Batu Bara

Permintaan Batu Bara dari China Melemah, Pasar Global Langsung Terpengaruh

Permintaan Batu Bara dari China Melemah, Pasar Global Langsung Terpengaruh
Permintaan Batu Bara dari China Melemah, Pasar Global Langsung Terpengaruh

JAKARTA - Harga batu bara kontrak Desember mengalami penurunan setelah tren kenaikan tiga hari berturut-turut. 

Pasar batu bara kokas di China menunjukkan kehati-hatian pembeli, sehingga harga menurun ke US$113,4 per ton, memutus penguatan sebelumnya sebesar 3,4%.

Beberapa produsen kokas dan pabrik baja menahan pembelian karena margin rendah dan ketidakpastian permintaan dari industri hilir. Lelang online batu bara kokas juga menunjukkan kegagalan transaksi, di mana beberapa lot tidak laku karena harga pembukaan dianggap terlalu tinggi oleh pembeli.

Meskipun produksi di tambang sedikit menurun, pasokan batu bara kokas masih longgar. Stok menumpuk sementara permintaan melemah, mendorong koreksi harga yang diperkirakan dapat terus berlangsung jika tidak ada gangguan pasokan signifikan atau stimulus dari hilir.

Tekanan Pasar Batu Bara Lokal dan Internasional

Shanghai Metal Market mencatat bahwa harga batu bara kokas lokal kini berada di titik terendah dalam sembilan tahun. Beberapa grade batu bara blending mengalami permintaan lemah, membuat produsen kesulitan menjual dengan harga tinggi.

Produsen baja kehilangan profit sehingga menahan pembelian batu bara sebagai bahan baku kokas. Kondisi ini menyebabkan stok lama sulit terserap, menciptakan tekanan tambahan pada pasar. 

Pasar di China diperkirakan akan tetap berada di bawah tekanan dalam waktu dekat, sementara putaran pemotongan harga kedua kemungkinan akan terjadi untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan.

Para analis memperkirakan bahwa tanpa adanya stimulus permintaan atau gangguan pasokan, harga batu bara kokas dapat terus menurun. Hal ini berdampak pada perdagangan global dan harga energi, termasuk potensi pengaruh terhadap pengadaan bahan baku di negara-negara pengimpor seperti Indonesia.

Tantangan Pendanaan Pensiun PLTU di Indonesia

Di sisi lain, rencana Indonesia untuk memensiunkan kapasitas PLTU batubara sebesar 6,7 gigawatt pada 2030 menghadapi risiko akibat mandeknya pencairan pendanaan dari negara donor. Program Just Energy Transition Partnership (JETP) awalnya menjanjikan dukungan senilai US$20 miliar untuk energi terbarukan dan pensiun PLTU.

Namun hingga kini, belum ada komitmen yang pasti untuk memfasilitasi phase-out PLTU. 

Kepala Sekretariat JETP Indonesia menyatakan, jika tidak ada pendanaan yang nyata, pemerintah perlu meninjau ulang apakah pensiun PLTU merupakan opsi paling efektif. Hal ini menunjukkan tantangan lebih luas terkait pendanaan iklim internasional, khususnya bagi negara berkembang.

Meski JETP telah menyetujui sejumlah proyek energi terbarukan, efisiensi energi, dan transportasi listrik, dana untuk memensiunkan PLTU belum terealisasi. 

Amerika Serikat bahkan telah menarik diri, sementara Jepang dan Jerman tengah mencari cara yang efektif secara politik untuk mendukung target JETP Indonesia. Komitmen belum tentu berarti pencairan dana, sehingga Indonesia menghadapi ketidakpastian dalam implementasi program pensiun PLTU.

Implikasi dan Tantangan Energi Bersih

Ketidakpastian pendanaan PLTU menimbulkan pertanyaan strategis bagi Indonesia dalam mencapai target energi bersih. Pendanaan yang lambat berpotensi menunda transisi energi dan memengaruhi kemampuan negara dalam mengurangi emisi karbon.

Di sisi lain, tekanan pasar batu bara internasional juga menjadi faktor tambahan yang memengaruhi kebijakan energi nasional. Penurunan harga batu bara dapat meringankan biaya energi dalam jangka pendek, namun tetap menimbulkan tantangan bagi produsen dan pengelola PLTU yang mengandalkan harga stabil.

Dengan kondisi ini, Indonesia perlu menyusun strategi adaptif, termasuk diversifikasi sumber energi dan optimalisasi energi terbarukan, sambil mendorong kerja sama internasional yang lebih konkret untuk mendukung pensiun PLTU dan pembangunan energi bersih. 

Pendekatan ini akan memastikan transisi energi berjalan seimbang antara kepentingan ekonomi, ketersediaan energi, dan target lingkungan hidup.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index