Kredit

Triliunan Kredit Menganggur Jadi Peringatan bagi Sektor Riil Indonesia untuk Lebih Efisien

Triliunan Kredit Menganggur Jadi Peringatan bagi Sektor Riil Indonesia untuk Lebih Efisien
Triliunan Kredit Menganggur Jadi Peringatan bagi Sektor Riil Indonesia untuk Lebih Efisien

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menyoroti fenomena tingginya kredit yang belum terserap di perbankan nasional. 

Data terbaru menunjukkan total kredit yang dicairkan baru mencapai Rp2.374 triliun, sementara kredit menganggur atau undisbursed loan mencapai Rp10.537 triliun. Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan bahwa besarnya angka tersebut menunjukkan permintaan dari sektor riil masih lemah.

"Fenomena undisbursed loan ini menunjukkan kredit yang sudah diberikan bank, tetapi plafonnya belum digunakan sepenuhnya. Artinya, sektor riil belum menyerap kredit secara optimal," jelas Perry. Hal ini menjadi perhatian karena mencerminkan potensi pembiayaan yang belum tersalurkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Menurut Perry, situasi ini sebagian disebabkan perusahaan besar yang lebih mengandalkan dana internal. Nilai pembiayaan internal korporasi meningkat dari Rp3.256 triliun pada 2020 menjadi perkiraan Rp5.066 triliun pada 2025. Dengan kondisi likuiditas internal yang cukup, korporasi memilih menunda pencairan kredit dari bank.

Faktor Korporasi dan Permintaan Sektor Riil

Perry menegaskan bahwa korporasi dengan kondisi keuangan baik cenderung menahan penggunaan kredit karena dananya masih cukup untuk kebutuhan internal. Fenomena ini juga memengaruhi efektivitas kebijakan moneter dan program kredit yang sudah disediakan perbankan.

Undisbursed loan atau UL merupakan fasilitas kredit yang telah disetujui tetapi belum dicairkan. Artinya, dana pinjaman “menganggur” dan belum digunakan untuk kegiatan produktif. BI mencatat, sektor-sektor seperti industri pengolahan, pertanian, perdagangan, dan jasa dunia usaha menjadi penyerap kredit yang relatif rendah.

Dari segi jenis kredit, rasio UL terhadap plafon kredit (UL/plafon) juga masih tinggi, terutama pada kredit produktif. UL/plafon agregat tercatat 22,54%, sedangkan untuk Kredit Modal Kerja (KMK) mencapai 33,79%. 

Kondisi ini menandakan sebagian besar kredit produktif belum terserap optimal, sehingga bank dan pemerintah harus mencari strategi agar aliran kredit bisa lebih efektif.

Dampak terhadap Kebijakan dan Likuiditas

Fenomena kredit menganggur menjadi perhatian bagi BI dan pemerintah. Likuiditas yang cukup di sistem perbankan sejatinya bisa dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penyaluran kredit ke sektor riil. 

Namun, keterbatasan permintaan membuat sebagian dana tetap berada di bank atau dalam bentuk undisbursed loan.

Perry menyebutkan bahwa kondisi ini perlu dijadikan dasar untuk evaluasi kebijakan kredit dan insentif. Pemerintah dan BI sedang mendorong program yang dapat meningkatkan permintaan sektor riil, termasuk kredit untuk UMKM, proyek padat karya, dan program pengembangan industri strategis. 

Tujuannya, agar likuiditas yang tersedia benar-benar tersalurkan ke sektor produktif dan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih luas.

Selain itu, program insentif baru seperti penyesuaian suku bunga kredit dan paket ekonomi yang mendorong pencairan kredit diharapkan dapat menstimulasi sektor riil.

Bank yang mampu menurunkan suku bunga kredit lebih cepat akan mendapatkan insentif likuiditas tambahan dari BI, sehingga terjadi dorongan untuk meningkatkan pencairan kredit.

Tantangan dan Prospek ke Depan

Meskipun kredit menganggur tinggi, Perry menilai prospek ekonomi jangka menengah masih positif jika sektor riil mulai menyerap kredit yang tersedia. Strategi penguatan sektor riil melalui program padat karya, pembiayaan modal kerja, dan dukungan UMKM menjadi kunci untuk menurunkan rasio UL di masa mendatang.

Selain itu, perusahaan diharapkan lebih aktif memanfaatkan fasilitas kredit, terutama saat kondisi internal korporasi memungkinkan dan prospek ekonomi mendukung.

Kombinasi dukungan pemerintah, kebijakan moneter, dan dorongan dari sektor perbankan diharapkan mampu mengurangi jumlah kredit menganggur sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih merata.

Dengan perhatian khusus pada sektor riil, serta insentif yang tepat, likuiditas berlimpah di perbankan tidak hanya menjadi catatan statistik, tetapi bisa menjadi sumber pembiayaan nyata yang mendukung perkembangan ekonomi Indonesia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index