar negara Barat.
Untuk konteks, visa kunjungan jangka pendek di Amerika Serikat dikenakan biaya 185 dolar AS (sekitar Rp 3 juta), sedangkan di Inggris sebesar 166 dolar AS (sekitar Rp 2,7 juta).
Pendapatan tambahan dari kenaikan visa wisatawan ini akan dialokasikan untuk menangani overtourism, masalah yang semakin terlihat di kota-kota besar seperti Kyoto dan Tokyo. Dengan begitu, pemerintah Jepang berupaya menyeimbangkan jumlah pengunjung dengan kapasitas infrastruktur dan sumber daya lokal.
Revisi Undang-Undang dan Implementasi Kebijakan
Untuk mewujudkan kenaikan tarif visa dan izin tinggal, Jepang perlu merevisi undang-undang yang menetapkan batas maksimum biaya visa sebesar 10.000 yen. Batas ini telah berlaku sejak 1981 dan belum mengalami perubahan selama lebih dari empat dekade.
Kenaikan biaya ini bersamaan dengan paket stimulus ekonomi senilai 21,3 triliun yen yang disetujui kabinet Perdana Menteri Sanae Takaichi, yang dikenal memiliki kebijakan tegas terkait imigrasi. Pemerintah menekankan bahwa kenaikan tarif bukan sekadar upaya menambah pendapatan, tetapi juga untuk mendukung layanan administrasi yang lebih efisien dan pengelolaan populasi warga asing yang terus bertambah.
Dengan rencana kenaikan ini, warga asing dan wisatawan internasional perlu menyiapkan anggaran lebih besar untuk pengurusan visa dan izin tinggal di Jepang mulai 2026. Pemerintah menegaskan bahwa kebijakan ini juga akan meningkatkan kualitas layanan dan keamanan, serta memperkuat pengawasan terhadap pelanggaran izin tinggal.